Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;Alternatif Penyelesaian Kejahatan HAM Masa Lalu?

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;
Alternatif Penyelesaian Kejahatan HAM Masa Lalu?

“Memastikan pengungkapan kebenaran merupakan jaminan keadilan akan ditegakkan, tapi kebenaran sendiri tidak bisa menggantikan keadilan”
– Suara para korban di Chile dalam merespon laporan KKR Chile

Pengantar

Evolusi gerakan HAM dan norma-norma (instrumen) internasional telah menghasilkan mekanisme penyelesaian pelanggaran (berat) HAM masa lalu  yang variatif, baik di tingkatan internasional, regional, maupun nasional. 1 Penulis paling tidak mengidentifikasi ada 3 model; Pertama, pengadilan HAM internasional dan regional, sebuah pengadilan yang dibentuk melalui mekanisme Perserikatan Bangsa Bangsa/PBB, seperti Tribunal Nuremberg, Tokyo, Rwanda, dan Yugoslavia atau regional, seperti pengadilan inter Amerika dan Eropa. Kedua, pengadilan hybrid, sebuah tribunal yang menggabungkan hukum internasional dengan nasional, termasuk aparatur pengadilannya, seperti yang digelar di Sierra Leone dan Kosovo. Ketiga, mekanisme non-judisial, penyelesaian yang tidak melalui sistem peradilan. Beberapa contoh model ketiga ini adalah mekanisme lustrasi (pencopotan jabatan bagi pelaku masa lalu), reparasi (pemberian ganti rugi bagi para korban), dan pembentukan komisi kebenaran (dan rekonsiliasi).

Variasi model-model di atas bukan berarti satu sama lain menjadi alternatif, namun bisa bersifat komplementer. KKR sendiri bisa dibentuk secara domestik, seperti di Afrika Selatan, Chile, Argentina, dan negeri lainnya (termasuk Indonesia), bisa pula dibentuk oleh badan internasional (PBB) seperti yang terjadi di Rwanda, El Salvador, dan Angola. 2

Adanya variasi model di atas lebih disebabkan oleh suatu konteks politik yang khas antara satu negeri dengan negeri lainnya. Model pertama (juga kedua) terjadi ketika pelaku (dan mesin politiknya) relatif bisa ditundukkan, umumnya oleh kekuatan militer internasional. Sementara model ketiga terjadi pada negeri-negeri yang sedang memulai transisi politik (dari sistem otoriter ke demokrasi) yang relatif damai dan dari hasil kompromi politik antara kekuatan baru dengan kekuatan lama (pelaku). Transisi politik ini kemudian menghasilkan model keadilan transisional. Umumnya negeri-negeri yang sedang memulai transisi politik harus bisa menjaga keseimbangan kompromi kepentingan antara kelompok korban -yang menghendaki bentuk keadilan yang sempurna- dengan kubu pelaku  yang menghendaki catatan masa lalunya dihapus. Secara ilustratif pilihannya adalah penghukuman atau amnesti. Pada konteks inilah kemudian muncul pilihan jalan ketiga, yaitu pembentukan komisi kebenaran (dan rekonsiliasi). Pelaku tidak dibawa ke muka pengadilan, namun diharuskan untuk menarasikan seluruh kekejamannya di masa lalu, sering kali bermuara pada pernyataan maaf. Sementara itu korban dinaikkan harkat dan martabatnya dengan diberi kesempatan untuk menuturkan sejarah versinya dan sekaligus diberikan kompensasi, untuk memulihkan kerugian material dan immaterial yang telah dialaminya. Karena itu yang paling esensial dari KKR adalah upaya pengungkapan kebenaran (truth seeking) masa lalu agar  di masa depannya tidak terulang kembali (guarantees of non-recurrence). KKR dalam konteks ini diharapkan mampu menentukan garis demarkasi antara masa lalu dengan masa depan. Di beberapa negara, KKR menjadi sebuah lembaga yang bisa merekomendasikan sebuah program reformasi politik, baik reformasi legislasi (konstitusi) maupun reformasi institusional.

Mengapa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi?

