BANTUAN PENGUNGSI DAN BOM WAKTU DARI MASA LALU

JIKA ditanyakan soal jaminan hidup dan bekal hidup, Uci (38), warga Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, bisa dengan runtut dan bersemangat menyodok segala bentuk kekurangan dalam penyaluran bantuan kemanusiaan itu.

SEKALIPUN dirinya sudah menerima bantuan tersebut, Uci yang ditemui Kompas akhir Mei lalu menyebutkan bahwa masih ada sekitar 300 keluarga (KK) di desanya yang belum mendapatkan hak atas jaminan hidup. "Jadi, kalau bapak bilang dilupakan saja, tidak bisa. Itu kan hak kita di sini," kata Uci meninggi ketika Kompas mengutip kemungkinan korban pengungsi menerima saja terminasi bantuan itu dilakukan pemerintah sebelum menerima haknya.

Seperti yang disampaikan Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah Syamsul Alam Agus, wajar saja jika masyarakat Poso korban konflik bersikap seperti itu. Mereka tahu ada dana bantuan kemanusiaan yang diberikan pemerintah pusat. Di sisi lain, mereka pun mengendus kemungkinan dana tersebut dimanipulasi sehingga ada sebagian dari mereka yang berhak namun belum juga menerima bantuan itu.

Hasil investigasi yang kemudian dilansir bersama oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Crisis Center-Gereja Kristen Sulawesi Tengah (CC-GKST), Indonesian Corruption Watch (ICW), Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah (LPSHAM Sulteng), Komisi Anti Kekerasan dan Orang Hilang (KontraS), Himpunan Pemuda Al-Khairaat Poso (HPA Poso), Pusat Rekonsiliasi Konflik Poso (PRKP), dan Komunitas Korban Konflik Poso menyebutkan, hampir semua jenis bantuan kemanusiaan yang seharusnya diberikan kepada para pengungsi di Poso terindikasi telah dikorupsi oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses penyaluran bantuan tersebut. Bukan hanya negara yang dirugikan akibat korupsi
itu, masyarakat pengungsi pun dirugikan karena haknya yang tidak diperoleh secara penuh.

Beragam modus dipergunakan untuk memanipulasi dana bantuan kemanusiaan tersebut. Jumlah pengungsi di-mark up dengan adanya nama KK yang terdaftar dua kali ataupun nama-nama yang tidak dikenal, namun ada dalam daftar. Bantuan lauk-pauk sebesar Rp 1.500 dan beras 400 gram per jiwa per hari pun diduga dikorup karena ada saja KK yang hanya menerima penyaluran bantuan sekali, namun dipaksa menandatangani tanda terima lebih dari itu. Adanya pengungsi yang
kembali ke daerah asal tanpa pemberian dana pemulangan pengungsi memperkuat dugaan korupsi dana kemanusiaan itu. Penundaan pembayaran dana kemanusiaan juga ditengarai merupakan kesengajaan untuk mengendapkan dana tersebut demi keuntungan pribadi dan/atau kelompok

Menurut Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Pengungsi Kerusuhan Poso yang dikeluarkan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulawesi Tengah, santunan keluarga korban berupa uang sebesar Rp 2 juta per jiwa diberikan kepada keluarga korban atau ahli warisnya. Bantuan jaminan hidup diberikan kepada pengungsi setelah tiba di daerah asal dalam bentuk uang senilai Rp 1,25 juta per KK. Demikian pula bekal hidup yang diberikan kepada pengungsi yang telah kembali ke tempat asal sebagai modal usaha sebesar Rp 1,25 juta untuk setiap KK.

Elemen masyarakat lainnya juga melansir hal yang nyaris sama. Hal itu terlihat dengan datangnya Mahfud Maswara dan Arianto Sangaji dari Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Zulkifli Kay dari Forum Solidaritas Masyarakat Poso (FSMP), dan Iskandar Lamuka dari Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LMPS) di hadapan Panitia Khusus (Pansus) Poso DPR pada pertengahan Mei lalu. Dalam bahan yang juga disampaikan kepada Pansus Poso DPR, dugaan dana kemanusiaan konflik Poso mencapai Rp 43,162 miliar. Total dana jaminan hidup dan bekal hidup yang diduga dikorupsi mencapai Rp 27,052 miliar. Berikutnya, dugaan korupsi dalam pengadaan bahan bangunan rumah (BBR) mencapai Rp 9,11 miliar. Sementara dana pemulangan pengungsi sekitar Rp 7 miliar yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan.

Para aktivis ini juga meminta agar dugaan kasus korupsi dana kemanusiaan ini diselesaikan di Jakarta. Jika penanganannya dilakukan di Poso atau Palu, dikhawatirkan akan terjadi benturan kepentingan yang menggunakan kekuatan massa. Hal itu sangat berbahaya untuk pemulihan kondisi Poso pascakonflik.

Para aktivis pemberantasan korupsi tersebut terang-terang menunjuk Penjabat Bupati Poso Andi Azikin Suyuti yang juga merupakan Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah terkait langsung dengan manipulasi dana bantuan kemanusiaan itu. Bahkan, mereka tidak sungkan melontarkan tudingan bahwa Azikin terlibat dalam rangkaian intimidasi dan teror yang dilakukan terhadap sejumlah elemen masyarakat yang berupaya mengungkap dugaan korupsi tersebut.

