Menolak Pendekatan Keamanan Penyelesaian Kasus Tanah Masyarakat Mesoyi dan Dukuh Keprok Dengan PTPNN

Siaran Pers Bersama

Menolak Pendekatan Keamanan Penyelesaian Kasus Tanah Masyarakat Mesoyi dan Dukuh Keprok Dengan PTPNN IX Pekalongan-Jawa Tengah

 

Kami organisasi yang tergabung dalam solidaritas atas kasus tanah antara Masyarakat Mesoyi dan Dukuh Keprok dengan PTPN IX Jolotigo, Kab. Pekalongan-Jawa Tengah, menyesalkan telah terjadinya pengkriminalisasian terhadap 5 warga desa serta kuasa hukumnya oleh Polresta Pekalongan.

Kasus ini bermula dari tanah eks HGU PTPN IX Jolotigo Pekalogan yang telah habis masa berlakunya sejak tahun 2001. Tanah tersebut oleh dua warga desa diatas diakui sebagai tanah bondo desa yang dulu digarap oleh warga desa. Pada tahun 1965 warga diusir paksa dari tanah tersebut dengan tuduhan PKI, kemudian tanah tersebut diambil alih oleh PTPN IX Jolotigo.

Dalam proses penyelesaian sengketa ini masyarakat telah menempuh jalur damai dengan melibatkan DPRD dan BPN setempat. Namun upaya Damai yang dilakukan oleh masyarakat tidak menemui hasil, kemudian masyarakat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Pekalongan.

Pada persidangan di PN Pekalongan 7 Februari 2005 dalam putusan sela-nya majelis menolak gugatan penggugat. Keluar dari dari ruang persidangan massa SP BUN PTPN IX melakukan penghadangan dan penganiayaan terhadap masyarakat di halaman pengadilan. Tindakan premanisme ini telah telah dilaporkan warga kepada Polresta, namun hingga saat ini belum ada satu pun pelaku yang ditangkap.

Sengketa tanah ini sekarang dalam proses Banding di Pengadilan Tinggi Semarang. Sementara itu masyarakat mulai melakukan penanaman di tanah eks HGU PTPN IX Jolotigo di lokasi yang terlantar. Tindakan masyarakat ini mendapat reaksi keras dari pihak PTPN IX Jolotiga, BPN Kanwil Jateng dan Polres Pekalongan. Yang diikuti dengan tindak pemanggilan dan penetapan tersangka terhadap dua orang warga yaitu Bisri dari Dukuh Keprok dan Nasihin dari Desa Mesoyi pada 25 April 2005. Selain itu kuasa hukum warga Handoko Wibowo juga ikut diperiksa oleh polisi. Pada 26 April 2005 polisi kembali menetapkan 3 tersangka baru yaitu, Suwandi, Subur dan Tasrib.

Berdasarkan uraian diatas, kami menilai:

  1. Pendekatan keamanan telah digunakan secara sepihak yang hanya berorietasi kepada kepentingan investor/pemilik modal. Dengan melakukan kriminalisasi terhadap warga termasuk kuasa hukumnya. Hal ini akan berimplikasi buruk pada penegakan HAM dalam penanganan kasus agraria.
  2. Terdapat upaya sistematis dari pemerintah, aparat keamanan dan investor untuk mematahkan perjuangan rakyat mendapat tanahnya dengan cara represif. Hal ini disebabkan karena penguasaan atas tanah masih mengedepankan. kepentingan pemilik modal.
  3. Tidak adanya bukti legal penguasaan dan kepemilikan tanah rakyat, telah dijadikan alat untuk melakukan pencaplokan tanah untuk kepentingan operasi perkebunan besar. Pendekatan legalistik tanpa mempertimbangkan unsur historis atas tanah tersebut akan mengakibatkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara.
  4. Tidak adanya mekanisme damai yang di fasilitasi oleh Negara yang berorientasi pada kepentingan rakyat kecil telah mendorong warga mengambil inisiatif sendiri dalam penyelesaian sengketa mereka.

