Menanggapi Pernyataan Kejagung pada Tanggal 4 Maret 2004 Dan Pernyataan Tanggal 5 Februari 2004

Siaran Pers Bersama

KontraS, TPK 12 Mei 1998, AKKRA, FPPI, KOMPAK, FKKM1998, IKOHI, Imparsial dan Keluarga Korban Trisakti, Semanggi I-II

Menanggapi Pernyataan Kejagung pada Tanggal 4 Maret 2004 Dan Pernyataan Tanggal 5 Februari 2004

Tragedi 12 Mei 1998, Semanggi I dan II telah menjadi catatan sejarah buram bangsa Indonesia. Sebuah “malapetaka” kemanusiaan yang menyisakan luka kolektif bangsa ini. Namun hingga kini, peritiwa tersebut, seakan hilang ditelan waktu. Pemerintahan baru (legislatif, eksekutif dan yudikatif) yang menjadi anak kandung reformasi justru tidak bisa berbuat banyak dan belum menunjukan komitmennya.

Ironi memang, darah yang bercucuran sepanjang jalan ibukota yang erbujung dengan hilangnya nyawa manusia dianggap hal yang biasa. Hal ini semakin membuktikan bahwa kekerasan oleh negara di Indonesia semakin diterima sebagai hal yang wajar. Kini setelah 6 tahun reformasi berlalu, mimpi akan masa depan Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia tak jua terwujud.

Selain itu pada tanggal 13 †14 Mei 1998, telah terjadi kerusuhan rasial di berbagai daerah di Indonesia yang mengakibatkan kerugian material dan korban ratusan orang. Komnas HAM pada tahun 2003 telah membentuk Tim ad hoc Pro Justisia Penyelidikan Kasus Kerusuhan Mei 1998. Kesimpulan dari penyelidikan ditemukan bukti-bukti pelanggaran berat HAM. hasil penyelidikan Komnas HAM juga sudah diberikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi dalam dialog dengan keluarga korban Mei pada tanggal 5 Februari 2004 dengan Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung memberikan pernyataan bahwa berkas penyelidikan Komnas HAM belum lengkap dan dikembalikan ke Komnas untuk dilengkapi.

Peristiwa terakhir sesuai dengan berita yang dimuat berbagai media massa tentang pernyataan resmi Kejaksaan Agung bahwa 12 Mei 1998/Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) bukanlah Pelanggaran HAM Berat dalam Rapat Kerja komisi II DPR-RI dengan pihak Kejaksaan Agung pada Kamis, 4 Maret 2004 maka dengan ini kami perlu menanggapi karena :

  1. Pernyataan tersebut telah melukai rasa keadilan masyarakat dan semangat penuntasan Kasus 12 Mei 1998/Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
  2. Pernyataan tersebut juga memperkuat kekhawatiran kami selama ini bahwa pemerintah melalui Kejagung tidak pernah berniat untuk melanjutkan hasil penyelidikan Komnas HAM dan ini menunjukan lemahnya semangat penegakan hukum dan HAM di Indonesia oleh aparat hukumnya sendiri.
  3. Lemahnya argumentasi yang digunakan oleh Kejagung dalam menyimpulkan Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II sebagai bukan Pelanggaran HAM Berat.
  4. Dalam kasus Kerusuhan Mei pernyataan Jaksa Agung jelas sekali modus terencana dan cermin dari sikap rezim Mega-Hamzah untuk menolak penyelesaian secara tuntas kasus Pelanggaran Berat HAM.
  5. Kesimpulan atas Sikap Kejagung

Mengacu pada perkemabangan sikap Kejagung yang kami ikuti sejak tahapan kasus ini sampai ke Kejagung hingga hari ini (lihat lampiran siaran pers ini) maka kami berpendapat bahwa :