Yang juga mereka khawatirkan adalah pengungkapan dugaan korupsi dana kemanusiaan korban kerusuhan di Poso itu kini dibayang-bayangi dengan teror terhadap elemen masyarakat yang secara kritis menyuarakan dugaan korupsi tersebut. Salah satu kasus terbaru yang mencuat adalah teror peledakan bom di Kantor PRKP dan LMPS Poso pada akhir April lalu. Tekanan bisa dilakukan mulai dari upaya pencegahan massa yang hendak berunjuk rasa di Poso atau Palu yang berujung pada teror peledakan bom tersebut. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan memperumit kondisi di Poso yang relatif semakin kondusif yang ujung-ujungnya dikhawatirkan akan memantik konflik kembali. Bahkan, tanpa bisa menahan emosi, Zulkifli menilai jika mereka terus-menerus diganggu, bukan tidak mungkin mereka pun tidak akan takut-takut untuk membalasnya.

Opini dari kelompok ini semakin mengeras ketika kemudian terjadi peledakan dua bom di Pasar Tentena pada akhir Mei lalu. Dengan segera tudingan langsung tertuju kepada Azikin Suyuti dengan menyebutkan bahwa peledakan bom tersebut merupakan upaya pengalihan atas penuntasan dugaan kasus korupsi dana kemanusiaan di Poso. Bukan hanya dari LSM saja, bahkan salah seorang politisi perempuan yang merupakan unsur pimpinan Pansus Poso DPR dengan cepat bisa melontarkan pernyataan senada bahwa peledakan bom di Tentena terkait dengan dugaan korupsi dana bantuan kemanusiaan ketika penyelidikan yang dilakukan polisi pun belum menghasilkan apa-apa.   

Bantahan dan perlawanan
Perlawanan balik bukannya tidak dilakukan oleh Penjabat Bupati Poso Andi Azikin Suyuti. Sebagaimana dikutip dari kantor berita Antara, Azikin balik berencana menggugat sejumlah aktivis LSM atas dugaan pencemaran nama baik. Menurut Azikin, pihak yang hendak dilaporkan ke polisi itu adalah Direktur YTM Arianto Sangaji dan sosiolog George Junus Aditjondro karena keduanya dinilai telah menyebarkan fitnah melalui media massa terkait motif peledakan bom di
Tentena.

Menurut Azikin, dalam berbagai kesempatan Arianto dan George kerap melontarkan pernyataan ke media dengan menyebutkan motif di balik peledakan bom di depan Pasar Tentena pada 28 Mei lalu terkait dengan kasus dugaan korupsi dana kemanusiaan bagi pengungsi korban kerusuhan Poso yang melibatkan Azikin Suyuti. Opini yang dibangun Arianto dan George dinilai merupakan pembunuhan karakter dan juga menimbulkan ketidakpercayaan pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Poso dan juga masyarakat Poso. Menurut Azikin, opini sesat yang merupakan fitnah tersebut akhirnya mengancam jalannya roda
pemerintahan di Poso. Azikin balik menyebutkan bahwa Arianto dan George sengaja menyebarkan opini peledakan bom di Tentena terkait dengan dugaan penyimpangan dana pengungsi itu semata-mata untuk mencari popularitas dan keuntungan pribadi. Keduanya hanya memanfaatkan momentum pengungkapan kasus korupsi dan bom Tentena.

Langkah Azikin ini rupanya juga mendapatkan dukungan tidak langsung dari elemen masyarakat. Pada Rabu (25/5), misalnya, lebih dari 100 warga Poso berunjuk rasa di Kantor DPRD Kabupaten Poso. Mereka menyesalkan gerakan elemen masyarakat yang mencuatkan dugaan korupsi dana kemanusiaan dengan keinginan mengganti Penjabat Bupati Andi Azikin Suyuti-bahkan sampai harus mengadu ke pemerintah pusat dan DPR segala. Seperti dinyatakan koordinator lapangan pengunjuk rasa Fritz Sam Purnama, jika memang kepala daerah definitif bisa terpilih sekitar dua bulan lagi, semestinya masa jabatan Azikin bisa diperpanjang. Pilihan itu lebih bagus ketimbang harus mengangkat penjabat yang baru, yang harus menyesuaikan lagi dengan kondisi Poso sehingga diyakini tidak akan efektif bekerja sepanjang waktu yang tersedia.

Kondisi tersebut terang saja bikin miris. Ketika mobilisasi massa terjadi, ketika kemudian provokasi diamini, tidak tertutup kemungkinan gesekan antarkelompok berulang kembali. Yang pasti, warna-warni di sekitar bantuan kemanusiaan memang tidak kunjung henti sekalipun waktu semakin panjang menjauh terhitung sejak awal konflik. Apa pun bantahan yang dilontarkan, semua pihak merasa memiliki pegangan yang kuat saat mengajukan opininya. Sangat disayangkan ketika perdebatan yang berputar-putar sekitar dana bantuan kemanusiaan tidak berkesudahan. Jika memang menghendaki konflik tidak berkelanjutan, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menarik keuntungan dari dana kemanusiaan, tidak boleh pula ada pihak yang menjadikan semua dugaan sebagai komoditas untuk mengegolkan target-target tersembunyi.

Jika sepakat dengan itu, saatnya segera membuka tabir sekitar bantuan pengungsi tersebut, sebelum "bom waktu" dari masa lalu itu benar-benar meletus meninggalkan permasalahan yang benar-benar tidak berkesudahanà. (Sidik Pramono)