Munir, Pejuang HAM yang Diakui Dunia

Meski usianya belum genap 40 tahun, namun aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir, telah diakui dunia atas pengabdiannya di bidang kemanusiaan.
Atas pengabdiannya dibidang kemanusiaan itu, Oktober 1999 ia dinobatkan majalah Asiaweek sebagai salah satu 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru. Tahun 1998,�Munir menerima penghargaan Yap Thiam Hien. Selain itu, suami dari Suciwati ini juga mendapatkan Right Livelihood Award 2000 dari yayasan Yayasan the Right Livelihood Award Jakob von Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang pemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer di Indonesia.
Pejuang HAM yang dikenal dengan rambutnya yang agak merah itu lahir 8 Desember 1965 di Malang, Jawa Timur. Ayah dari dua orang anak itu, dipanggil Tuhan dalam pesawat saat perjalanannya untuk meneruskan studi di Belanda, bertepatan dengan disahkannya Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh DPR.
Sejak kecil hingga tamat kuliah dihabiskan di kota kelahirannya. SD Muhammadiyah Batu (1972), SMP Negeri I Batu (1979), SMA Negeri Batu (1982), hingga Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang (1985).
Aktivis HAM yang juga mendapatkan gelar Man of The Year dari majalah Ummat ini, memulai karirnya sebagai Staf LBH Malang tahun 1991. Tahun 1992 Munir pindah ke Surabaya menjadi Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH, setahun kemudian ia naik menjadi Ketua Bidang Operasional LBH Surabaya sampai 1995.
Tahun 1996 ia diangkat menjadi Direktur LBH Semarang. Di tahun yang sama, Munir meneruskan karirnya ke Jakarta dengan menjadi�sekretaris bidang operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Tanggal 16 April 1996, Munir menajdi salah seorang pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini. Sebelum mundur dari Kontras ia sempat menjadi ketua dewan pengurus. Terakhir dia menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia�(Imparsial). (Erlangga Djumena)