  1. Telah terjadi pergeseran argumentasi Kejagung dari persoalam formil-materiil kealasan teknis-juridis, yang mengarah pada kesimpulan juridis tanpa didahului proses juridis yang semestinya dalam menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM/KPP HAM untuk kasus TSS.
  2. Hal ini menunjukan bahwa Kejagung sebenarnya tidak pernah beranjak dari posisinya yang pasif, skeptis dan bahkan cenderung resisten dalam menanggapi hasil penyelidikan Komnas HAM/KPP HAM untuk Kasus TSS. Termasuk dalam kasus Kerusuhan Mei 1998.
  3. Hal ini juga menggambarkan bahwa Kejagung tetap tidak menunjukan sikap yang supotif dan kooperatif terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM/KPP HAM untuk kasus TSS dan Kerusuhan Mei 1998.
  4. Bahkan secara spekulatif, dapat diduga bahwa polah dan tingkah Kejagung semacam ini merupakan (1) bagian dari rencana pemerintah, politisi, militer dan partai politik untuk menghentikan proses penuntasan kasus TSS dan Kerusuhan Mei 1998 tidak melalui pengadilan HAM ad hoc. (2) upaya politik untuk melindungi kepentingan tersangka dalam pelanggaran HAM kasus TSS dan Kerusuhan Mei 1998 (sebagaimana hasil penyelidikan Komnas HAM/KPP HAM) dalam momentum Pemilu. (3) kebijakan politik Kejagung yang opurtunistik dalam mengantisipasi kondisi politik nasional yang relatif labil pasca pemilu.
  5. Tanggapan terhadap Argumentasi Kejagung

Meski sesungguhnya argumentasi-argumentasi ini (lihat lampiran siaran pers ini) telah berulangkali disampaikan melalui berbagai media namun kami tetap merasa perlu untuk menambahkan dalam siaran pers ini untuk diingat kembali oleh publik dengan pertimbangan sebagai berikut ;

  1. Seluruh argumentasi yang digunakan oleh Kejagung dalam menolak untuk menindaklanjuti kasus TSS dan Kerusuhan Mei 1998 tidak tepat, lemah dan cenderung mengada-ada. Ada argumentasiyang dimaknai secara parsial (tidak komprehensif), ada juga yang dicampuradukkan dengan aturan hukum yang lain dan terakhir seringkali keluar dari konteksnya.
  2. Menghindari polusi wacana di publik dalam upaya penuntasan kasus TSS dan Kerusuhan Mei 1998 melalui perdebatan-perdebatan yang kami anggap mengada-ada.

Oleh karena itu maka kami berpendapat bahwa seharusnya dalam persiapan untuk tahap penyelidikan, Kejagung berinisiatif untuk segera menyelenggarakan pertemuan tripatrit antara Kejagung, Komnas HAM, dan DPR-RI sebagai terobosan dalam mengambil keputusan-keputusan selanjutnya ketimbang terus menerus menarik-ulur kasus dan melemparkan perdebatan yang terpisah-pisah.

Berdasarkan pertimbangan dan penjelasan tersebut, maka kami :

  1. Mendesak agar Kejagung menarik komentarnya bahwa kasus TSS bukanlah Pelanggaran HAM Berat dalam Rapat Kerja Komisi II DPR-RI pada 4 Maret lalu agar kemudian menempatkannya dalam konteks yang lebih konstruktif.
  2. Segera membentu Tim Penyidik untuk kasus Kerusuhan Mei 1998 karena telah ditemukan bukti permulaan yang cukup.
  3. Meminta Kejagung untuk menghentikan kegiatan adu wacana yang tidak pada tempatnya itu dan segera bekerja sesuai fungsi dan tanggung jawabnya serta segera menindaklanjuti hasil penyelidikam kasus TSS dan Kerusuhan Mei 1998 oleh Komnas HAM/KPP HAM.
  4. Menyatakan bahwa komentar dan sikap Kejagung tersebut sebagai pelanggaran wewenang, kesalahan prosedural dan upaya untuk menghambat proses penyidikan kasus TSS.
  5. Menyerukan pada segenap kelompok perubahan untuk menyuburkan kembali perjuangan penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Jakarta, 10 Maret 2004

Perwakilan Kontras Perwakilan TPK 12 Mei 1998 Perwakilan AKKRA Perwakilan FPPI Perwakilan KOMPAK Perwakilan Kel. Semanggi I Wakil Forum Keluarga Korban Mei (FKKM) Wakil Kel. Korban Semanggi II IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) Wakil Kel. Korban Trisakti