Satu Tahun Kematian Munir

Satu Tahun Kematian Munir

TANGKAP AKTOR UTAMA PEMBUNUH MUNIR

JADIKAN 7 SEPTEMBER HARI PEMBELA HAM INDONESIA

"Setiap orang mempunyai hak, baik secara individual maupun berkelompok dengan yang lain, untuk memajukan dan berjuang bagi perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental pada tingkatan nasional dan internasional"

(Pasal 1 Deklarasi Pembela HAM, A/RES/53/144)

Melalui pernyataan ini kami yang berkumpul di Tugu Proklamasi ingin menggugah negara untuk menjadikan hari kematian Munir, 7 September, sebagai Hari Pembela HAM Indonesia. Jikapun gugahan ini tidak didengarkan oleh negara, maka kita sebagai bagian masyarakat sipil, berani mengambil sikap untuk bersama-sama menetapkan hari ini, 7 September, sebagai Hari Pembela HAM di Indonesia!

Sisi lain kematian Munir memicu pertanyaan penting bagaimana suatu perlakuan buruk dialami seorang pembela HAM. Pembunuhan Munir hanyalah satu dari sekian bukti perlakuan terhadap pembela HAM lainnya yang juga dibunuh secara kejam; aktifis buruh Marsinah, jurnalis Udin dan Ersa Siregar, aktifis Aceh Jaffar Siddik, politisi Tg. Nashiruddin Daud, hakim Syaifuddin, Theys Elluay dan lainnya. Semua kasus itu tenggelam tanpa kepastian hukum, apalagi keadilan.

Atas kematian Munir, kami menuntut tanggungjawab negara untuk mencari, menangkap jaringan pelaku dan menghukumnya. Bila seorang Munir bisa dibunuh tanpa tanggungjawab negara, maka nasib aktivis Indonesia lainnya juga terancam. Pembunuhan Munir tidak hanya membunuh satu orang, namun juga menyerang dan meneror para pekerja HAM, termasuk sejumlah korban pelanggaran HAM yang masih berjuang menuntut hak-haknya.

Perlindungan pembela HAM telah menjadi perhatian besar di dunia. Melalui forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, masyarakat dunia telah menetapkan sebuah Deklarasi Pembela HAM, yakni Declaration on the Rights and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms. Deklarasi ini dibuat atas dasar sebuah premis yang dinyatakan Sekjen PBB Kofi Annan bahwa "ketika hak seorang pembela HAM telah dilanggar, pada momen itu semua hak kita ada dalam bahaya". Sebagai Ketua Komisi HAM PBB saat ini, Indonesia seharusnya aktif terlibat dan mendukung upaya perlindungan pembela HAM.

Perjuangan pembela HAM amat penting untuk menghapuskan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan serta siklus impunitas kebiadaban sekelompok bandit pengecut yang tidak bertanggungjawab. Peran pembela HAM sangat penting untuk menghadirkan kualitas peradaban masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini, esok dan di masa depan. Sekali lagi, tidak ada alasan bagi negara untuk tidak segera mengambil tindakan efektif membongkar konspirasi kejahatan yang mengakhiri hidup Munir, dan menjadikan hari kematiannya sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.

Ditetapkan di Tugu Proklamasi

Jakarta, 7 September 2005


SATU TAHUN MATINYA MUNIR DAN

JADIKAN 7 SEPTEMBER SEBAGAI HARI PEMBELA HAM INDONESIA

"Setiap orang mempunyai hak, baik secara individual maupun berkelompok dengan yang lain, untuk memajukan dan berjuang bagi perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental pada tingkatan nasional dan internasional"

(Pasal 1 Deklarasi Pembela HAM, A/RES/53/144)

Pengantar

Sisi lain dari kematian aktivis HAM Munir menampilkan pertanyaan penting bagaimana suatu perlakuan buruk bisa dialami seorang pembela HAM/ human rights defender . Tema ini sebenarnya telah menjadi salah satu persoalan penting dalam gerakan HAM di Indonesia. Pembunuhan terhadap Munir hanyalah satu dari sekian banyak perlakuan kejam terhadap pembela HAM lainnya, bisa disebut seperti pembunuhan Marsinah (aktivis buruh), jurnalis Udin (sedang mengungkap kasus korupsi), Jafar Siddik (aktivis Aceh), Ersa Siregar (jurnalis yang sedang meliput darurat militer di Aceh), dan masih banyak nama lainnya dengan perlakuan yang berbeda; penyiksaan, teror, pengeroyokan, kriminalisasi, dan sebagainya. Uniknya semasa hidupnya Cak Munir giat mengadvokasi perlindungan terhadap pembela HAM, baik yang giat bekerja di wilayah konflik seperti Aceh, Papua, Poso, Maluku, maupun pada tema-tema spesifik seperti advokasi pengadilan HAM, kebijakan reformasi sektor pertahanan dan keamanan, isu terorisme dan sebagainya yang rentan berhadapan dengan praktek kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun milisi-milisi sipil.

