Rehabilitasi Bagi Yang Di-GAM-kan

Rehabilitasi Bagi Yang Di-GAM-kan

Pada 30 Agustus 2005, Pemerintah memenuhi salah satu butir MoU Pemerintah RI dan GAM untuk memberikan amnesti umum maupun individual terhadap mereka yang terlibat dalam kegiatan GAM. Sekalipun tidak disebutkan dalam MoU, pemerintah memberikan abolisi untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap sejumlah anggota GAM. Ini adalah langkah yang tepat.

Abolisi merupakan konsekuensi politik yang sulit dihindari sebagai bagian dari pengakhiran permusuhan dengan GAM yang telah berlangsung lama. Esensi dasar dari pengakhiran permusuhan melalui MoU, adalah pengampunan terhadap seluruh anggota GAM, tanpa kecuali. Secara konstitusional, upaya penghentian proses penuntutan terhadap pelaku pidana melalui abolisi menjadi absah.

Sementara amnesti adalah konsep penghapusan kesalahan. Artinya bagi mereka yang melakukan tindak pidana atau mereka telah telah diputus bersalah oleh pengadilan mendapatkan pemutihan dari kesalahan masa lalunya. Namun dalam upaya memperoleh keadilan pemberian amnesti ini biasanya dibatasi bukan untuk diberikan kepada pelaku pelanggaran berat HAM, genosida dan kejahatan perang.

Dalam kasus Aceh, mereka yang terlibat dalam kegiatan GAM tidak terbatas pada mereka yang sudah pernah dinyatakan bersalah sehingga bisa diberi amnesti individual. Tetapi juga mencakup mereka yang terlibat dalam kegiatan GAM yang belum pernah dihukum atau dinyatakan bersalah sehingga diberikan amnesti umum. Sementara itu banyak dari mereka yang terlibat GAM yang tidak masuk dalam kedua kategori tersebut, karena proses hukumnya masih berjalan. Persoalan ini tidak bisa diletakkan dalam konteks amnesti semata, melainkan harus melalui abolisi. Disinilah, abolisi menjadi relevan. Sesuai Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan abolisi dengan pertimbangan DPR.

Persoalan berikutnya adalah apakah cukup sampai disini? Bagaimana dengan mereka yang bukan anggota GAM tetapi di GAM-kan?

Dalam konteks perang Aceh, banyak warga sipil yang tidak terlibat dalam kegiatan GAM kemudian menjadi korban dari kebijakan represi aparatur keamanan. Di sadari atau tidak oleh pihak yang berunding di Helsinki, absennya keterwakilan masyarakat sipil berakibat tidak diperhitungkannya satu faktor penting. Faktor itu adalah fakta bahwa tidak semua mereka yang pernah dituduh dan atau diputus bersalah terlibat GAM adalah benar anggota GAM. Diantara mereka yang dipersalahkan terkait dengan GAM tersebut adalah warga biasa atau aktifis kemanusiaan. Mereka biasanya dipersalahkan dengan tuduhan “membantu” GAM. Tindakan “membantu” yang biasa dilakukan biasanya merupakan suatu tindakan yang sulit mereka hindari karena keadaan atau panggilan kemanusiaan. Contoh, menolong anggota GAM yang sakit atau terluka.

Tindakan semacam ini, telah diberi tafsir tunggal yang sering bersinggungan antara pilihan pengelompokan yang dibentuk oleh mereka yang berkonflik sebagai ‘kawan’ atau ‘lawan’.  Tidak hanya itu, bila sial ketahuan berbincang-bincang dengan anggota GAM, disadari maupun tidak, terlepas dari konteks pembicaraannya, dapat menjadi alasan kuat untuk memasukkan siapapun ke dalam penjara.

Bila pada masa orde baru orang dapat dipidana karena memiliki buku yang beraliran kiri/komunis, maka di Aceh mereka yang memiliki buku GAM disamakan sebagai anggota dari gerakan tersebut. Disini, definisi GAM mengalami perluasan dan tidak terbatas mereka yang jelas-jelas anggota GAM. Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan pun menjadi bagian yang tak terpisah bagi aparat keamanan untuk menyatakan mereka sebagai GAM juga. Lebih dari itu, dalam relasi sosial tersebut penyanderaan, penahanan, dipenjarakan bahkan kekerasan menjadi ‘sah’ diberlakukan terhadap mereka. Inilah yang saya maksud dengan korban peng-GAM-an.

Korban peng-GAM-an ini tentu tidak boleh menjadi bagian yang terpisah dari upaya membangun Aceh baru yang damai. Semua pihak khususnya pemerintah, GAM dan AMM tentu sebaiknya tidak menutup mata dari penderitaan warga sipil Aceh yang selama ini mengecap hidup sebagai ‘pesakitan’. Oleh karena itu, sebenarnya pemerintah bisa saja menyertakan pemberian rehabilitasi nama baik bagi korban kriminalisasi tersebut sebagai satu kesatuan agenda Reintegrasi sebagaimana tercantum dalam point 3.2.5, yakni “….kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak….”

Tentu pemberian kompensasi bagi kalangan sipil yang terkena dampak ini bisa diperluas tidak sebatas pemenuhan kebutuhan material tetapi juga pengembalian kehormatan yang dirampas akibat stigmatisasi GAM selama konflik. Untuk memenuhi kebutuhan akan pemberian rehabilitasi ini pemerintah dapat memulai membuka pos khusus untuk menerima laporan dari masyarakat atau korban siapa saja khususnya mereka yang pernah dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena terkait dengan GAM. Lalu diikuti dengan klarifikasi (penelitan) untuk memutuskan pemberian rehabilitasi  tersebut.

Praktek-praktik kriminalisasi terhadap mereka yang terkena dampak perang tidak boleh diabaikan, tapi harus diakhiri. Pengakhirannya tidak terbatas pada tindakan dimasa depan yang lebih menghormati hukum dan hak asasi manusia namun juga dengan memulihkan nama baik korban yang selama ini terlanjur tercemar. Pemerintah tentu tidak boleh menghindar dari pemenuhan hak korban ini, bila rasa keadilan seluruh warga Aceh menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari upaya perdamaian. Apalagi negara telah memberi kewenangan kepada Presiden pada UUD 1945 pasal 14 ayat (1) untuk memberikan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.  

Rehabilitasi disini adalah pemulihan nama baik bagi mereka yang pernah dinyatakan bersalah padahal mereka tidak bersalah. Tindak penghukuman bagi mereka yang tidak bersalah ini merupakan  suatu kelaziman yang dilakukan oleh pemerintah yang represif.

Dari uraian diatas maka, pemberian amnesti dan abolisi ini sebaiknya diikuti juga dengan pemberian rehabilitasi nama baik bagi warga sipil yang selama ini menjadi korban dari konflik bersenjata antara TNI/POLRI dan GAM. Sebab rehabilitasi amat penting artinya bagi penegakan hukum dan pemenuhan rasa keadilan untuk seluruh warga Aceh, tanpa kecuali. Melewatkan pemberian rehabilitasi sama saja melestarikan kejahatan yang menjadi ancaman bagi perdamaian itu sendiri.

Jakarta, 20 September 2005

Edwin Partogi
Kepala Bidang Operasional Badan Pekerja KontraS