MASYARAKAT DIIMBAU AGAR TIDAK TERPANCING

Makassar, Kompas
Masyarakat setempat diimbau agar tidak terpancing dengan terjadinya ledakan bom yang menewaskan 20 orang dan melukai 53 warga lainnya di sekitar Pasar Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Sabtu (28/5) pagi.

Ledakan itu diyakini dilakukan pihak luar yang menginginkan konflik kembali terjadi di kawasan itu karena selama ini masyarakat di daerah tersebut hidup damai dan tenang.   

Imbauan itu diutarakan sejumlah tokoh di Sulawesi Tengah (Sulteng) dan juga yang terlibat dalam proses perdamaian konflik Poso.

Ketua Kelompok Kerja Malino I Prof Sulaiman Mamar mengatakan, selama ini konflik horizontal di masyarakat sudah tidak tampak lagi. Masyarakat sudah beraktivitas seperti umumnya dan menghilangkan konflik masa lalu.

"Jadi diharapkan masyarakat tetap tenang, tidak terpancing, termasuk juga masyarakat di Poso dan Palu. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat di Tentena diharapkan bisa menenangkan umatnya. Jangan sampai ada balasan dari kelompok tertentu," kata Sulaiman, seorang tokoh Muslim.

Hal senada disampaikan Alex, Ketua Crisis Center Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Menurut dia, peledakan bom itu sangat jelas bertujuan membenturkan kembali warga Poso. "Upaya itu sudah beberapa kali dilakukan, tetapi selalu gagal," katanya.

Alex dan Sulaiman menambahkan, saat ini kerukunan umat beragama di Poso terjalin dengan baik. Semua warga Poso dari agama yang berbeda pun telah bertekad untuk bersama- sama membangun kembali Poso yang pernah porak poranda akibat konflik horizontal tahun 1998-2002.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Sulteng, M Ichsan Loulembah, menegaskan, "Ini jelas merupakan teror. Bukan datang dari masyarakat yang dulu pernah berkonflik karena sekarang sudah tidak terjadi apa-apa di masyarakat. Buktinya, teror dilancarkan di pasar, tidak pilih-pilih, di pasar kan siapa saja. Teror ini ingin menciptakan kembali konflik horizontal di masyarakat."

Sejumlah organisasi kemasyarakatan di Poso, di antaranya Forum Silaturahim dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI) dan Crisis Center GKST, langsung mengutuk peristiwa tersebut.

Sekretaris Jenderal FSPUI Poso H Syafullah Jafar yang dihubungi kemarin mengatakan, ledakan bom di Tentena itu adalah perbuatan yang tidak dapat diterima oleh semua agama."Kami mengutuk pelaku pengeboman itu, dari kelompok mana pun dia," kata Syafullah.Menurut dia, pelaku ledakan adalah orang-orang yang ingin kembali menciptakan konflik horizontal di Poso demi mengambil keuntungan.

Kasus korupsi dan pilkada
Ledakan bom di Tentena ini justru ditengarai terkait dengan kasus-kasus terakhir yang mencuat ke permukaan, yaitu kasus dana-dana yang dikorupsi dan proses pemilihan kepala daerah (pilkada).

"Di kawasan itu konflik sudah beranak pinak dan sudah keluar dari konflik awal. Sekarang sudah merembet ke soal dana-dana masyarakat yang dikorupsi dan masalah pilkada," kata Ichsan.

Dugaan ke arah pengacauan pilkada juga disampaikan Pendeta Dharma Sallata, pengurus Badan Kerjasama Gereja Se-Kota Palu. "Ledakan bom itu ditengarai untuk mengacaukan pilkada. Karena itu, kami imbau kepada umat agar tetap tenang dan tidak terprovokasi," ujar Pendeta Dharma Sallata.

Dikatakannya, sejak Sabtu siang pihaknya mengimbau di gereja-gereja agar umat tetap tenang dan tidak terganggu. Melihat teror yang tidak pernah berhenti di Sulteng, Ichsan mengatakan, pemerintah pusat harus menanggapi dengan serius sejumlah kasus tersebut.

"Ini harus ditanggapi oleh Presiden dan juga Wapres yang dulu memfasilitasi pihak-pihak yang berkonflik di sana (Tentena). Tidak bisa diharapkan kepada pemerintah kabupaten atau pemerintah provinsi. Karena itu, pemerintah pusat harus menanganinya. Soal keamanan harus ditingkatkan," kata Ichsan, yang juga Ketua Kaukus Daerah Konflik di DPD.

Belum ada motif
Di Jakarta, dalam konferensi pers kemarin, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Aryanto Budihardjo menyatakan belum bisa memastikan motif maupun pelaku peledakan. Namun, katanya, polisi menduga peledakan itu terkait dengan konflik berkepanjangan di Poso.

Aryanto juga belum bisa memastikan apakah peledakan bom itu terkait dengan meningkatnya aktivitas teroris paling dicari, Dr Azahari dan Noordin M Top, seperti yang disinyalir akhir-akhir ini. "Polisi masih dalam proses pengolahan tempat kejadian perkara," katanya.

Ia membantah anggapan bahwa polisi kecolongan atas ledakan itu sebab cakupan daerah pengamanan yang terlampau luas dibandingkan dengan jumlah petugas kepolisian yang bertugas di daerah konflik itu. "Bisa terjadi banyak kejadian akibat konflik yang berlanjut di Poso. Di mana pun tempat bisa menjadi sasaran peledakan bom. Para pelaku bisa melihat setiap peluang yang ada," katanya.

Mengenai tindakan pascaledakan, Aryanto menyatakan, sampai kemarin belum ada penambahan personel kepolisian ke Poso. Penanganan olah tempat kejadian perkara peledakan bom di Tentena juga masih diserahkan kepada polisi setempat.

 Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), serta Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng kemarin menyampaikan keprihatinan mendalam atas insiden peledakan bom di Tentena itu.

 "Ini kekerasan luar biasa di tahun 2005 karena menewaskan 20 orang," demikian siaran pers bersama mereka.

 Menurut ketiga LSM tersebut, peledakan bom di Tentena pada Sabtu pagi merupakan bentuk pemeliharaan kekerasan di Kabupaten Poso sepanjang tujuh tahun terakhir, yaitu sejak pecah kerusuhan massal tahun 1998.

"Dari semua kasus pengeboman itu, tidak satu pun yang mampu ditangani aparat kepolisian," demikian siaran pers yang dibuat Usman Hamid dari Kontras, M Arfiandi (PBHI), dan Syamsul Alam Agus (LPS-HAM Sulteng).

Ketiga LSM yang aktif memberikan advokasi terhadap pelanggaran HAM di Indonesia itu menilai, ledakan bom di Tentena menggambarkan bahwa proses penegakan hukum atas para pelaku tindakan kekerasan di bekas daerah konflik ini tidak dilakukan dalam upaya penciptaan perdamaian di Poso.

"Yang terjadi selama ini hanya kegiatan simbolik berupa penempatan pos-pos polisi dan TNI (dengan sandi Operasi Sintuwu Maroso) serta penangkapan sejumlah orang yang kemudian dilepas karena tidak cukup barang bukti," kata mereka. (rei/ssd/naw/dwa)