Evaluasi 1 Bulan Paska MoU Helsinki

Siaran Pers

Nomor: 2S/SP-KontraS/IX/OS

Evaluasi 1 Bulan Paska MoU Helsinki:

Demi Rakyat Aceh, Hentikan Menentang Perdamaian
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyambut baik
terjadinya perubahan kondisi yang semakin kondusif di Aceh paska penandatanganan
MoU Aceh Damai di Helsinki. Namun KontraS menyayangkan sikap beberapa politisi
dan purnawirawan di Jakarta yang menunjukkan sikap penolakan terhadap perjanjian
damai di Aceh.

Beberapa hal positif yang jelas terlihat dalam 1 bulan terakhir ini adalah berkaitan dengan
realisasi pemberian amnesti dan abolisi, penarikan pasukan TNI/Polri, disetujuinya TNI
terlibat verifikasi senjata GAM dan penerimaan GAM dinyatakan melanggar kesepakatan
oleh AMM akibat insiden penembakan 2 TNI di Lhokseumawe. Terakhir,
dilaksanakannya penghancuran senjata GAM pertama oleh AMM pada 15 September
2005 ini.

Selain catatan di atas, dalam 1 bulan paska MoU damai ini setidaknya ada berapa hal
yang kami dapat sampaikan.

Pertama, terkait dengan pelaksanaan MoU:

  1. Terhadap point 3 tentang Amnesti dan Reintegrasi, pemerintah sudah memberikan
    arnnesti dan abolisi terhadap mereka yang terlibat dalam kegiatan GAM.
    Sekalipun tidak ada aturan tentang pemberian abolisi dalam MoU point 3,
    pemberian abolisi ada1ah langkah yang tepat sebagai salah satu solusi bagi mereka
    yang terlibat GAM. Sayangnya pihak perunding: Pemerintah RI, GAM maupun
    fasilitator Crisis Management Initiative (CMI) tidak membahas status warga sipil
    yang mengalami kriminalisasi/stigmatisasi "GAM". Sebagaian dari mereka
    merupakan pekerja kemanusiaan. Masyarakat yang dituduh GAM tersebut juga
    mengalami proses hukum yang tidak adil. Mereka tidak layak hanya diberikan
    amnesti karena amnesti diberikan kepada pelaku kejahatan. Sedangkan
    Rehabilitasi nilainya lebih tinggi dibanding arnnesti atau abolisi, karena rehabilitasi diberikan hanya kepada mereka yang tidak bersalah. Setidaknya
    dalam catatan KontraS terdapat 12 aktifis pro demokrasi/kemanusiaan yang telah
    menjadi korban penghukuman secara tidak fair.
  2. Da1am point 4 tentang Pengaturan Kearnanan, berkaitan dengan decommissioning
    senjata milik GAM telah ada kesepakatan lanjutan yang memperbolehkan TNI
    melakukan verifikasi terhadap senjata pabrikan GAM yang akan di hancurkan. Namun mengenai penarikan pasukan non organik TNI/Polri (point 4.6.) tidak sebutkan berapa jumlah pasukan non organik TNI/POLRI yang ada. Penarikan pasukan non organik ini juga dilakukan secara bertahap dan ada pertimbangan-pertimbangan khusus atas penarikan ini yang bisa saja berdasarkan ke wilayah atau berdasarkan hal lain yang dianggap penting. Berkaitan dengan ini AMM harus memastikan bahwa demiliterisasi dapat berlangsung secara fairdan efektif.
  3. Terkait dengan poin b. diatas adalah keberadaan satuan gabungan Intelijen (SGI).
    Harusnya SGI ini juga menjadi bagian dari pemulangan pasukan oleh Pemerintah
    RI dan ini harus dinyatakan secara terbuka. Langkah ini penting untuk menegaskan komitmen Pemerintah untuk meniadakan operasi intelijen yang
    represif di Aceh paska perundingan damai.
  4. Sampai sejauh ini Polri belum melakukan upaya pengumpulan senjata illegal,
    amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh masyarakat sipil, atau entitas
    masyarakat yang tidak diperbolehkan menggunakan senjata tersebut. Termasuk
    pengumpulan senjata-senjata dari milisi-milisi yang selama ini digunakan dalam
    menjalankan operasi militer. Oleh karenanya Polri harus segera melucuti senjata
    dari tangan milisi-milisi. Selain itu, Pemerintah juga harus mengambil tindak
    tegas membubarkan kelompok-kelompok ini sebelum menjadi kekuatan liar
    pengganggu proses perdamaian.

Kedua, KontraS memandang bahwa sikap korektif yang dilakukan oleh banyak
politisi dan purnawirawan akhir-akhir ini sangat tidak kondusif bagi penyelesaian
damai Aceh. Argumentasi NKRI yang dipertentangkan dengan Aceh Merdeka sangat
tidak relevan. Sikap seperti ini malah akan melahirkan pertanyaan masyarakat akan
agenda tersem1?unyi dari para elit tersebut. Karena .sikap jelas bertentangan dengan
keinginan rakyat Aceh yang mendamjakan damai.
Ja1an kekerasan da1am penyelesaian konf1ik selama ini sudah terbukti gagal, lalu
mengapa kita tidak cukup bersabar bagi perdamaian dengan cara dialog?

Berdasarkan uraian diatas, KontraS meminta para pihak yang terlibat konflik baik
pemerintah maupun GAM untuk konsisten menja1ankan hasil-hasil MoU Helsinki.
Penting bagi Pemerintah untuk memberikan rehabilitasi kepada korban kriminalisasi
selama konflik di Aceh berlangsung. Langkah ini dapat sinergikan dengan point 3.25.
"..yakni kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena
dampak. .." yang tidak dibatasi hanya dengan pemenuhan kebutuhan materiil tetapi juga immateriil. Terakhir KontraS meminta para politisi dan purnawirawan untuk menghentikan sikap kontraproduktif yang bertentangan dengan keinginan damai
rakyat Aceh.

Jakarta, 15 September 2005.

Badan Pekerja KontraS

 

Edwin Partogi
Kepala Bidang Operasional