Mabes Polri Didemonstrasi
Polisi Dikecam Biarkan Aksi Teror

Jakarta, Kompas – Lebih dari 100 warga Bojong, Klapanunggal, Bogor, Jawa Barat, Senin (28/3) siang melanjutkan aksi unjuk rasa bersama aktivis lembaga swadaya masyarakat di Markas Besar Polri. Para pengunjuk rasa mengecam sikap polisi yang membiarkan aksi teror terhadap warga yang menolak adanya tempat pengolahan sampah terpadu. Mereka menilai polisi mengabaikan laporan warga korban teror.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Hermawanto, menegaskan, warga Bojong telah melaporkan penghadangan dan intimidasi dalam aksi damai warga ke Kepolisian Resor (Polres) Bogor. Nomor berkas pengaduan itu LP/115/KIII/2005/RES/BGR, tertanggal 24 Maret 2005.

"Akan tetapi, sampai sekarang (Senin siang-Red), tidak ada tindakan apa pun dari polisi. LBH Jakarta menilai aksi- aksi premanisme dan bahkan pembiaran oleh polisi merupakan preseden buruk ke depan bagi proses penegakan hukum dan demokrasi. Pembiaran itu menyalahi undang-undang dan merupakan sikap yang tidak bertanggung jawab. Kami mendesak agar, kalau perlu, Kepala Polri turun tangan mengatasi masalah ini," ujarnya.

Beberapa lembaga swadaya masyarakat lain yang juga mengecam teror atas warga dan dugaan pembiaran oleh polisi adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Aliansi Rakyat Bersatu (ARB), dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria.

Dalam unjuk rasa, Erwin Usman, Koordinator Posko Pembelaan Warga Bojong, mengungkapkan kembali dasar-dasar penolakan warga atas rencana Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong.

Menurut Erwin, rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan peraturan daerah (perda) tidak mengatur peruntukan Bojong untuk tempat sampah. RTRW menetapkan Bojong untuk kawasan perumahan dan pariwisata, kemudian Perda Kabupaten Bogor Nomor 17 Tahun 2000 mengukuhkan peruntukan itu.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Aryanto Boedihardjo mengatakan, pihak Markas Besar Polri mengarahkan kasus ini agar ditangani polisi setempat, baik Kepolisian Daerah Jawa Barat maupun Kepolisian Wilayah Bogor. "Mereka diminta mengambil langkah sesuai tugas, peranan, dan kewenangan Polri," katanya.

Ditanya mengenai pembiaran teror oleh polisi setempat, Markas Besar Polri akan memberikan arahan dan mempelajari apa saja yang sudah dilakukan. Juga akan diselidiki soal kebenaran apakah polisi setempat membiarkan teror.

"Jika benar ada pembiaran, ya akan dilihat sejauh mana pembiarannya. Kalau memang benar ada yang salah, ya mekanisme hukuman di internal Polri kan sudah jelas. Ada sanksi disiplin, sanksi kode etik, atau sanksi pidana. Kalau ada pelanggaran pidana, tentu akan disidang di peradilan umum," kata Aryanto menambahkan.

Menanggapi penolakan warga atas TPST Bojong, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengatakan, seharusnya pihak penolak memberikan solusi penanganan sampah. "Kalau teknologi canggih yang dipakai di negara maju masih ditolak, mau pakai teknologi apa lagi?" katanya.

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, M Rusly HR, dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengatakan sudah saatnya DKI Jakarta memiliki tempat pengolahan sampah di rumah sendiri. Pengolahan sampah itu bisa saja dengan sistem insinerator secara desentralisasi.

"Jangan lagi tergantung daerah lain. Sudah saatnya mengolah sampah sendiri. Harus punya tempat pengolahan sampah berteknologi tinggi, minimal di daerah sumber sampahnya, seperti di kelurahan, setidaknya kecamatan," tutur Rusly.

Menurut dia, kalau mengolah sampah di daerah sendiri, penolakan warga pasti tidak ada karena sampah itu berasal dari masyarakatnya sendiri. (PIN/ADP)