Beberapa alasan sebuah KKR perlu dibentuk; pertama, secara prinsipil ada keterbatasan mekanisme hukum (sistem pengadilan) dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, sesuatu yang lazim terjadi di negeri-negeri otoriter. Sulit misalnya membawa suatu kasus masa lalu yang bukti dan saksinya sangat sedikit, bahkan kadang kala telah hilang. Demikian pula sulit membawa suatu kasus ke pengadilan di mana pelakunya sudah mati. Mekanisme KKR kemudian bisa menjadi alternatif dengan mengakui kesaksian korban sebagai sebuah kebenaran sejarah, tidak melulu harus kebenaran hukum. Kedua,  alasan yang lebih bersifat politis dan pragmatis bahwa transisi politik memerlukan suatu kepastian arah dan stabilitas.  Umumnya transisi politik di dunia ketiga lahir tidak lewat sebuah prosesi politik yang radikal, namun lebih bersifat reformatif, damai, dan kompromistis. Akibatnya sebagian dari mesin politik masa lalu masih memainkan peran politik yang signifikan dalam sistem yang baru. Bila prinsip ideal akan keadilan mutlak diterapkan, maka bisa dipastikan para pelaku yang harus dibawa ke muka pengadilan jumlahnya akan besar sekali. Ini akan menimbulkan keresahan politik dari para pelaku, yang bisa membahayakan stabilitas transisi itu sendiri. Karena itu laporan kerja KKR umumnya hanya menjelaskan hubungan antara pola kekerasan dengan struktur politik di masa lalu. Ketiga, ada ketidakyakinan akan independensi sistem peradilan. Pengadilan diragukan memiliki integritas dan kapasitas dalam mengadili para pelaku karena institusi pengadilan sendiri merupakan warisan rezim masa lalu. Keempat, seringkali rezim otoriter yang brutal melakukan politik pecah belah (dan diskriminasi) di tingkatan masyarakat sipil, entah atas garis agama, ras, atau etnis. Rekonsiliasi sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan formasi sosial masyarakat selama fase transisi. Kelima,alasan politis yang strategis. Argumen ini didasari pada sebuah perencanaan politik jangka panjang bahwa transisi politik pada masa awal merupakan fase di mana perubahan berlangsung lebih terbatas. Karena mekanisme pengadilan dipandang terlalu radikal, maka mekanisme KKR yang kompromistis hanya diperlakukan sebagai suatu investasi politik. KKR dalam konteks ini dipersiapkan sebagai amunisi untuk proses prosekusi di masa depan, di mana rezim politiknya lebih berpihak pada korban. Pandangan ini didukung oleh suatu prinsip juridiksi universal (asas retroaktif) yang menyatakan bahwa pelanggaran berat HAM masa lalu tidak mengenal batasan waktu (kadaluwarsa). Argumen strategis ini misalnya menjadi acuan dari gerakan HAM dan korban di Argentina dan Chile (juga beberapa negara Amerika Latin lainnya), yang setahap demi setahap bisa memutus rantai impunitas.

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa KKR sendiri merupakan medan pertarungan politik antara para pelaku (yang masih berkuasa) dengan kelompok pembaharuan (termasuk korban). Berhasil tidaknya suatu kerja KKR tidak ditentukan oleh perangkat institusionalnya, namun lebih dideterminasi oleh pertarungan politik tersebut. Bila KKR lebih dikendalikan oleh kepentingan pelaku maka hasilnya tentu akan menguntungkan pelaku, alih-alih dihukum mereka malah mendapat amnesti. Sebaliknya bila kelompok korban cukup mengontrol KKR, mereka akan mendapatkan investasi politik yang berharga di kemudian hari. 3

Beberapa Model KKR  

Model pembentukan komisi non-judisial –dengan berbagai nama-  untuk merespon kejahatan masa lalu telah dilakukan oleh puluhan negara, mulai dari negeri yang keluar dari rezim militer ke rezim sipil elektoral, seperti kebanyakan negara di Amerika Latin (termasuk beberapa negara di Asia dan Eropa Selatan), negeri yang keluar dari situasi konflik internal yang berkepanjangan, seperti kebanyakan negara di Afrika, hingga negeri pasca rezim sosialis di Eropa Timur. 4 Secara umum KKR yang paling dikenal secara internasional adalah yang dibentuk di Argentina, Chile, El Salvador, Afrika Selatan, dan Guatemala.5 Di bawah ini hanya dicantumkan 3 model KKR, Argentina, Afrika Selatan, dan Indonesia. Hingga tulisan ini dibuat KKR di Indonesia masih dalam tahap pemilihan anggota komisionernya.

