Tahun 2004 Tahun Pencucian Dosa Politisi Berdarah

Siaran Pers KontraS

1/SP-KontraS/I/2004

"Tahun 2004 Tahun Pencucian Dosa Politisi Berdarah"

Catatan Awal Tahun 2004

Tahun 2004 memiliki momentum politik yang sangat strategis, dimana ditahun ini Pemilu kedua paska mundurnya Presiden Soeharto akan dilaksanakan. Selain itu, Pemilu tahun ini juga tampak masih akan sangat menentukan konsolidasi demokrasi di Indonesia, meskipun perjalanannya masih terancam beberapa maslah krusial.

Kepemimpinan sipil hasil Pemilu 1999 tidak mampu melakukan koreksi yang signifikan terhadap problem politik pelanggaran HAM. para elit politik partai yang awalnya ingin menunjukan posisi yang reformis ternyata hanyut dalam fragmatisme politik. Mega selaku pimpinan partai ‘korban’ juga tidak bebuat banyak terhadap praktik kekuasaan kotor tersebut. Ironisnya malah bergandeng tangan dengan para penanggung jawab peritiwa 27 Juli yang memakan korban pendukungnya. Sealin itu, tidak ada kemajuan yang berarti rezim Mega ini dalam penghentian korupsi dan penegakan HAM karena para pelaku justru bagian dari sistim kekuasaan.

Sejumlah produk baru paska Pemilu 1999 tetang reformasi kelembagaan militer, justru mengalami kemunduran akibat rendahnya kapasitas otoritas politik dan elit yang berkuasa sehingga gagal mendorong proses perubahan struktural TNI. Baik itu berkaitan dengan sistim peradilan, bisnis militer, maupun struktur teritorial. Rendahnya kapasitas otoritas sipil ini terlihat pada sejumlah kebijakan politik strategis menyangkut keamanan dan pertahanan, proses pemajuan penegakan hukum nasional di bidang hak asasi manusia, serta kuatnya kecenderungan para politisi sipil menarik TNI kembali berpolitik untuk Pemilu 2004.

Kecenderungan politisi sipil menarik militer berpolitik, termasuk para purnawirawan selanjutnya malah membuka pintu bagi militer kemabli ke gelanggang politik. Politisi sipil masih menganggap militer sebgai faktor signifikan sekaligus simbolstabilitas politik nasional, sehingga menempatkan unsur militer menjadi primadona dan menempati ‘nomor jadi’ pada daftar caleg partai-partai tersebut.

Beberapa kecenderungan diatas, jelas akan memberi keuntungan besar pada posisi militer tanpa koreksi, sehingga terus menguatkan lingkaran impunitas. Secara lebih jelas, hal ini akan semakin dikukuhkan oleh kecenderungan-kecenderungan pada tahun 2004 berikut :

  1. Tidak Bekerjanya Aparatur Negara Secara Efektif Karena Terlibat Partai Politik . KontraS memperkirakan mulai awal hingga akhir tahun 2004, hampir seluruh pejabat sipil pad struktur eksekutif maupun legislatif, terutama unsur kekuatan-kekuatan politik akan menguras energinya demi memenagkan pemilu, bahkan dengan berbagai cara. Kondisi ini menyebabkan usaha-usaha mempersoalkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia diabaikan, malah tidak dipedulikan. Ruang publik untuk mempersoalkannya akan didominasi kepentingan kompetisi politik parpol.
  2. Ditahun 2004, Kekerasan dan Pelanggaran HAM Terancam Diabsahkan . Pengabsahan ini terjadi melalui sejumlah praktik hukum dan politik sebagi kelanjutan kebijakan negara pada tahun 2003. Misalnya pemberlakuan darurat militer di Aceh. Selain itu, juga ditandai dengan tidak beresnya proses penuntutan perkara Tanjung Priok, peradilan koneksitas kasus penyerbuan 27 Juli 1996 yang jauh dari rasa adil serta lolosnya pelaku kejahatan dari penegakan hukum.
  3. Pemilu 2004, Terancam Dijadikan Alat Cuci Dosa Politisi Berdarah . Hal ini dikarenakan sejumlah politisi berdarah akan menggunakan pemilu sebagi watafel politik untuk mencuci dosa dan kesalahan mereka dimasa lalu terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan termasuk mereka yang bukan para politisi. Faktor-faktor di atas, tidak bisa dilepaskan dari catatan-catatan evaluasi KontraS terhadap perkembangan situasi dan kondisi hak asasi manusia di tahun 2003, yaitu :

Pada tahun ini, justru kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia banyak terjadi di berbagai wilayah. Pola kekerasan tahun 2003 terjadi melalui lintas basis persoalan, baik politik ,ekonomi, sosial maupun gender. Hal ini bisa dilihat dari basis korban kekerasan terhadap perempuan diwilayah konflik, kasus buruh migran, guru sekolah, pegawai negeri sipil, petani, nelayan, termasuk jurnalis, aktifis kemanusiaan, dan hak asasi manusia yang mengadvokasi kasus-kasus di atas.

Pada tahun ini pula, solusi militer (security approach) dalam kebijakan pemerintah, kembali diterapkan terutama mnyikapai soal Aceh dan Papua. Alasan pengerahan pasukan militer ke dua wilayah tersebut, mulai dari sekedar latihan militer, pergantian pasukan, hingga alasan pemberantasan separatisme dengan Keppres. Pada prakteknya, pengerahan pasikan tanpa kontrol dan koreksi yang terukur, terutama menyangkut jatuhnya korban sipil. Padahal Garis-Garis Besar Haluan Negara memandatkan penuntasan masalah Aceh secara damai dan berkeadilan dengan mengusut kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Aceh dan Papua. Tak satupun pengusutan serius dilakukan. Walhasil, selain kasus-kasus lama (DOM) terbelengkalai, kasus-kasus baru terus terjadi bersusulan.

Atas dasar catatan diatas, KontraS memperkirakan tantangan perjuangan menegakan hak asasi manusia di Indonesia pada tahun 2004 akan jauh lebih berat dari tahun 2003, bahkan lebih berat dari tahun-tahun sebelumnya. KontraS juga meragukan bahwa enam prioritas pemerintahan Megawati bisa tercapai.

Oleh karena itu KontraS merekomendasikan agar tanggung jawab negara terhadap penegakan hukum (rule of law) terutama tuntutan penuntasan kasus-kasus kejahatan HAM tetap tidak bisa dilepaskan. Kedua, harus ada jaminan bahwa seluruh aparatur negara tidak meninggalkan kewajiban menjalankan tugas dan kewajibannya hanya karena sibuk berpolitik, apalagi menggunakan sarana dan pra sarana negara untuk kepantingan politik. Ketiga, menolak masuknya para politisi masa lalu yang terlibat dalam berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Demikian. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.

Jakarta, 6 Desember 2004

Usman Hamid
Koordinator