Berdoalah untuk Munir

”Saya akan berangkat malam ini ke Belanda. Kalau ada rezeki, setengah tahun atau satu tahun, sekitar Agustus saya baru pulang. Titip anak dan istriku.”/ Kalimat tersebut adalah pesan terakhir yang dikirim Direktur Imparsial, Munir SH, kepada adik kandungnya dr Jamal melalui SMS. Senin (6/9) lalu, Munir bertolak dari Jakarta menuju Amsterdam lewat Singapura dengan pesawat Garuda nomor penerbangan GA-974. Sekitar tiga jam menjelang pendaratan di Bandara Schipol Amsterdam, dia menghembuskan napas terakhir. Sedianya, Munir hendak melanjutkan studi S2 di Fakultas Hukum Universitas Utrech.

Saat menerima pesan tersebut, Jamal beserta keluarganya di Malang tidak merasakan firasat apa-apa. Dia kemudian sangat terkejut begitu mendengar kabar bahwa kakaknya meninggal. Kabar itu diperolehnya dari berita di televisi. Dia berjanji akan memegang teguh pesan dari kakaknya itu. Begitu kabar meninggalnya pejuang hak asasi manusia (HAM) itu tersiar, rumah bertipe 36 di Jalan Diponegoro, Kota Batu, Jawa Timur, diselimuti duka. Rumah orang tua Munir itu terus dikunjungi masyarakat sejak pukul 18.00 WIB. Munir meninggalkan istri dan dua anak.

Istrinya bernama Suciwati. Sedangkan dua anaknya bernama Muhammad Alif dan Difa. Meski Munir lebih banyak tinggal di Jakarta, warga sekitar sudah sangat mengenalnya. Putra pasangan almarhum Said bin Salam bin Tholib dan Jamila (80 tahun) ini kerap menghiasi pemberitaan di media massa. Hingga tadi malam, jenazah Munir masih di Amsterdam. Rencananya, petang ini (8/9) Suciati bersama beberapa aktivis Imparsial akan bertolak ke Amsterdam untuk menerima langsung jenazah suaminya. ”Saat berangkat ke luar negeri dia sehat-sehat saja.

Tidak ada (keluhan) apa-apa,’ kata Suciwati sambil mengusap air mata. Menurutnya, Munir akan dimakamkan di Batu. Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda Indonesia, Pujobroto, mengungkapkan bahwa dalam perjalanan Singapura-Amsterdam, Munir memang mengeluh sakit. Dia beberapa kali pergi ke toilet. Seorang dokter yang juga penumpang pesawat tersebut kemudian memberi pertolongan. Munir dipindahkan berdekatan dengan dokter yang duduk di kursi nomor 13 itu. Usai mendapat pertolongan, Munir kemudian bisa istirahat. Dua jam menjelang pendaratan, Munir diketahui sudah meninggal. ”Garuda siap menerbangkan kembali jenazah Munir ke Tanah Air,” katanya.

Rekan sejawatnya juga terkejut mendengar berita itu. Ketua PBHI, Hendardi, di depan kantor Imparsial Jl Diponogoro 9 Menteng, Jakarta, dengan mata sembab terlihat sibuk mengoordinasi rekan-rekannya yang bersiap pergi takziah ke kediaman Munir di Jl Cendana No 12 Rt 04/06 Jaka Sampurna Bekasi Selatan. Bagi para pejuang hak asasi manusia (HAM) dan aktivis gerakan masyarakat madani, pria ‘berambut jagung’ ini memang layak dijadikan batu prasasti. Keberaniannya menghadapi militer dalam masa pancaroba berakhirnya rezim Orde Baru patut diacungi jempol. Nama Munir melambung setelah dia nekat menyabung nyawa dengan mempersoalkan penculikan aktivis mahasiswa yang dilakukan Tim Mawar Kopassus.

Atas kiprahnya, majalah Asiaweek tahun 2000 menganugerahinya sebagai Young Leader for The Millennium in Asia. Munir juga pernah menerima penghargaan The Right Livehood Award untuk promosi HAM dan kontrol sipil atas militer di Stockholm, Swedia, pada Desember 2000. Dari Unesco dia menerima penghargaan An Honorable Mention of the 2000. Majalah Umat menghargainya sebagai Tokoh Tahun 1988. Kolega dekatnya, Ketua Dewan Pengurus YLBHI, Munarman, mengungkapkan, Munir sudah memberikan banyak hal untuk kelangsungan kehidupan berbangsa. Yang paling penting adalah keberaniannya untuk mempersoalkan serta merumuskan kembali hubungan sipil-militer.

”Sebagian cita-cita sudah tercapai. Jasanya banyak, seperti membuka kembali kasus Tanjung Priok, menyoal kembali pelaksanaan darurat militer Aceh,” kata Munarman. Dalam beberapa hari terakhir, Munir banyak disibukkan oleh berbagai acara perpisahan dengan para sejawatnya. Munir, Jumat (3/9), sempat terharu melihat besarnya antusiasme dari rekan-rekannya untuk membuat acara perpisahan. Dalam acara itu Munir malah sempat menceritakan kembali mengenai asal-usul keberaniannya dalam menghadapi militer. ”Kalau orang mengatakan saya ini pemberani, sebenarnya yang pemberani itu istri saya.

Karena, dialah yang mendorong saya,” kata Munir waktu itu. Rekannya yang juga menjadi peneliti di Imparsial, Batara, menceritakan sebelum pergi Munir memang sempat meninggalkan pesan. Menurut Munir, RUU TNI yang kini masih dibahas di DPR harus ditunda pengesahannya. Alasannya, sosialisasi atas aturan tersebut belum begitu luas. Aktivitas Munir diawali dengan menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tahun 1988. Selain itu Munir juga aktif di Al Irsyad Malang dan HMI. Keterlibatannya dalam dunia LSM diawali sebagai salah satu tim pembela kasus Marsinah.

Setelah itu Munir juga bergiat di LBH Surabaya, LBH Semarang, dan di YLBHI Jakarta. Namanya kemudian melambung setelah mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2000. Pada 2002, dia kemudian menjabat sebagai direktur eksekutif Imparsial. Sebagai orang yang sempat meraih berbagai penghargaan, Munir dikenal sangat bersahaja.

Uang bernilai ribuan dolar yang didapatnya dari berbagai penghargaan dari lembaga internasional, tidak ada yang diambilnya. Bahkan, sewaktu masih bekerja di YLBHI Munir lebih memilih naik sepeda motor. Uniknya, pada suatu sore sepeda motornya hilang dicuri. Tetapi, setelah ada salah satu koran ibu kota meributkannya, tiba-tiba saja beberapa hari kemudian sepeda motor itu dikembalikan. ”Pelakunya mungkin menyesal. Sepeda motor itu kan sudah butut,” kata Munir tak lama setelah motornya kembali. (rud/aji/uba/c05)