EDITORIAL: Selamat Jalan Munir

MUNIR meninggal dunia dalam perjalanannya menuju Belanda. Aktivis hak asasi manusia (HAM) ini berpulang karena diduga akibat serangan jantung, tiga jam sebelum mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, kemarin. Almarhum terbang ke Belanda untuk melanjutkan studi.

Itulah berita duka yang sungguh amat mengagetkan kita di Tanah Air. Kita berbelasungkawa sedalam-dalamnya atas berpulangnya orang yang memiliki keberanian yang luar biasa itu.

Kita kehilangan seorang anak manusia yang tidak pernah lelah memperjuangkan HAM dan demokrasi. Kita menundukkan kepala sebagai rasa hormat yang setinggi-tingginya atas perjuangan almarhum.

Kita kagum kepada pria bertubuh kecil dengan nyali besar itu. Kita kagum dengan keberaniannya yang berkobar-kobar melawan ‘bahaya’ kekuasaan model Orde Baru yang bak monster. Kita hormat karena komitmen dan idealisme almarhum untuk memperjuangkan masyarakat sipil tetap kukuh.

Munir muncul dan berani menentang militerisme justru ketika penguasa yang militeristik itu masih amat kukuh berkuasa. Ia akhirnya kita kenal sebagai suara yang berteriak nyaring setiap ada praktik kekerasan yang dilakukan negara terhadap warga sipil. Dan, ia menjadi ikon yang tidak tergantikan di republik ini dalam menentang kekuasaan yang militeristik itu.

Itu semua seperti kita tahu dari banyak cerita, Munir menghadapi risiko yang tidak kecil. Intimidasi, ancaman pembunuhan, dan rupa-rupa teror menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hari-hari sang pejuang HAM ini.

Jika mau, Munir pastilah bisa menikmati hidup nyaman dengan fasilitas melimpah. Tentu saja dengan syarat ia mau menghentikan seluruh aktivitasnya dan memilih jalan aman dengan kekuasaan. Tetapi, ia memilih jalan terjal dan hidup penuh sahaja.

Benar kata orang bijak, tidak ada keberanian yang sia-sia di dunia, tetapi keberanian menentang kekuasaan yang otoriter bukanlah milik orang biasa. Sebab, ia bukan perkara mudah. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai keluarga luar biasa juga. Sebab, teror dan intimidasi bisanya tidak kalah gencar juga ditujukan kepada anggota keluarga: orang tua, anak, istri, dan saudara sang aktivis.

Kita harus akui secara jujur, salah satu buah perjuangan Munir adalah reformasi yang kita rasakan ini. Betapa pun reformasi masih sering menjadi olok-olok, tetapi kita tidak bisa membantah berkah kebebasan berbicara dan meluruhnya peran militer dalam kekuasaan negara. Militer, setidaknya, tidak lagi menjadi kekuatan yang menakutkan lagi bagi bangsa ini.

Pada akhirnya, kita hanya bisa mengucapkan selamat jalan, Munir. Selamat menghadap Sang Khalik. Sebab, kita tidak berkuasa atas kematian siapa pun.

Kita hanya bisa bertanya, kenapa Tuhan terlalu cepat memanggil pulang orang-orang terbaik yang kita punya?