Akui Terima Salinan Putusan, Komisi III Didesak Panggil Jaksa Agung

Jakarta, Kompas – Kejaksaan Agung sebagai lembaga harus bertanggung jawab atas tindakan jaksa Gabriel Simangunsong yang tidak mengajukan memori kasasi dalam kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur, dengan terdakwa mantan Komandan Korem 164 Timtim Brigadir Jenderal TNI Tono Suratman. Dari kasus ini terbukti bahwa Kejaksaan Agung tidak serius dalam menangani perkara pelanggaran HAM berat di Timtim. Komisi III DPR didesak segera memanggil Jaksa Agung untuk dimintai pertanggungjawaban.

Kecaman terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung) itu diutarakan sejumlah aktivis LSM yang selama ini aktif mengadvokasi kasus pelanggaran HAM, seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), di Jakarta, Kamis (10/3).

Wakil Direktur YLBHI Robertus Robert dan Koordinator Kontras Usman Hamid meminta Jaksa Agung bertanggung jawab atas kesalahan anak buahnya, bukan melimpahkan kesalahan kepada pengadilan atas kecerobohan yang dilakukan Gabriel, Jaksa Penuntut Umum perkara Tono Suratman.

Kecerobohan

Robert menjelaskan, kecerobohan yang dilakukan oleh Gabriel ini semakin kuat mencerminkan bahwa ada penyakit parah di dalam tubuh Kejagung. Sebab, untuk perkara yang penting dan menjadi perhatian dunia internasional saja kejaksaan bisa demikian ceroboh, apalagi perkara lain yang tidak mendapatkan perhatian dunia internasional.

"Kejadian ini harus menjadi momen bagi Jaksa Agung untuk melakukan pembenahan besar-besaran di Kejagung, terutama di Direktorat HAM berat. Ini harus menjadi perhatian serius bagi Jaksa Agung, bukan hanya memanggil dan memberi sanksi administratif kepada Gabriel. Jaksa Agung harus menyadari bahwa kecerobohan yang dilakukan anak buahnya ini memiliki implikasi luas bagi Indonesia karena persepsi internasional bahwa Indonesia tidak serius menangani kasus pelanggaran HAM akan semakin kuat," kata Robert tegas.

Panggil Jaksa Agung

Usman Hamid juga menyatakan hal senada. Ia mendesak Komisi III DPR segera memanggil Jaksa Agung dan jajaran Direktorat HAM berat untuk dimintai pertanggungjawaban. Usman mengingatkan, kecerobohan yang dilakukan Gabriel bukanlah tanggung jawab individual belaka, melainkan berdasarkan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 21, 22, dan 23 disebutkan bahwa Jaksa Agung bertanggung jawab terhadap penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM berat.

"Tidak bisa kalau kesalahan ini dianggap sebagai kesalahan individual Simangunsong. Yang dikenal di dalam UU Pengadilan HAM yang bertanggung jawab adalah Jaksa Agung, bukan jaksa penuntut umum. Jadi, kesalahan Gabriel ini adalah kesalahan Kejagung karena mereka tidak serius menangani perkara pelanggaran HAM berat," ujar Usman tegas.

Kejaksaan naif

Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Ridwan Mansyur juga menegaskan bahwa alasan Kejagung mengenai tidak diserahkannya memori kasasi karena JPU tidak menerima salinan putusan adalah alasan yang naif. "Naif sekali kalau jaksa mengatakan begitu. Itu alasan yang absurd," kata Ridwan menegaskan.

Ia melanjutkan, di dalam KUHAP saja disebutkan bahwa bila pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya.

Akui terima

Setelah mencoba mengalihkan kesalahan kepada pengadilan dengan mengatakan belum menerima salinan putusan yang kemudian dibantah oleh hakim ad hoc, pihak Kejagung akhirnya mengakui bahwa jaksa Gabriel sudah menerima salinan putusan.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Sudhono Iswahyudi melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Soehandojo menjelaskan hal itu di Jakarta, Kamis (10/3). Pengakuan itu muncul dari Gabriel Simangunsong yang diperiksa Sudhono di Gedung Bundar Kejagung, sehari sebelumnya. Padahal, Gabriel yang ditemui di Gedung Bundar Kejagung pada Rabu siang menegaskan bahwa dirinya belum menerima salinan putusan perkara Tono Suratman itu. "Putusan resmi memang belum diterima sampai sekarang. Yang diterima jaksa adalah putusan yang tidak resmi," ujar Soehandojo.

Soehandojo mengatakan, Gabriel mengaku menerima salinan putusan Majelis Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc tentang perkara Tono Suratman pada 16 Juni 2003. Sesuai permohonan kasasi yang diajukan Gabriel pada 3 Juni 2003, maka batas waktu pengajuan memori kasasi berakhir 17 Juni 2003. "Sehingga, jaksa mengaku kesulitan menyusun memori kasasi dalam waktu terbatas," katanya menambahkan.

Selain itu, tambah Soehandojo, salinan putusan Pengadilan HAM Ad Hoc tersebut bukanlah salinan putusan resmi karena belum dilengkapi tanda tangan majelis hakim dan panitera. Apalagi, sampul salinan putusan itu bertanggal 13 Mei 2003, padahal putusan dibacakan tanggal 22 Mei 2003. "Sulit membuat memori kasasi dengan salinan putusan yang tidak resmi, karena khawatir putusan aslinya nanti tidak sama," tandas Soehandojo.

Kendati demikian, dari bukti yang dimiliki Kejagung, Gabriel sudah menyusun memori kasasi tertanggal 14 Juni 2003. Artinya, memori kasasi itu sudah dibuat sebelum jaksa menerima salinan putusan. Akan tetapi, Gabriel tidak menyerahkan memori kasasi tersebut karena ternyata ada beberapa hal pada salinan putusan yang tidak sesuai dengan putusan yang dibacakan.

Ketika ditanya, apakah semua keterangan yang disampaikan kepada wartawan sebelumnya merupakan dalih Kejagung menyelamatkan diri dari tanggung jawab, Soehandojo dengan tegas menolak. Pasalnya, persoalan yang berkaitan dengan memori kasasi perkara Tono merupakan tanggung jawab pribadi jaksa. Kejagung-khususnya Direktorat HAM Kejagung-tidak berkoordinasi dengan jaksa yang menangani perkara itu.

Akan tetapi, tambah Soehandojo, JAM Pidsus Sudhono Iswahyudi dengan tegas menyatakan Gabriel bersalah karena lalai menyampaikan memori kasasi. Namun, Gabriel tidak dapat dikenai sanksi Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, karena sudah purnatugas. (IDR/vin)