Kematian Munir selain menuntut pertanggungjawaban untuk mencari siapa pelaku (konspirasi) dan menghukumnya, juga menuntut negara untuk segera membuat mekanisme â€baik administratif, politik, atau legislasi- perlindungan/proteksi bagi mereka yang dikategorikan sebagai pembela HAM. Bila seorang Munir saja â€tokoh dengan kapasitas politik yang besar- bisa dibunuh, bagaimana nasib para aktivis HAM umum lainnya di Indonesia. Pembunuhan Munir tidak hanya membunuh satu orang, namun secara otomatis juga menyerang dan meneror para pekerja HAM lainnya, termasuk juga di antaranya para korban pelanggaran HAM yang masih berjuang menuntut haknya saat ini.

Dalam mekanisme HAM di tingkatan PBB sendiri tema ini juga mendapat perhatian besar. Di tingkatan PBB saat ini telah berlaku sebuah " Deklarasi Pembela HAM/ Declaration on Human Rights Defender " dengan judul lengkap " Declaration on the Rights and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms "yang dimasa depan statusnya bisa ditingkatkan menjadi sebuah instrumen (konvensi) hukum internasional. Deklarasi ini dibuat atas dasar sebuah premis (yang dinyatakan oleh Sekjen PBB, Kofi Annan) bahwa ketika hak seorang pembela HAM telah dilanggar, pada momen itu semua hak kita (publik keseluruhan) ada dalam bahaya. Indonesia â€yang kebetulan saat ini warganya menjadi Ketua Komisi HAM PBB, Makarim Wibisono- bisa secara aktif terlibat dan mendukung upaya perlindungan terhadap pembela HAM. Kita juga bisa belajar dari tempat lain (pengalaman Uni Eropa) di mana dikenal adanya " Panduan Uni Eropa mengenai Pembela Hak Asasi Manusia/ European Union Guidelines for Human Rights Defender Protection " yang menjadi panduan bagi negara-negara anggotanya untuk melindungi para pembela HAM.

Siapakah Pembela HAM?

Definis resmi yang disusun oleh PBB tentang pembela HAM bukanlah sebuah kriteria yang ketat dan sistematis. Pembela HAM hanyalah sebuah istilah untuk mendeskripsikan orang-orang, baik secara individual maupun berkelompok atau merupakan sebuah organisasi yang bekerja demi pemajuan, perlindungan, dan penegakkan. Secara umum ada 2 cakupan untuk menjelaskan siapa pembela HAM. Yang pertama adalah konteks siapa saja pembela HAM dan yang kedua apa yang dilakukan oleh pembela HAM.

Untuk konteks siapa pembela HAM ada beberapa penjelasan. Pertama , pembela HAM lebih merupakan kategori "peran" (sosial dan politik) seseorang ketimbang kategori "profesi". Artinya seorang pembela HAM tidaklah mesti seorang pengacara/advokat (seperti yang menjadi opini awam), namun bisa siapa saja, termasuk para jurnalis, pekerja sosial, dokter, aktivis serikat buruh, aktivis petani, aktivis politik, bisa seorang aktivis LSM atau bisa juga pejabat negara, dan bahkan seorang pegawai swasta. Pembela HAM juga tidak memandang status kelas, gender, agama, ras, etnis, umur seseorang. Semua kelompok dan kalangan bisa menjadi pembela HAM, bahkan meski ia tidak merasa atau mengklaim dirinya seorang pembela HAM.

Kedua , kebanyakan pembela HAM memang adalah orang yang secara harian bekerja untuk kegiatan pemajuan dan perlindungan HAM seperti yang dijumpai pada seseorang yang bekerja di LSM, lembaga sejenis Komnas HAM, lembaga ombudsman, atau lembaga lainnya yang memperoleh gaji atau bekerja secara profesional. Namun seorang pembela HAM tidak mesti seorang yang profesional (diupah) namun juga mencakup mereka yang bekerja secara sukarela ( voluntaristik ) dan bekerja di luar kontes profesinya. Sebagai contoh bisa kita lihat pada seorang Marsinah, yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh pabrik, namun pada suatu momen giat memperjuangkan hak-hak buruh hingga dibunuh. Demikian pula seorang Udin yang berprofesi sehari-hari sebagai wartawan yang tidak selalu fokus di masalah HAM bisa menjadi seorang pembela HAM karena ia mati memperjuangkan masalah korupsi dan kebebasan berekspresi/berpendapat. Seharusnya beberapa profesi bisa dimasukkan dalam kategori pembela HAM; seperti para hakim, jaksa, pengacara, polisi, karena posisi strategisnya dalam penegakkan HAM, namun secara kongkri di Indonesia kita belum mendapati banyak nama dari kalangan tersebut. Beberapa bulan terakhir marak aksi teror ditujukkan kepada para jaksa atau penegak hukum lainnya yang sedang menangani kasus korupsi. Tema perlindungna pembela HAM ternyata relevan juga bagi para pejabat negara. Juga relevan adalah mereka yang bahkan memperjuangkan penegakan HAM (dalam berbagai isu tertentu) bisa mengatasi hambatan kapasitas sosialnya. Banyak petani miskin, atau kaum miskin kota giat mengorganisir kaumnya memperjuangkan HAM (isu kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dsb) dengan segala keterbatasannya. Kita juga menyaksikan bagaimana para korban pelanggaran HAM di Indonesia (dari berbagai kasus) hingga hari ini tidak mengenal kata lelah untuk memperjuangkan keadilan, tidak hanya untuk diri mereka sendiri tetapi bagi penegakkan HAM warga negara lainnya. Mereka juga sangat pantas disebut sebagai pembela HAM.