Oleh karena itu kami yang tergabung dalam Solidaritas untuk perjuangan tanah rakyat meminta:

  1. Mendesak pihak Polresta Pekalongan untuk menghentikan segala upaya kriminalisasi terhadap warga dan kuasa hukumnya. Serta melakukan pengusutan yang serius dan transparan terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh SP BUN PTPN IX Jolotigo pada 7 Februari 2005.
  2. Meminta Komnas HAM untuk melakukan mediasi bagi upaya penyelesaian damai atas sengketa tanah ini. Dan melakukan pemantauan bagi usaha penegakan hak asasi manusia pada kasus agraria.
  3. Mendesak kepada pemerintah dan PTPN IX untuk mengakui hak tanah warga tersebut guna memperbaiki taraf ekonomi masyarakat kecil.
  4. Pemerintah perlu mempertimbangkan dibentuknya komisi khusus bagi penyelesaian sengketa tanah yang banyak terjadi, agar mencegah cara-cara represif.

Jakarta, 27 April 2005

 

FP2NBP- Wahyudi 0816 1994424; Raca Institute-Dwi Ayu 08161623034; Papanjati; LBH Semarang-Rahma 0812 284 0995; KontraS-Edwin Partogi 0816 1464323; Demos-Agung 0811937324; Walhi-Erwin 08158036003; YLBHI-Eli Salomo 081316522482; Elsam; GMJ; Petani Mandiri-Sudirman 081323073244

 

 

 


 

LAMPIRAN

 

KRONOLOGIS SEMENTARA KRIMINALISASI PETANI

DALAM KASUS TANAH BEKAS HGU PTPN IX JOLOTIGO-PEKALONGAN

Kasus tanah ini bermula dari masuknya tanah-tanah yang diklaim sebagai bondo deso petani ke dalam tanah yang dikuasai oleh PTPN IX Jolotigo Pekalongan saat terjadi nasionalisasi tanah-tanah bekas hak erfpacht oleh Pemerintah Republik Indonesia pada sekitar tahun 1959-1960.

Luas tanah yang diklaim petani dan dikuasai PTPN IX Jolotigo adalah : 6,75 ha dan 42 ha untuk desa Donowangun (sertifikat HGU No.1) , dan 129,75 ha untuk desa Mesoyi (sertifikat HGU No. 1).

Selama kurun waktu tersebut, petani di dua desa yaitu Desa Mesoyi dan dukuh Keprok, Desa Donowangun tidak memiliki akses lagi terhadap tanah tersebut.

Harapan petani untuk dapat menggarap tanah guna mencukupi kebutuhan hidupnya yang serba kekurangan, muncul ketika habisnya HGU PTPN IX pada tanggal 31 Desember 2001. Untuk menuntut tanah bekas HGU tersebut, masyarakat melakukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Pekalongan dengan nomor gugatan : 20/Pdt/G/PN Pkl/2004 pada tanggal 25 September 2004. Dalam putusan selanya, majelis hakim menyatakan gugatan masyarakat tidak dapat diterima. Namun, karena masyarakat mengajukan banding atas putusan sela tersebut, putusan hakim belum berkekuatan hukum tetap.

Detail selengkapnya sebagai berikut :

31 Desember 2001 :
HGU PTPN IX Jolotigo habis masa berlakunya. Dengan demikian, secara hukum status tanah kembali menjadi tanah negara.

Selama tahun 2002-2004 :
Masyarakat petani desa Mesoyi dan dusun Keprok, desa Doniwangun, berupaya untuk mengembalikan sebagian tanah bekas HGU PTPN IX Jolotigo tersebut menjadi tanah garapan dan tanah bondo deso. Upaya masyarakat mulai disampaikan ke BPN Pekalongan, BPN Kanwil Jawa Tengah, BPN Pusat, dan DPRD Pekalongan.

23 Juli 2004 :
Kepala Seksi Hak Atas Tanah BPN Kanwil Jawa Tengah, Bernhard Sitanggang, S.H. menyatakan bahwa PTPN IX Jolotigo telah memasukkan berkas-berkas permohonan perpanjangan HGU yang telah habis masa berlakunya tanggal 31 Desember 2001. Namun, permohonan tersebut belum lengkap sehingga belum bisa diproses.

