Mou Helsinki dan Prospek Pengadilan HAM

Siaran Pers

No: 22/SP/KontraSMIl/200S

Tentang

Mou Helsinki dan Prospek Pengadilan HAM

RETROAKTIF PENTING UNTUK RAKYAT ACEH

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memandang positif ditandatanganinya Nota kesepahaman di Helsinki antara Pemerintah RI dan
Gerakan Aceh Merdeka/GAM. Upaya ini menunjukkan perubahan sikap mendasar kedua
belah pihak dalam memilih jalan damai untuk menyelesaikan masalah Aceh yang telah
berlangsung hampir selama 30 tahun.

KontraS juga memandang positif dengan dimasukkannya agenda HAM diantara butir
kesepakatan damai tersebut. Agenda HAM penting untuk membangun keadilan selama
proses menuju perdamaian. Tanpa keadilan, perdamaian tidak akan berumur panjang.
Bukan semata untuk kesepakatan bersama GAM, tetapi lebih dari itu untuk rakyat Aceh.

Namun mencermati perkembangan pasca penandatanganan Nota Kesepahaman, KontraS
mulai khawatir dengan adanya beda-penafsiran dalam hal Pengadilan HAM untuk Aceh.
Pemerintah RI menilai pendirian Pengadilan HAM hanya berlaku untuk kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi paska perjanjian damai ditandatangani. Dengan kata lain
Pengadilan HAM hanya dibentuk untuk kasus yang terjadi pasca 15 Agustus 2005.

KontraS memandang sikap Pemerintah RI tersebut keliru. Indonesia yang dikenal sebagai
satu-satunya negara yang memiliki mekanisme Pengadilan HAM nasiona1 membolehkan
digelarnya suatu Pengadilan HAM untuk kasus masa lalu atau berlaku secara retroaktif.Beberapa alasan mengapa Pengadilan HAM bisa digelar secara retroaktif untuk masa1ah
Aceh.

Pertama, secara universal kasus pelanggaran berat HAM berlaku asas retroaktif dan
tidak mengenal batasan waktu (kadaluarsa). Asas ini dipakai sejak digelarnya Tribunal
Nuremberg, Tribunal Tokyo hingga Tribunal Yugoslavia dan Rwanda.

Kedua, hukum positif di Indonesia sendiri tidak mengena1 kadaluarsa dan membolehkan
asas retroaktif untuk kasus pelanggaran berat HAM. Tidak dikenalnya kada1uarsa diatur
oleh Pasal 46 UU 26/2000 dan pemberlakuan retroaktif diatur Pasal 43 UU 26/2000
yakni untuk kasus masa lalu digelar lewat Pengadilan HAM ad hoc. Contoh, kasus Timor
Timur dan Tanjung Priok. Sementara bila kasus terjadi sesudah tahun 2000 digelar lewat
Pengadilan HAM permanen, seperti yang terjadi untuk kasus Aberpura. Ada tidaknya Mou 15 Agustus 2005, pelanggaran berat HAM di Aceh sejak tahun 2000 berlaku juga
pengadilan HAM.

Ketiga, pemberlakuan asas retroaktif ini kembali ditegaskan oleh putusan Mahkamah
Konstitusi/MK (Perkara No.065 /PUU-II/2004) ketika menolak gugatan Abilio Soares.
Menurut MK asas retroaktif bisa diterapkan pada kejahatan luar biasa (extraordinary
crimes). Pelanggaran berat HAM terrnasuk kategori kejahatan luar biasa.
Selain alasan di atas KontraS memandang keperluan untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran berat HAM masa lalu di Aceh bukan hanya karena adanya kesepakatan
damai antara Pemerintah RI dan GAM. Tetapi lebih penting dari itu, adalah tanggung
jawab negara untuk menegakkan HAM dan memberikan keadilan bagi korban.

Jakarta, 19 Agustus 2005
Badan Pekerja KontraS

Usman Hamid
Koordinator