Putusan Bebas Perkara Timor Timur Membawa Konsekuensi Logis Dibentuknya Pengadilan ad hoc Internasio

Pernyataan Bersama

Demos-ELSAM-HRWG-Imparsial-KontraS-PBHI

Tentang

Putusan Bebas Perkara Timor Timur ; "Membawa Konsekuensi Logis Dibentuknya Pengadilan ad hoc Internasional"

Melalui pernyataan ini, kami bermaksud menyampaikan keprihatinan hukum atas dibebaskannya sejumlah terdakwa dalam perkara hak asasi manusia timor Timur 1999. Kami menilai putusan-putusan bebas terdakwa yang bertanggung jawab atas keamanan saat terjadinya peristiwa tersebut membawa konsekuensi logis bahwa pemerintah Indonesia harus menerima dan menyambut peluang dibentuknya pengadilan ad hoc internasional.

Empat tahun yang lalu, atas permintaan Indonesia, PBB dan masyarakat internasional memberi peluang kepada pemerintah Indonesia untuk membawa para pelaku kejahatan di Timor Timur ke pengadilan nasional berdasarkan prinsip-prinsip internasional hak asasi manusia. Akan tetapi, yang terjadi justru jauh dari harapan.

Majelis banding Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc Jakarta membebaskan Mayor Jendral Adam Rachmad Damiri dalam kasus pelanggaran HAM Timor Timur. Pada persidangan tingkat pertama, mantan Panglima Daerah Militer IX Udayana itu divonis tiga tahun penjara. Pengadilan Tinggi HAM juga membebaskan lima terdakwa lain yang juga bawahan dari Adam Damiri ; antara lain bekas Danrem 164 Wiradharma Letnan Kolenenl (Inf) Noer Muis (pada pengadilan pertama divonis lima tahun penjara), bekas Kapolres Dili Komisaris Besar Hulman Goeltom (dari tiga tahun penjara), dan bekas Dandim 1627 Dili Letnan Kolonel Sujarwo (dari lima tahun penjara). Semua terdakwa itu dibebaskan. Kecuali, bekas Gubernur Timor Timur Abilio Soares yang kini mejalani eksekusi putusan tiga tahun penjara, serta Eurico Guterres, Wakil Panglima Pejuang Pro-Integrasi, sebuah kelompok milisi bersenjata yang hukumannya dikurangi 5 tahun dari 10 tahun penjara.

Putusan-putusan bebas tersebut mengindikasikan kegagalan komitmen Indonesia untuk menghukum mereka yang bertanggung jawab dan memberi keadilan bagi mereka yang menjadi korban dalam pembumihangusan Timor Timur paska jajak pendapat. Pemerintah Indonesia dan Timor Leste tidak bisa meremehkan hal ini, mengingat peristiwa yang terjadi di Timor Timur pada September 1999 adalah kejahatan internasional dan pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban imeratif dibawah hukum internasional untuk menginvestigasi, menuntut, mengadili dan menghukum mereka yang bersalah. Apabila Indonesia tidak mau ataupun tidak mampu membawa mereka yang bersalah ke pengadilan, dibentuknya pengadilan ad hoc internasional adalah konsekuensi logis yang harus diterima oleh pemerintah Indonesia.

Dalam perkara Timor Timur, kami berulangkali telah mengingatkan bahwa untuk mencapai gelar pengadilan dengan hasil yang kredibel, dibutuhkan kehendak politik dai pejabat tinggi di pemerintahan. Tanpa itu, sulit untuk berharap banyak pada pengarilan HAM sebagai mekanisme nasional yang dirancang untuk memeriksa kejahatan-kejahatan kemanusiaan.

Putusan-putusan bebas ini tidak bisa dipisahkan dari rendahnya kehendak politik pemerintah dalam mendorong penegakan hukum yang independen dan adil dalam kasus pelanggaran HAM. Rendahnya kehendak politik tercermin pada perhatian pemerintah atas kemandirian hakim, ketidaktegasan terhadap Jaksa Agung, perlindungan hukum dan jaminan keamanan bagi saksi korban, serta rendahnya kapasitas mengontrol anggota militer selama jalannya persidangan. Secara khusus, pemerintah membiarkan penempatan Adam Damiri dalam tugas operasi di Aceh selama pemberlakuan darurat militer. Padahal yang bersangkutan adalah terdakwa dalam perkara kejahatan yang serius.

Putusan-putusan ini menguatkan pandangan bahwa pengadilan HAM di Jakarta tidak fair (dalam dan luar negeri). Preseden ini juga akan berpengaruh negatif pada penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Indonesia. dibebaskannya semua terdakwa di atas berpotensi menghilangkan fungsi korektif lembaga peradilan terhadap setiap bentuk kemungkinan penyalahgunaan institusi negara dimasa lalu.

Atas dasar hal di atas, kami mendesak Komnas HAM untuk mencabut kembali hasil penyelidikan yang dilakukan KPP HAM Timor Timur. Setidaknya, Komnas HAM menjelaskan kepada publik bahwa hasil penyelidikan KPP HAM bukan merupakan sebuah kebohongan publik. Dalam hal ini, Kami juga mendesak agar Sekretaris Jendral PBB segera melanjutkan inisiatif awal berupa pembentukan Komisi Internasional Para Ahli (International Commission of Experts-ICE) untuk melakukan review atas hasil persidangan di Jakarta.

Demikian pernyataan ini disampaikan.

Jakarta, 10 Agustus 2004

Demos / Asmara Nababan
ELSAM / Amiruddin
HRWG / Rafendi Djamin
Imparsial / Rachland Nashidik
KontraS / Usman Hamid
PBHI / Ecoline Situmorang