Munir, Jusuf, dan Bom Kuningan

Pekan kedua September 2004, kita dikejutkan oleh tiga berita duka. Pertama, wafatnya Cak Munir (38 tahun) pada 7 September, menjelang mendarat di Amsterdam dalam perjalanan studi lanjutnya; kedua, wafatnya Jenderal Andi Muhammad Jusuf pada 8 September dalam usia 76 tahun; ketiga, meledaknya bom di depan Kedutaan Besar Australia, dilakukan oleh manusia biadab dan putus asa, dengan membunuh dan melukai mereka yang tak berdosa dalam jumlah besar. Saya pada hari bom itu meledak (9 September) telah mengeluarkan pernyataan keras, meminta kepada aparat keamanan untuk segera memburu pelaku atau perencana perbuatan teror yang masih hidup, kemudian dibawa ke depan pengadilan untuk dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yang sudah sangat-sangat di luar batas itu.

Siapa yang tak kenal Munir? Seorang pejuang HAM yang gigih, tak mengenal takut kepada siapa pun dalam menjalankan tugas kemanusiaan yang sudah lama digelutinya. Seorang jenderal pernah mengatakan kepada saya bahwa Munir itu seorang komunis, sebuah tuduhan yang tidak punya dasar, tetapi dianggap perlu agar tokoh HAM ini dicurigai dan dikucilkan. Tetapi, bagaimana mau dikucilkan, karena pribadi ini sudah menyatu dengan urat nadi rakyat kecil dan mereka yang menjadi korban tindakan represif pihak penguasa. Dalam diri Munir yang kecil secara fisik terhimpun sebuah elan yang luar biasa dahsyatnya untuk berbuat yang terbaik dalam melindungi mereka yang tak berdaya akibat kesewenang-wenangan aparat.

Dalam kamus kehidupan Munir, apa yang dinamakan rasa takut sudah lama dicoret karena hanyalah akan memasung seseorang untuk melakukan tugas kemanusiaan yang sering penuh bahaya dan risiko itu. Bertahun-tahun Munir dengan Honda bebek dan kemudian dengan Kijang tuanya berangkat dari rumah sewaan di Bekasi menuju kantornya di Jakarta.

Penghargaan telah beberapa kali diterimanya, termasuk dari negara lain, tetapi hasilnya yang berupa uang hampir semua dibagi-bagikan kepada Kontras yang dipimpinnya, sementara Munir sendiri tetap sederhana, tetapi tegar. Maka, tidaklah mengherankan manakala bangsa ini meratapi kepergiannya yang serba mendadak itu, sementara mereka yang  terganggu  selama ini tentu akan bersyukur, sekalipun hati nuraninya akan berkata lain, sekiranya nurani itu masih berfungsi secara utuh.

Suatu ketika Munir mencari saya ke kantor PP Muhammadiyah di Jakarta untuk meminta kesediaan saya menuntun dua kalimah syahadat terhadap seorang pria yang ingin masuk Islam. Tentu saja saya gembira memenuhi harapan Munir yang mulia itu. Saya tidak tahu mengapa Munir memilih saya, tetapi boleh jadi karena saya adalah ketua PP Muhammadiyah yang dipandang patut untuk melaksanakan tugas semacam itu, seperti halnya ketua PP terdahulu. Suatu kali pula kami sama-sama diundang untuk sebuah seminar di Jerman, tetapi pada akhirnya Munir karena terlalu sibuk tidak bisa berangkat, sehingga diskusi panjang yang diharapkan dalam perjalanan batal dilakukan.

Kini Munir secara fisik sudah pergi untuk tidak kembali. Ruh perjuangannya yang tidak pernah mengenal lelah semoga akan tetap menyertai pejuang-pejuang HAM yang lain, sekalipun untuk mencari sosok seberani Munir jelas sulit. Kita tidak tahu rahasia Allah, mengapa Munir terlalu cepat dipanggil, sementara posisinya yang penuh bahaya di atas tidak mudah digantikan. Semoga ruh Munir diterima di sisi Allah dan ditempatkan pada tempat yang mulia pula. Amin.

Kemudian Jenderal Jusuf yang pernah menjabat menteri perindustrian, menhankam/pangab, dan ketua BPK pada era Soeharto juga telah meninggalkan bangsa yang lagi oleng ini untuk selama-lamanya. Puncak kariernya terjadi pada saat menjabat menhankam/pangab pada 1978-1983.

Ia terlalu populer tidak saja di kalangan prajurit yang sangat mencintainya, tetapi juga di kalangan rakyat banyak. Justru popularitas inilah yang menyebabkan Jusuf tidak boleh terlalu lama berada di posisi strategis itu, sebab dapat meredupkan bintang penguasa tertinggi. Jusuf bersinar karena integritas pribadinya dan karena perhatiannya yang besar terhadap kesejahteraan prajurit.

Saya kenal agak dekat dengan Jusuf ketika saya dan istri menunaikan ibadah haji pada 1992. Jusuf sebagai amirul haj dan saya sebagai salah seorang naibnya. Jusuf Kalla juga ikut dalam rombongan ini. Dalam berbagai kesempatan saya menyaksikan betapa jenderal yang satu ini selalu disiplin dalam hidup sehari-hari. Sampai-sampai dikatakannya kepada saya dan Kalla bahwa seorang suami tidak perlu malu-malu mengatur tempat tidur setelah bangun pagi, tak perlu menunggu istri atau pembantu. Inilah Jusuf, salah seorang pelaku Supersemar 1966 telah meninggalkan kita, sementara peristiwa itu sendiri masih mengandung tanda tanya.

September 2004 telah memuat tiga kejadian di atas dengan nilainya masing-masing. Dan, bom Kuningan yang menyisakan kebiadaban harus dikutuk oleh seluruh manusia beradab di muka bumi ini.