Perginya Pahlawan Orang Hilang

HARI Senin, 6 September 2004, pukul 21.09.14, telepon genggam Rachland Nashidik, Direktur Program Imparsial, berdering. Sebuah pesan singkat masuk. “Lan, Cok, aku berangkat, titip kantor dan anak istriku.” Itulah pesan singkat yang dikirim Munir, Direktur Eksekutif Imparsial, kepada Rachland Nashidik dan Rusdi Marpaung (Ucok), sebelum aktivis HAM ini meninggalkan Jakarta menuju Amsterdam (Belanda) untuk melanjutkan studi.

RACHLAND menjawab pesan singkat itu. “Jangan cemas dan ragu-ragu, sukses dengan studimu.”

Waktu terasa begitu cepat. Selasa siang hari Rachland menerima kabar dari Todung Mulya Lubis melalui telepon. Dengan setengah berteriak Mulya mengabarkan kepergian Munir untuk selama-lamanya. Mulya sedang dalam perjalanan menuju Singapura, sementara Rachland berada di Manado, Sulawesi Utara, untuk menyosialisasikan segi negatif Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah.

Mendengar kabar itu, Rachland yang dari nada bicaranya bergetar menghubungi saya untuk meminta konfirmasi soal kabar tersebut. Ia tak percaya begitu saja tentang kepergian Munir yang tiba-tiba.

Setelah mendapat kepastian bahwa kabar itu positif, Rachland tampaknya pasrah. Suaranya bergetar. Mungkin ia menangis karena tak bisa segera pulang ke Jakarta akibat ketiadaan pesawat dari Manado ke Jakarta. “Saya amat sedih,” ujar Rachland yang dijuluki “Three Musketeers Imparsial” bersama Rusdi Marpaung dan Munir. Mereka bertiga ikut mendirikan Imparsial setelah terjadi friksi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sebelumnya, Munir menjabat Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

JUMAT, 3 September 2004, Munir masih menghadiri acara makan siang bersama di Kantor Imparsial di Jalan Diponegoro, Jakarta. Sore harinya masih ada acara “perpisahan” yang diadakan Propatria di Hotel Santika, Jakarta. Sejumlah intelektual muda yang banyak berkecimpung pada isu-isu militer dan hak asasi manusia (HAM), seperti Todung Mulya Lubis, Edy Prasetyono, Syamsuddin Haris, dan Binny Buchory, juga hadir.

Dalam acara itu Munir banyak menyampaikan harapan bahwa dia akan mengambil program doktor sekaligus, meskipun beasiswa yang diperolehnya hanya untuk program master di Universitas Utrecht. “Saya meledek apakah kamu sanggup menjadi kutu buku dan melepaskan diri dari gerakan HAM,” ujar Mulya, yang dijawab oleh Munir, “Ya kalau dua minggu mungkin tahan.”

Dalam masa persiapan untuk studi tentang International Protection on Human Right, Rachland menangkap, Munir menjadi lebih personal. “Kalau ketemu temannya, Munir merangkul. Dia menjadi senang berfoto bersama,” ucap Rachland mengenang kejadian itu.

Di tengah kesibukan untuk kursus bahasa Inggris, Munir kadang mengirim SMS: “Lan, kau di mana, aku kangen nih.” Rachland kadang tertawa dan menjawab dengan ledekan.

MUNIR adalah manusia bersahaja. Meskipun namanya telah mendunia, pernah meraih The Right Livelihood Award dari Yayasan Livelihood Award Jakob von Uexull, Stockholm, Swedia (2000), dan pernah dinobatkan majalah Asiaweek sebagai salah satu dari 20 Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (1999), ia masih mengendarai motor untuk berangkat ke kantor.

Ancaman dan teror sudah akrab buatnya. Saat membongkar kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, ia diancam akan dijadikan sosis oleh orang yang mengaku aparat keamanan. Begitu pula ketika dia membongkar kasus penculikan aktivis mahasiswa pada akhir kekuasaan Soeharto. Dia tak pernah membayangkan sejumlah oknum Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus) diadili atas kasus penculikan tersebut.

Munir mengaku bukan orang pemberani. Namun, ia selalu beda penafsiran mengenai teror yang dialaminya. “Teror itu tergantung penafsiran kita sendiri,” katanya suatu waktu.

Munir mengaku, meskipun takut, ia tak pernah mengungkap rasa takut itu kepada masyarakat. “Kalau saya bilang saya dan keluarga takut, berarti si peneror berhasil menjalankan tugasnya,” kata Munir.

Dia sempat bergabung dalam Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor Timur yang dipimpin Albert Hasibuan. Meskipun ia dikenal pemberani, kultur Jawa masih mengalir dalam dirinya.

Seperti dikisahkan Mulya Lubis, saat akan meminta keterangan Jenderal Wiranto, tim pemeriksa bersepakat untuk menyapa Wiranto dengan sebutan “Saudara Wiranto”. Namun, Munir kemudian menyapanya, “Bapak Wiranto”.

MENJELANG pemilihan umum presiden tanggal 5 Juli lalu, publik dikejutkan oleh tampilnya Munir sebagai juru kampanye Amien Rais, calon presiden dari Partai Amanat Nasional, di televisi. Dalam percakapan dengan saya di Kantor Kompas, Munir mengajukan sejumlah pertimbangan mengapa ia memilih partisan menjadi juru kampanye Amien Rais.

Saya mendebat argumennya. Bukankah aktivis HAM sebaiknya bersifat independen dan imparsial. Ia mengakui perdebatan di kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) begitu gencar. Keputusannya juga digugat oleh aktivis George Junus Aditjondro.

Munir akhirnya mengatakan langkah politiknya itu diambil untuk menyelamatkan bayi demokrasi yang terancam. “Saya mendukung calon presiden yang paling kecil destruksinya terhadap demokrasi,” ujarnya.

Sebelum menjadi juru kampanye Amien Rais, Munir mengaku telah menemui kandidat presiden lain. Ia menawarkan semacam kontrak politik mengenai sejumlah kebijakan yang harus diambil. Akan tetapi, ia memutuskan menjadi juru kampanye Amien Rais.

MUNIR telah mampu menggoyahkan institusi tentara yang begitu kokoh pada era Orde Baru. Ia telah “membebaskan” sejumlah orang yang sempat diculik tentara. “Jasa terbesar Munir adalah ketika ia dengan caranya membongkar kasus penculikan aktivis mahasiswa. Dia pahlawan bagi orang hilang” ujar Mulya Lubis.

Keberanian Munir itu melebihi fisiknya yang kerempeng. Untuk sementara, perdebatan soal HAM di Tanah Air, kehilangan orang yang penuh dedikasi terhadap masalah HAM bisa jadi terhenti.

“Memang sulit menemukan sosok seperti Munir, tapi saya yakin Munir lain akan segera muncul,” kata Mulya lagi. (Budiman Tanuredjo)