24-27 September 2004 :
Masyarakat desa Mesoyi dan dukuh Keprok desa Donowangun, Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri Pekalongan dengan nomor : 20/Pdt/G/PN Pkl/ 2004. Pengajuan gugatan tersebut dilakukan oleh perwakilan petani anggota Forum Perjuangan Petani dan Nelayan Batang-Pekalongan. Mereka adalah Sugandhi, Wahyudi, dan Tahroni.

30 September 2004 :
Federasi Serikat Pekerja Perkebunan (FSP) BUN PTPN IX Jolotigo telah berkirim surat kepada Pengadilan Negeri Pekalongan, dimana dalam surat tersebut pihak SP BUN mengancam akan melakukan pengerahan massa berkaitan dengan gugatan petani ke PN Pekalongan.

Selama bulan Oktober – Desember 2004 :
Telah berlangsung 5 kali persidangan perdata di PN Pekalongan berkaitan dengan gugatan petani melawan PTPN IX Jolotigo.

13 Oktober 2004 :
PTPN IX Jolotigo mengajukan permohonan pengukuran kepada Kepala Kantor Pertanahan Pekalongan dan diteruskan kepada BPN Kanwil Jawa Tengah.

27 Desember 2004 :
Acara sidang kelima dengan agenda pembacaan putusan sela. Dalam putusan sela ini, majelis hakim yang diketuai Ny. Rosida Idroes, S.H menyatakan menerima eksepsi tergugat (PTPN IX Jolotigo) dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Terhadap putusan ini, para petani penggugat mengajukan banding.

Usai sidang, tanggal 27 Desember 2004 :
Beberapa orang karyawan PTPN IX (dari 200 orang yang datang ke PN Pekalongan), melakukan pemukulan, meludahi, dan mencaci maki 2 orang petani penggugat (Wahyudi dan Sugandhi) dan 2 orang aktivis mahasiswa yang datang ke PN Pekalongan.

27 Desember 2004, siang-sore :
Para petani meminta perlindungan hukum ke Polres Pekalongan.

31 Maret 2005 :
SP BUN PTPN IX Jolotigo mengadu ke DPRD Pekalongan atas tuntutan masyarakat untuk menguasai tanah PTPN IX Jolotigo. Dalam pertemuan itu, SP BUN menyatakan akan mempertahankan setiap jengkal tanah PTPN IX (Suara Merdeka, 1 April 2005).

5 April 2005 :
Petani desa Mesoyi dan Donowangun bersama FP2NBP, didampingi Handoko Wibowo, S.H dan LBH Semarang melakukan dialog dengan DPRD Pekalongan untuk meminta DPRD Pekalongan menjadi Fasilitator Dialog dan Pelindung Hukum terhadap petani yang selama ini masih menempuh jalur hukum, namun diintimidasi pihak PTPN IX Jolotigo. Dalam pertemuan ini, DPRD berjanji akan menengahi proses ini dan meminta PTPN IX untuk mengeluarkan sebagian tanah bondo deso yang diklaim petani dari proses perpanjangan HGU.

11 April 2005 :
Kepala BPN Kanwil, Ir. Bambang S. Widjanarko, MSP mengeluarkan surat dengan nomor 550/755/33/2005 yang ditujukan kepada Bupati Pekalongan tentang Penyelesaian Status Tanah HGU PTPN IX Jolotigo. Dalam bagian akhir tentang keinginan masyarakat memiliki tanah-tanah PTPN IX Jolotigo, BPN menjelaskan dengan menggunakan dasar Undang-Undang Perkebunan nomor 18 tahun 2004 Pasal 47 jo 21 bahwa setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan , melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

12 April 2005 :
PTPN IX Jolotigo melaporkan petani yang melakukan reklaiming ke Polres Pekalongan.

12 April 2005 :
BPN Kanwil Jawa Tengah mnginformasikan biaya pengukuran untuk kebun PTPN IX Jolotigo adalah sebesar Rp. 1. 275.897.000,00 (satu miliar dua ratus tujuh puluh lima juta delapan ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah).

13 April 2005 :
PTPN IX membayar biaya ukur kepada BPN Kanwil Jawa Tengah sebesar 1.275.897.000,00 (satu miliar dua ratus tujuh puluh lima juta delapan ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah).