Model KKR di Argentina, Afrika Selatan, dan Indonesia

Argentina

Afrika Selatan

Indonesia

Nama

Komisi Nasional untuk Orang Hilang (CONADEP)

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC)

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  (KKR)

Tugas

  1. Melakukan truth seeking untuk kasus penghilangan paksa
  2.   Menyiapkan berkas untuk penuntutan di pengadilan

truth seeking
-rekomendasi amnesty
-inisiatif rekonsiliasi
-reparasi bagi korban
-merekomendasikan negara untuk melakukan reformasi legislasi dan institusional

-truth seeking
rekomendasi amnesty
-inisiatif rekonsiliasi
-reparasi bagi korban

Rentang Waktu Kasus

1976 – 1983

1960 – 1994

1945 – 2000

Konteks Pelanggaran HAM

Periode di mana militer melakukan kudeta dan diperkirakan menghilangkan secara paksa 30.000 orang, di mana dikenal sebagai era Perang Kotor

Kejahatan apartheid

Seluruh pelanggaran berat HAM yang terjadi sejak Republik Indonesia didirikan hingga tahun 2000

Masa Tugas

1983-1985

1995-1998

5 tahun

Konteks Politik Pembentukan Komisi

Kejatuhan junta militer karena gerakan demokrasi dan  kekalahan militer akibat Perang Malvinas. Rezim sipil terbentuk lewat pemilu demokratis.

Jatuhnya rezim apartheid dan naiknya Nelson Mandela menjadi presiden.

Ide pembentukan KKR dimulai sejak tahun 1999, namun UU KKR baru disahkan tahun 2004.

Komisioner

10 orang, dipimpin oleh Ernesto Sabato, seorang sastrawan terkenal

17 orang, dipimpin Uskup Agung Desmond Tutu

21 orang (belum terbentuk). Komposisi kandidat tidak memunculkan figur yang punya integritas politik kuat.

Metode Kerja

  1. Mengumpulkan testimoni korban dan keluarganya (ada 9.000 orang)
  2.  Pemeriksaan ke lokasi-lokasi penyiksaan, seperti di markas militer

-Mengumpulkan testimony korban (23.000 orang)
-Testimoni korban dan pelaku di depan publik dan media massa.

-Mengumpulkan pengaduan individual.

Komplemen dengan Pengadilan

Ya

Tidak

Tidak

Hasil Temuan

Laporan berjudul Nunca Mas menunjukkan penghilangan paksa dilakukan oleh institusi negara, lewat suatu operasi militer.

Adanya penyusunan sejarah versi korban dan mengungkapkan sistem yang melahirkan  pelanggaran HAM

Problem

Militer sangat resisten terhadap komisi. Banyak dokumen dan barang bukti dimusnahakan militer.

Resistensi pelaku tinggi. Di akhir masa kerja, organisasi kulit hitam (ANC) juga resisten terhadap komisi. Kekuatan paksa (subpoena) komisi jarang digunakan. Juga dipertanyakan pemberian amnesti bagi para pelaku kejahatan berat HAM

-Ada mekanisme amnesti umum.
-Posisi pelaku yang lebih diuntungkan daripada korban.
-proses seleksi kandidat komisioner tidak memenuhi standar ideal komisi.

Dukungan Publik

Sangat kuat (organisasi civil society). Nunca Mas laku terjual sebanyak 300 ribu eksemplar.

Sangat tinggi. Acara truth seeking lewat siaran TV dan radio menjadi acara favorit public.

Rendah. Hanya beberapa organisasi korban dan NGO HAM yang merespon isu KKR.

Tindak Lanjut

Lima pemimpin utama junta militer dihukum penjara. Militer kemudian melancarkan kudeta sebanyak tiga kali. Pada tahun 2005 semua kebijakan amnesti dicabut dan para pelaku diadili kembali.

