Hidupnya Dihabiskan untuk Membela Hak Asasi Manusia

MANUSIA mati meninggalkan nama besar. Pepatah itu menjadi nyata ketika tokoh aktivis perjuangan hak asasi manusia (HAM), Munir, kemarin dipanggil menghadap sang khalik di usia yang belum mencapai 40 tahun.

Pejuang HAM berambut kemerahan yang kerap dipanggil “cak” (panggilan akrab di Jawa Timur) itu lahir 8 Desember 1965 di Malang, Jawa Timur. Kepergian Cak Munir yang hendak mengikuti seminar di Kota Leiden sambil mengurus beasiswa S-2 yang diperolehnya di Inggris (British Achievening Awards), meninggalkan seorang istri Suciwati, dan seorang anak bernama Sultan Alif Allende.

Munir menghabiskan waktu studinya di Kota Malang. Mulai dari SD Muhammadiyah Batu (1972), SMP Negeri I Batu (1979), SMA Negeri Batu (1982), hingga Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang (1985).

Aktivis HAM yang juga mendapatkan gelar Man of The Year dari majalah Ummat ini, memulai kariernya sebagai staf LBH Malang tahun 1991. Tahun 1992 Munir pindah ke Surabaya menjadi Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH, setahun kemudian ia naik menjadi Ketua Bidang Operasional LBH Surabaya sampai 1995.

Tahun 1996 ia diangkat menjadi Direktur LBH Semarang. Di tahun yang sama, Munir meneruskan kariernya ke Jakarta dengan menjadi Sekretaris Bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Kemudian, pada 16 April 1996, Munir menjadi salah seorang pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini. Sebelum mundur dari Kontras, ia sempat menjadi ketua dewan pengurus. Terakhir dia menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia (Imparsial).

Atas pengabdiannya di bidang kemanusiaan itu, Oktober 1999 ia dinobatkan majalah Asiaweek sebagai salah satu dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru. Tahun 1998, Munir menerima penghargaan Yap Thiam Hien. Selain itu, suami dari Suciwati ini juga mendapatkan Right Livelihood Award 2000 dari Yayasan the Right Livelihood Award Jakob von Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang pemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer di Indonesia.

Kegiatan Cak Munir juga adalah seorang sosok kontroversi bagi pihak penguasa. Ancaman demi ancaman sudah kerap dihadapinya, karena kegiatan dirinya, atau Kontras yang didirikannya. Bahkan pada 30 Agustus 2003, sebuah ledakan terjadi di rumahnya di Jalan Cendana XII No 12 Perumahan Jaka Permai, Bekasi.

Kegiatan Cak Munir memang tidak terlepas dari mengkritisi pihak penguasa. Nama Cak Munir, atau Kontras, memang tidak terlepas dari advokasi terhadap korban tindak kekerasan atau penculikan, yang terjadi pada kasus Tanjung Priok atau kasus yang terjadi menjelang dan selama masa reformasi 1998.

Pada 28 Mei 2003, ratusan pemuda yang menggunakan seragam loreng Pemuda Panca Marga (PPM) menyerbu kantor Kontras karena dinilai terlalu memihak ke Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam kasus pelanggaran HAM di Aceh. Para pemuda itu juga sempat melukai beberapa aktivis Kontras.

Bahkan, mantan Panglima Komando Operasi (Pangkoops) Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh Bambang Darmono sempat mempertanyakan Kontras. “Apa itu Kontras, Imparsial. Orang Takengon juga tidak tahu apa itu. Kita di sini ingin menegakkan hukum, kok malah mereka sewot. Apa urusannya,” katanya (27/6).

Kemudian, pada September 2003, Kontras juga melakukan penelusuran terhadap raibnya 13 orang pengurus masjid di sejumlah daerah di Jakarta, Jawa Tengah, dan Sumatra. (Hnr/P-3)