Tawaran Damai Presiden Harus Lebih Konkret

Tawaran damai yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret. Jika tidak, tawaran tersebut hanya akan sia-sia dan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) akan terganggu .

Demikian pendapat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang disampaikan Koordinator Kontras Usman Hamid, di kantor Kontras, Jakarta, Senin (10/1). Usman didampingi Koordinator Operasional Kontras Edwin Partogi.

Pendapat ini disampaikan Kontras menyusul pernyataan Presiden Susilo, Minggu (9/1). Presiden menyerukan kepada GAM untuk segera menyelesaikan konflik guna membangun kembali Aceh pascabencana dahsyat yang meluluhlantakkan kota Serambi Mekah itu.

Kontras sendiri menyambut baik tawaran rekonsiliasi itu. Kesepakatan politik gencatan senjata antara pemerintah dan GAM sangat mendesak. Hal ini akan menjamin berjalannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Terlebih, mengingat belakangan ini mulai kembali terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM.

Usman berpendapat, ada dua langkah konkret yang seyogianya diambil pemerintah terkait dengan langkah damai yang ditawarkan oleh Presiden Susilo, yaitu memberikan akses bantuan kemanusiaan kepada GAM dan memberikan amnesti dan membebaskan seluruh juru runding GAM.

"Bantuan kemanusiaan pascabencana tsunami harus diberikan kepada seluruh warga Aceh tanpa diskriminasi termasuk kepada GAM yang mengalami krisis pangan. Dalam kondisi bencana seperti ini, kemanusiaan harus diletakkan di atas segalanya, melampaui batas-batas teritorial negara, kedaulatan, latar belakang politik, etnis, agama, jender, dan sekat-sekat lainnya," jelas Usman.

Selanjutnya, tentang amnesti, Kontras memandang perundingan tidak mungkin bisa dilakukan tanpa negosiator dari pihak GAM. Amnesti juga memiliki arti penting sebagai dasar membangun kepercayaan (trust) antara kedua belah pihak.

Saat ini, lima juru runding GAM ditahan oleh pemerintah RI. Mereka dijatuhi hukuman selama 11 hingga 15 tahun dengan tuduhan subversi. Kelima orang juru runding GAM itu adalah Sofyan Ibrahim Tiba, Tengku Nasrudin, Muhammad Usman Lampo Awe, Tengku Kamaruzaman, dan Amni Ahmad Marzuki. Sofyan Ibrahim Tiba tewas dalam bencana tsunami.

Jepang

Lebih jauh, tentang langkah konkret tawaran damai tersebut, Kontras berpendapat perlunya pihak ketiga sebagai mediator. Kedua belah pihak jangan memilih mediator dari lembaga nonpemerintah seperti Henry Dunant Center pada saat CoHA. Mediator ini haruslah sebuah negara yang memiliki integritas dan disepakati kedua belah pihak.

"Jika mediator dipilih dari lembaga nonpemerintah, ia (mediator itu) tidak memiliki kekuatan penekan kepada kedua belah pihak untuk melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai. Lembaga nonpemerintah hanya akan dilecehkan," terang Usman.

Kontras mengusulkan Jepang sebagai pihak ketiga dalam perundingan damai. Alasannya, selain netral, Jepang pernah berperan dalam perundingan CoHA.

Idealnya, menurut Usman, mediator itu adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, Ia khawatir, masuknya PBB akan memunculkan resistensi di kalangan pemerintah. Sebab, ia yakin, jika PBB menjadi mediator persoalan pertanggungjawaban kemanusiaan akan menjadi salah satu agenda pembicaraan. Organisasi bangsa-bangsa di dunia itu memiliki perhatian khusus atas persoalan hak asasi manusia di Indonesia.

"Kita jangan dulu bicara tentang pertanggungjawaban kemanusiaan. Itu nanti dulu. Yang mendesak dibutuhkan sekarang adalah gencatan senjata. Damai dulu. Itu saja," tegas Usman.

Selanjutnya, pembicaraan damai itu sebaiknya dilakukan pemerintah dengan perwakilan GAM di Aceh, bukan perwakilan GAM di Swedia. "Perwakilan GAM di Swedia tidak sepenuhnya memiliki kesamaan persepsi dengan GAM di Aceh. GAM Swedia tidak memahami situasi lapangan di Aceh," katanya. (Heru Margianto).