Koalisi Ornop Indonesia dan Timor Leste Sesalkan KKP

JAKARTA–MIOL: Koalisi organisasi non pemerintah (ornop) Indonesia dan Timor Leste menyesalkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), karena keputusan politik kedua negara itu telah mengesampingkan tuntutan keadilan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia serius di Timor Timur pada 1999.

"Kami mencurigai adanya deal-deal politik dibalik pembentukan KKP yang tergesa-gesa dan buruknya kerangka acuan KKP," kata Usman Hamid dari Kontras, salah satu ornop anggota koalisi dari Indonesia, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat.

KKP dibentuk untuk menghilangkan beban masa lalu kedua negara terkait pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timtim tahun 1999 dan resmi ditandatangani kedua pemerintah pada 9 Maret 2005.

Mereka juga menginginkan agar kedua pemerintah tetap menjalankan proses hukum untuk mengadili para pelanggar HAM serius di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999.

"Pembentukan KKP sangat bertolak belakang dengan Konstitusi Timor Leste karena dalam konstitusi disebutkan jika terbukti terjadi pelanggaran HAM yang serius di Timor Timur dulu maka prosesnya harus melalui pengadilan," ujar Amado Hei, pengacara dari Timor Leste yang mewakili Perkumpulan Hukum, Hak Asasi, dan Keadilan (HAK).

Ia lalu menunjukkan pasal 160 Konstitusi Timor Leste mengenai kejahatan serius dimana disebutkan bahwa tindakan yang dilakukan antara 25 April 1974 dan 31 Desember 1999 yang dapat dipertimbangkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pemusnahan suku bangsa (genocide) atau perang akan diajukan ke pengadilan nasional atau internasional.

Mengenai KKP itu, Menteri Luar Negeri Timor Leste Ramos Horta, dalam sidang Dewan Keamanan PBB (28/2) pernah menyatakan KKP merupakan wujud dari keinginan rakyat Indonesia dan Timor Leste dalam menyelesaikan masalah masa lalunya dengan tetap melihat pada kebenaran dan semangat rekonsiliasi.

Tetapi Amado membantah pernyataan itu dan mengatakan pemerintah Timor Leste tidak pernah mengkonsultasikan KKP kepada parlemen dan masyarakatnya, hanya memberitahu bahwa ada pembentukan KKP yang akan segera ditandatangani oleh kedua pemerintah.

Keberatan impunity

Koalisi ornop tersebut juga keberatan terhadap materi rincian ketentuan (terms of reference) KKP, khususnya butir 14 (c) (i), karena dapat melegalkan pengampunan (impunity) bagi pelanggar HAM berat yang telah diadili kedua negara.

Padahal, ujar Alexander Flor dari Watch Indonesia!, para korban pelanggaran HAM berat yang ada di Timor Leste perlu untuk melihat berlangsungnya peradilan yang jujur dan terbuka terhadap para pelanggar HAM.

"Kami tidak anti KKP tapi komisi ini tidak memenuhi syarat yang diperlukan untuk dapat mencari kebenaran dan memberikan kompensasi spiritual bagi para korban," kata Alexander.

Mereka berpandangan prinsip rekonsiliasi bukan sekedar memaafkan, tetapi juga harus memperhitungkan keadilan.

Sebagai bentuk penyelesaian masalah antara Indonesia dan Timor Leste, mereka tetap lebih mempercayai pembentukan Komisi Ahli (Commission of Experts) yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meneliti proses hukum atas kasus tindak pelanggaran HAM serius di Timor Timur tahun 1999.

Sekjen PBB Kofi Annan pada 18 Februari 2005 telah menunjuk hakim Prafullachandra Bhagwati dari India, Professor Yozo Yokota (Jepang) dan Shaista Shameem (Fiji) untuk masuk dalam Komisi Ahli PBB. Namun Pemerintah Indonesia melalui Deplu-RI menyatakan tidak memerlukan keberadaan Komisi Ahli dan menegaskan tidak akan bekerja sama dengan komisi itu.

"Komisi Ahli dapat mendorong penyelesaian masalah ke arah yang sesungguhnya karena pelanggaran HAM tidak akan selesai hanya dengan kesepakatan elitis seperti itu," kata Atnike Nova Sigiro, Koordinator Kampanye HAM Elsam.

(Ant/Ol-1)