-Reformasi UU dan institusi negara
-Pendirian monumen untuk menjaga ingatan.
-Ada program reparasi bagi korban
-saat ini sedang direncankan adanya prosekusi bagi para pelaku

 

KKR Indonesia dan Masalah Aceh
Ketika disahkan pada tanggal 6 Oktober 2004, melalui UU No. 27 tahun 2004, sebenarnya KKR ini telah menuai kritikan. KKR di Indonesia dinilai memiliki kelemahan secara prinsipil dan operasional dibandingkan dengan komisi serupa di negeri lain. Secara prinsipil UU ini menjustifikasi praktek impunity, di mana pelaku bisa mendapat amnesty penuh atas kejahatannya jika sudah meminta maaf. Selain itu kasus yang diselesaikan KKR tidak bisa ditangani lagi oleh pengadilan HAM ad hoc. Hal ini melanggar prinsip komplementer antara KKR -sebagai mekanisme non-judicial–  dengan pengadilan HAM. Ini tidak hanya melanggar kaidah dalam prinsip  HAM, namun  sekaligus prinsip negara hukum. Di tingkatan operasional, UU ini tidak menjelaskan rinci bagaimana mekanisme pengungkapan kebenaran (truth seeking), relasi dengan institusi negara lain, yuridiksi waktu, dan sebagainya. Kelemahan operasional ini kemudian memberi konsekwensi bahwa keberhasilan KKR sangat ditentukan oleh 21 orang komisionernya. Harapan kemudian dipertaruhkan  pada  pemilihan 21 calon komisioner yang  idealnya punya integritas dan moral politik yang luar biasa. Sebuah pilihan sikap kompromis yang pragmatis namun logis bila mengukur alur 7 tahun transisi yang mengarah pada ketidakpastian  antara demokrasi atau otoritarian.

Jika melihat hasil seleksi (42 nama) kandidat KKR yang ada, publik patut khawatir. Beberapa parameter bisa membenarkan argumen di atas, misalnya kompetensi kepakaran, integritas politik, representasi gender dan geografis. Dari catatan riset KontraS, untuk kompetensi kepakaran6 hanya 31% yang sesuai, kandidat yang netral secara politik 7 51%, hanya 5% yang merupakan perempuan, dan hanya 5% yang berpengalaman di wilayah konflik. Khusus untuk Aceh bahkan tidak ada orang yang bisa dikategorikan merepresentasikan masalah Aceh.

Bila mengikuti mandat kerjanya KKR Indonesia hanya menjangkau kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Aceh pada kurun waktu di bawah tahun 2000. Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini;

Kasus Pelanggaran HAM di Aceh yang Mungkin Ditangani KKR

Kasus

Thn

Jml Korban

Konteks

Respon Negara

DOM Aceh

1989-1998

6.837
 

Operasi militer guna menumpas GPK di bawah pimpinan Tgk. Hasan di Tiro. pada tiga kabupaten; Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie. 

Terbentuknya Tim Pencari Fakta (TPF) untuk kasus DOM.

Simpang KKA

1999

200

Aparat TNI menem-baki masyarakat yang sedang berdemon-strasi di  Kecamatan Dewantara, Aceh Utara

Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres No. 88/1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA)

Gedung KNPI kekerasan dalam operasi Wibawa

1999

73

Operasi Wibawa yang di gelar untuk mencari sejumlah aparat keamanan yang dikhabarkan diculik oleh orang tak dikenal serta memburu Ahmad Kandang (seorang anggota GAM) di Lhoksumawe.

Pengadilan militer di Banda Aceh

Pembantaian Tgk Bantaqiah dan santrinya.

1999

57

Penyerbuan aparat TNI ke pesantren Tgk. Bantaqiah –seorang ulama yang kritis- di Beutong, Aceh Barat

Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres No. 88/1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA) kemudian dilanjutkan dengan pengadilan koneksitas. Pelakunya menghilang

Pembantaian Idi Cut

1999

28

Massa yang pulang dari ceramah agama di desa Idi Cut, Aceh Timur

Keppres No. 88/1999 tentang (KIPTKA)

Kasus Activist RATA

2000

4

Aparat Polres melakukan sweeping di depan Makoramil  Tanah Luas, Aceh Utara. Kejadian pada saat masa Jeda Kemanusiaan II

Di tanggani oleh Polda Aceh dan Pomdam I/Bukit Barisan, Komnas membentuk KPP, belum ada tindak lanjut

Sumber: Dokumentasi Kontras

Beberapa kasus di atas terlihat sebenarnya pernah ditangani melalui sebuah komisi non-judisial (mirip seperti kerja KKR) yang dibentuk oleh mantan Presiden Habibie. Sayangnya tidak ada tindak lanjut lebih jauh dalam merespon hasil laporan komisi.
 