14 April 2005 :
Polres Pekalongan memanggil 2 orang petani yaitu Nasihin dan M. Bisri dan kuasa hukum petani Handoko Wibowo, SH untuk didengar keterangannya sebagai saksi di Polres Pekalongan pada tanggal 18 April 2005 dalam perkara tindak pidana dengan sengaja merusak aset perkebunan dengan cara penggunaan lahan perkebunan tanpa ijin dan perampasan hak atasn benda tidak bergerak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 jo 21 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan da Pasal 385 KUHP.. Menanggapi panggilan pertama ini, petani akan mendatanginya seminggu kemudian.

23 April 2005 :
Petani dan kuasa hukum menunjuk LBH Semarang sebagai pengacara.

25 April 2005 :
2 orang petani dan Handoko Wibowo, SH diperiksa di Polres Pekalongan sebagai saksi mulai jam 10.30 WIB. Pada awal pemeriksaan, tim kuasa hukum tidak diperkenankan mendampingi para petani, hanya boleh menyaksikan dari luar. Namun setelah terjadi perdebatan panjang antara Kasat Reskrim (Usup Sumanang, SH) dengan LBH Semarang, akhirnya LBH diperbolehkan mendampingi langsung.

25 April, jam 13.00 WIB :
Ada seorang petani dusun Keprok desa Donowangun yang bekerja sebagai karyawan PTPN IX Jolotigo, ditangkap ketika masih bekerja di lahan dan langsung diperiksa sebagai tersangka di Polres Pekalongan. Pemeriksaan berlangsung secara diam-diam tanpa didampingi pengacara. Diketahui kemudian, petani sekaligus buruh perkebunan tersebut bernama Suwandi.

25 April, jam 15.00 WIB :
Setelah pemeriksaan saksi usai, M.Bisri langsung dinaikkan statusnya menjadi tersangka. Terhadap ini penasehat hukum (LBH Semarang) langsung bereaksi dan menanyakan hal ini kepada Kasat Reskrim (Usup Sumanang, SH). Penasehat hukum berpendapat bahwasanya untuk proses naiknya status saksi menjadi tersangka harus melalui beberapa prosedur terlebih dahulu (hal mana berbeda dengan proses tindak pidana ringan), seperti misal harus adanya keterangan dari minimal 2(dua) orang saksi lain. Kasat Reskrim agak berang menaggapi hal ini, Ia mengatakan sepenuhnya wewenang polisi dan anda tidak perlu tahu. Termasuk perihal beberapa warga yang ditangkap langsung di lahan dan dijadikan tersangka.

25 April, jam 19.00 WIB :
Setelah pemeriksaan saksi usai, Nasihin langsung dinaikkan menjadi tersangka. Malam itu juga Nasihin dan Bisri langsung diperiksa sebagai tersangka.

25 April, jam 00.00 WIB :
Pemeriksaan diakhiri, dilanjutkan keesokan paginya. Ketiga orang petani langsung dibuatkan surat penangkapan dan ditahan di dalam sel.

26 April 2005 :
Handoko Wibowo bersama LBH Semarang berupaya mengajukan penangguhan penahanan disertai surat jaminan. Surat tersebut diserahkan ke Kapolres Pekalongan (Lotharia Latief) dan Kasat Reskrim.

26 April, siang :
Polres Pekalongan melakukan penangkapan lagi terhadap 2 petani yang juga karyawan PTPN IX bernama SUBUR dan TASRIP. Pemeriksaan kedua orang tersebut yang langsung dinyatakan tersangka dilakukan diam-diam dan tanpa didampingi pengacara.

26 April, sore :
M. Bisri dinyatakan sakit karena penyakit hernia nya kambuh, dan harus diopname di Puskesmas Kajen Pekalongan.

26 April sore :
Pemeriksaan terhadap Nasihin selesai. Penyidik Polres Pekalongan mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap 5 orang petani selama 20 hari terhitung dari tanggal 26 April 2005 sampai tanggal 15 Mei 2005.

Salam,

Rahma MH
Ka.Div. Petani

LBH-Semarang
Jl.ParangKembangNo.14 TlogosariSemarang
Telp.024-6710687,Fax.024-6710495
email : lbhsmg@indosat.net.id