Sejumlah LSM Desak Pemerintah Menghentikan Penggusuran

JAKARTA–MIOL: Lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal dan internasional mendesak pemerintah, khususnya Presiden SB Yudhoyono dan Kementerian Perumahan untuk menghentikan penggusuran di kota dan penghancuran perumahan di daerah konflik.

Hal itu disampaikan oleh perwakilan Centre on Housing Rights and Evictions (CoHRE), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Urban Poor Consortium (UPC), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam jumpa pers di kantor Kontras, Jakarta, Jumat.

Menurut Cassandra Goldie, CoHRE mendapat informasi ada lebih dari 65.000 jiwa yang mengalami penggusuran secara paksa sejak 2003 hingga pertengahan 2004.

Pada November 2003, pemerintah Indonesia diberi satu dari tiga penghargaan  Pelanggar hak atas perumahan  karena dianggap gagal mengakui hak warga negaranya atas perumahan dan nafkah hidup walaupun hak itu dilindungi oleh UUD pasal 28.

 Pemerintah Indonesia berulang kali mengabaikan hak ekonomi dan sosial warganegaranya dan sudah melanggar hak asasi manusia (HAM) dasar ribuan orang miskin dengan penggusuran secara paksa,  kata Goldie.

*

Kehadiran LSM internasional yang bergerak dalam bidang penegakan hak atas perumahan dan anti penggusuran itu, menurut Goldie adalah sebagai pernyataan solidaritas terhadap usaha-usaha kelompok masyarakat sipil di Indonesia yang mempromosikan hak atas perumahan orang miskin dan orang pinggiran, serta untuk mendorong terbentuknya solusi positif bagi permasalahan penggusuran.

 Kuncinya adalah dialog antara pemerintah, korban pengusuran dan pihak yang terkait lainnya sehingga dapat dihasilkan penyelesaian yang tidak menentang perkembangan perekonomian namun dapat menciptakan pembangunan yang berperikemanusiaan,  katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur LBH Jakarta, Uli Parulian Sihombing menegaskan bahwa penghentian penggusuran adalah janji pemerintah yang harus ditagih namun bukan cuma untuk 100 hari saja.

Permasalahan penggusuran sangat rumit, misalnya masalah kaki lima di Jakarta bukan saja menyangkut hak pejalan kaki atas trotoar namun juga hak hidup pedagang kaki lima.

Mengenai hal itu, M Berkah Gamulya dari UPC mengatakan bahwa solusinya adalah dengan dialog yang akan menghasilkan kesepakatan mengenai pengaturan wilayah bersama.

 Misalnya masalah kaki lima solusinya bisa trotoarnya diperlebar agar bisa menampung kaki lima dan pejalan kaki dengan aman dan nyaman,  katanya.

Goldie menegaskan bahwa solusi yang didapat dari dialog jelas lebih murah dan berkelanjutan dari pada penggusuran berkali-kali yang menghabiskan dana ratusan juta seperti yang terjadi saat ini. (Ant/O-1)