Hal menarik dari perkembangan masalah Aceh terbaru adalah dimasukkannya rekomendasi pembentukkan KRK Indonesia bagi masalah pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dalam perjanjian damai (MoU) antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka/GAM di Helsinki, 15 Agustus 2005 yang lalu. Ini menandakan di satu sisi bahwa publik Aceh harus benar-benar bisa memanfaatkan mekanisme KKR bagi konstruksi sejarah Aceh, di sisi lain adanya tema Aceh ini bisa mempertinggi rasa kebutuhan akan mekanisme KKR yang dalam proses pembentukan. Meski demikian perlu diingat bahwa karena KKR merupakan mekanisme non-judisial, hasil yang bisa didapat tetaplah bukan keadilan (penghukuman pelaku). Hasil tertinggi yang mungkin didapat adalah konstruksi sejarah (represi) terhadap Aceh dari perspektif korban (termasuk memperoleh reparasi). Baru setelah sejarah disusun dan ingatan dipelihara, sambil menunggu perubahan rezim yang lebih demokratis,  hasil KKR tadi dipersiapkan untuk bisa menjadi bahan prosekusi bagi pelaku. Ini dengan catatan kelompok masyarakat sipil, terutama korban bisa memobilisir diri, punya akses, dan  mengontrol kerja KKR. Bila hanya mengandalkan komitmen personal para kandidat komisionernya, hasil yang mungkin diharapkan publik Aceh tidak akan terlalu optimal!

 

Papang Hidayat

Staf Biro Litbang KontraS.


1 Secara ideal penyelesaian pelanggaran (berat) HAM masa lalu harus bisa menjamin pemenuhan atas Hak untuk Mengetahui (rights to know), Hak atas Keadilan (rights to justice), dan Hak atas Pemulihan (rights to reparation). Secara khusus PBB mengatur prinsip dan mekanisme ketiga model tersebut dalam sebuah dokumen yang berjudul Set of principles for the protection and promotion of human rights through action to combat impunity. Terjemahan Prinsip ini bisa dilihat pada “Menolak Impunitas; Serangkaian Prinsip Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia melalui Tindakan Memerangi Impunitas”, KontraS, Jakarta, 2005.

2 Jennifer Balint, An Empirical Study of Conflict; Conflict Victimization and Legal Redress 1945-1996, dalam Christopher C. Joyner (Editor), “Reining  In Impunity for International Crimes And Serious Violations of  Fundamental Human Rights: Proceedings Of The Siracusa Conference 17-21 September 1998”, Eres, 1998.

3 Pada prakteknya, hanya KKR di Afrika Selatan dan Indonesia yang secara substansial mengatur pemberian amnesti kepada pelaku dan memberlakukan asas non-komplementer KKR dengan pengadilan. Ini yang menjadikan alasan bahwa KKR di Afrika Selatan dan Indonesia merupakan lembaga pencuci dosa.

4 Studi yang cukup lengkap tentang komparasi KKR di dunia lihat Priscilla B Hayner, “Fifteen Truth Commission -1974 to 1994, A Comparative Study”,  Human Rights Quaterly, vol 16, No. 4, 1994.

5 Lihat Priscilla B Hayner, “Unspeakable Truth; Confronting State Terror and Atrocity”, Routledge, New York, 2001.

6 Kompetensi kepakaran yang diperlukan KKR misalnya ahli sejarah, ahli forensik, ilmu sosial (sosiologi/antropologi), dan ahli hukum.

7 Netral secara politik maksudnya tidak terkait dengan pelaku dan korban. Dari kandidat yang ada bahkan banyak yang merupakan mantan militer yang terlibat di banyak operasi militer yang diduga merupakan kasus pelanggaran HAM.