PAPUA PERLU LANGKAH BARU

PAPUA PERLU LANGKAH BARU

Oleh Usman Hamid

Jumat (7/10) lalu, lebih dari lima ratus orang menggelar demonstrasi di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua di Jayapura.

Aksi damai ini menolak Majelis Rakyat Papua (MRP) dan pelaksanaan pilkada serta menuntut adanya dialog nasional mengenai Papua. Mereka juga menuntut DPR pusat di Jakarta membentuk Panitia Khusus untuk Papua guna membahas masalah-masalah Papua.

Aksi damai ini bukan pertama kali digelar, khususnya setelah Dewan Adat Papua (DAP) mengembalikan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) dalam aksi damai ribuan orang Papua, 12 Agustus lalu. DAP menilai otsus telah gagal. Papua tampaknya kembali mengalami komplikasi politik. Mulai dari polemik MRP dan pemilihan anggotanya, pelaksanaan pilkada, hingga pengembalian otsus.

Menko Polhukam Widodo AS menjelaskan, pemerintah memiliki tiga langkah jangka pendek guna menyelesaikan masalah Papua. Pertama, membentuk MRP.Kedua, membicarakan keberadaan dua provinsi, Papua dan Irian Jaya Barat. Ketiga, pelaksanaan pemilihan kepada daerah di dua provinsi itu (Kompas, 20/9).

Pertanyaannya, mengapa otsus ditolak? Padahal, otsus adalah upaya mencari jalan tengah penyelesaian Papua. Mengapa MRP juga ditolak? Sering terdengar, masyarakat Papua minta MRP segera dibentuk. Apa yang terjadi? Sulit menjawabnya. Yang jelas, diperlukan sikap bijaksana sehingga tidak kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah dalam menjawab masalah Papua.

Perlu langkah baru
Secara normatif, tiga langkah pemerintah itu tidak keliru, apalagi bila merujuk dinamika tuntutan rakyat Papua jauh sebelum DAP mengembalikan otsus. Persoalannya, kini terjadi perubahan sikap di kalangan rakyat Papua. Mereka tidak lagi meminta MRP, tetapi menolaknya. Bahkan otonomi khusus pun kini ditolak.

Dinamika yang begitu cepat di Papua, kebijakan pemerintah belum mencerminkan langkah cemerlang sebagai hasil evaluasi aktual pemerintah. Juga bukan langkah baru. Mengapa? Pemerintah telah melakukan sinkronisasi UU Otsus dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk soal pilkada di Papua. Pemerintah mengeluarkan PP No 54/2004 tentang Pembentukan MRP dan PP No 6/2005 tentang Pilkada di Papua. Kedua PP ini antara lain mengatur pengajuan calon kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dan peran MRP. MRP juga diberi mandat untuk menyelesaikan masalah Provinsi Irian Jaya Barat yang mendadak pelaksanaan pilkadanya ditunda Menteri Dalam Negeri, 26 Agustus lalu.

Persoalannya, terjadi komplikasi kebijakan di tingkat pusat. PP MRP semula dinilai langkah positif sebagai pelaksanaan otsus untuk membentuk MRP maupun dalam rangka menyelesaikan polemik seputar pembentukan provinsi baru Irian Jaya Barat. Artinya, MRP dibentuk sebelum pilkada digelar di Papua. Namun, kemudian menjadi rumit ketika keluar PP Pilkada membuka peluang bisa digelarnya pilkada meski belum terbentuk MRP.

Menyangkut MRP, masalahnya bukan hanya apakah MRP harus dibentuk sebelum pilkada digelar,tetapi lebih terletak pada kepercayaan dan legitimasi atas proses pemilihan anggota MRP. Selain kalangan adat, tokoh agama di Papua menolak proses pemilihan anggota MRP yang dinilai dipaksakan. Mereka juga menduga adanya muatan politis untuk kepentingan pihak tertentu di balik pemilihan MRP saat ini.

Mencermati keadaan ini, pemerintah perlu mempertimbang arus bawah yang berkembang, termasuk sikap kalangan adat dan keagamaan di Papua mengingat pentingnya peran mereka.

Dengan kata lain, pemilihan MRP dan pilkada keduanya lebih baik ditunda. Selama penundaan itu pemerintah bisa mengadakan dialog dengan rakyat Papua tentang bagaimana menyelesaikan masalah aktual saat ini. Pemerintah bisa saja mengajukan pembahasan kembali seputar pembentukan MRP, pemekaran wilayah, dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Tentu saja dengan formula lebih demokratis, lebih merepresentasikan kepentingan rakyat Papua.

Muncul kekhawatiran, dialog semacam ini bisa berbuah seperti Kongres Rakyat Papua tahun 2000 yang memutuskan pemisahan diri dari republik.

Jangan lupakan HAM
Tegaknya hukum dan keadilan di Papua adalah harapan utama rakyat Papua setelah lepas dari belenggu kekerasan dan ketidakadilan di masa Orde Baru. Karena itu, agenda kerja pemerintah dalam mendialogkan Papua seharusnya menyentuh hak asasi manusia (HAM).

Kita berharap hiruk-pikuk politik di tingkat nasional yang kini sibuk dengan isu BBM dan bom Bali mampu menyediakan solusi politik bagi masalah di Papua.

Perlu diingat, sebagian besar warga Papua yang tinggal di provinsi terkaya itu masih hidup dalam kemiskinan, jauh dari pendidikan, pekerjaan, dan perumahan layak. Banyak kasus kekerasan dan pelanggaran HAM tak selesai. Kalaupun ada yang dibawa ke pengadilan, hasilnya masih jauh dari harapan rakyat Papua.

Sekali lagi, jadikan dialog sebagai cara terbaik menyelesaikan masalah, dan jangan lupakan penegakan HAM untuk Papua.

Usman Hamid
Koordinator KontraS; Anggota Pokja Papua