Yang penting lainnya adalah apa yang dilakukan oleh pembela HAM? Yang terpenting dari seorang pembela HAM bukanlah ketrampilan/keahliannya, namun pada keyakinannya pada nilai dan norma HAM yang berlaku secara universal (termasuk kesetaraan jender) dan jenis perjuangannya yang harus melalui jalan damai. Seorang pembela HAM bisa bekerja dalam kontes perang, kondisi konflik, ataupun dalam keadaan stabil. Medan kerjanya juga beragam, sebagian beroperasi lintas negara (internasional), sebagian mungkin hanya bekerja di ruang kelas yang sempit, sebagian bekerja di wilayah gurun yang gersang, hutan belantara, atau wilayah kumuh yang miskin. Ada yang kerjanya me lobby negara atau badan-badan internasional, ada juga yang kerjanya mengorganisir komunitas di tingkat akar rumput/ grass root .Hampir semua pembela HAM tidak mungkin terlibat dalam segala isu dan persoalan HAM yang sangat kompleks; entah itu isu dengan dimensi sipil-politik (mereka yang berjuang melawan penghilangan paksa, pembunuhan semena-mena, penyiksaan, atau mereka yang berjuang untuk kebebasan berkeyakinan/beragama, kebebasan berekspresi, dsb) atau bisa juga isu dengan dimensi ekonomi-sosial-budaya (mereka yang memperjuangkan kenaikkan upah, pendidikan murah, lingkungan yang sehat, hak adat, pencegahan HIV/AIDS, dsb), juga termasuk mereka yang memperjuangkan isu-isu jender, anak, kaum minoritas, dsb.

Ketrampilan seorang pembela HAM juga beragam. Ada yang memiliki kualifikasi pendidikan tinggi dan ketrampilan khusus seperti para advokat yang kerjanya menyusun serangkaian instrumen HAM yang rumit hingga ketrampilan dalam persidangan. Ada juga yang memiliki ketrampilan medik dan psikologi yang khas dalam menangani korban pelanggaran berat HAM (yang tersulit misalnya dalam melakukan pemulihan traumatik bagi perempuan korban perkosaan/kejatahan seksual). Namun ada kalanya ketrampilannya sangat sederhana seperti yang dilakukan para guru di sekolah dasar yang mengajarkan nilai-nilai HAM kepada muridnya, atau seorang warga miskin yang berusaha meyakinkan komunitas tetangganya untuk memperjuangkan haknya sebagai warga negara ke institusi negara yang relevan. Dari sekian banyak ketrampilan secara ideal seorang pembela HAM bisa melakukan paling tidak mengumpulkan informasi tentang pelanggaran HAM, kemampuan advokasi (sederhana) untuk meminta pertanggungjawaban negara, dan terakhir kemampuan untuk mendampingi korban pelanggaran HAM (mulai dari curah pendapat/ counselling hingga perlindungan).

Terakhir dan tidak kalah penting, pekerjaan pembela HAM selalu bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), menghapuskan siklus/rantai impunitas (kekebalan bagi pelaku), dan reformasi kelembagaan dan legislasi (hukum dan perundang-undangan) negara untuk mencegah berulangnya tindakan pelanggaran HAM di masa depan. Dengan kata lain peran pembela HAM sangat penting untuk menghadirkan kualitas peradaban masyarakat kita yang semakin manusiawi. Tidak ada alasan bagi negara untuk tidak segera melakukan upaya efektif dalam melindungi para pembela HAM di Indonesia.

Satu Tahun Terbunuhnya Munir

Satu tahun sudah Munir dibunuh, tetapi tidak ada kejelasan siapa pembunuh Munir â€yang sudah dinyatakan mati karena kejahatan konspiratif- selain seorang pilot dan dua cabin crew Garuda. Pengadilan mereka mungkin hanya menjadi legitimasi formil bahwa negara telah berupaya maksimal memuaskan keingintahuan publik. Satu tahun ini pula kita menyaksikan bahwa negara belum melakukan upaya efektif untuk melindungi para Pembela HAM. Negara belum juga mau mengambil pelajaran dari terbunuhnya Munir. Bila kematian seorang Munir tidak mampu menggugah negara, maka kita sebagai bagian masyarakat sipil harus berani mengambil sikap. Kita tetapkan hari ini, 7 September sebagai Hari Pembela HAM di Indonesia!!