“DUE DILIGENCE” NEGARA DI POSO

"DUE DILIGENCE" NEGARA DI POSO

Oleh Usman Hamid

Kekerasan kembali terjadi di Poso. Di Poso Pesisir, Topan Tompa (17), warga Desa Saatu, menjadi korban.

Sulit diterima akal sehat, kekerasan di Poso terus terjadi dalam hitungan hari, terutama tujuh tahun sejak pecah konflik komunal. Hal ini mengindikasikan, intensitas, eskalasi dan frekuensi kekerasan di Poso sudah pada tahap amat mengkhawatirkan dan tidak bisa ditoleransi.

Sulit memahami, bagaimana mungkin kekerasan serupa bisa terjadi kembali. Padahal, pascaperistiwa pemenggalan tiga siswi SMA Poso, jumlah aparat lebih besar, diberlakukan jam malam, dilakukan sweeping di berbagai tempat di Poso. Jam malam dan sweeping juga dilakukan di sekitar dua lokasi peristiwa kekerasan itu. Pertanyaannya, mengapa masih juga terjadi?

Aktor pelaku

Dari pengamatan sekilas, bisa dipastikan, jaringan pelaku adalah pihak yang amat mengerti pola pengamanan yang dilakukan aparat keamanan. Jika tidak, bagaimana mereka melakukan aksi-aksinya? Jaringan aktor pelaku juga menguasai seluk-beluk geografi/wilayah Poso.

Dengan demikian, jaringan pelaku bisa beraksi di saat dan di lokasi tertentu yang tidak termonitor aparat yang menjaga keamanan. Pertanyaan berikut, siapa yang paling mungkin memiliki kemampuan ini?

Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Bisa saja tudingan ditujukan kepada aparat negara yang diduga kuat ada yang terlibat sejumlah kekerasan di Poso. Bisa juga, aparat menuding kelompok luar yang sengaja ingin mengacaukan Poso seperti dikatakan pejabat pemerintah dan kepolisian baru-baru ini.

Ada pula yang mengatakan, pelakunya tumpah tindih. Pembunuh yang satu menumpang pembunuh yang lain. Tentu dengan agenda atau maksud-maksud yang tumpang tindih.

Tetapi siapa mereka? Siapa kelompok luar itu? Untuk apa mereka mengacaukan Poso? Apa keuntungan yang diraih dalam situasi kacau di Poso?

Masih banyak pertanyaan lain yang tak pernah dijawab pemerintah. Termasuk pertanyaan sampai kapankah kekerasan ini berlanjut?

Pelanggaran HAM
Berlanjutnya kekerasan dan tiadanya jawaban atas pertanyaan itu menunjukkan tidak berfungsinya negara. Masyarakat seolah harus menghadapi sendiri kekerasan-kekerasan yang terjadi. Padahal, negara bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak warganya dari segala bentuk aksi kekerasan. Apa tanggung jawabnya?

Dalam perspektif HAM, sebuah negara bisa dianggap melanggar HAM bukan hanya ketika negara mengambil tindakan aktif yang langsung berakibat dibatasi atau dirampasnya hak-hak manusia. Tetapi juga saat negara tidak mengambil langkah apa pun atau gagal mencegah hilangnya hak-hak manusia.

Di masa lalu, seorang Kepala BIN pernah menyatakan kepada publik, jaringan teroris ada di Poso. Entah jaringan teroris dari mana atau kelompok luar seperti apa, serta apa motifnya, hingga kini belum tuntas diungkap.

Dari asumsi ini tidak jarang, ada pandangan yang menyatakan aksi peledakan bom dan pembunuhan yang melanggar HAM bukan tindakan aparat, tetapi teroris. Yang lebih konyol, ada yang mengatakan gara-gara HAM kita gagal mendeteksi dan menindak aksi-aksi teroris.

"Due diligence" negara
Menurut seorang Pelapor Khusus PBB Kalliopi K Koufa, tanggung jawab (liability) untuk aksi-aksi teror dapat dikenai pada negara yang telah gagal, di bawah doktrin hukum due diligence, untuk melindungi semua orang dalam yurisdiksinya dari tindakan aktor nonnegara.

Tanggung jawab negara seperti ini dikenal dengan doktrin due diligence. Menurut dia, semua instrumen hukum HAM menerapkan sebuah kewajiban luas yang meminta negara bertindak dengan due diligence mencegah pelanggaran.

Negara wajib meregulasi dan mengontrol aktivitas tertentu dari aktor nonnegara guna menghindari, mencegah, dan melindungi warganya dari pelanggaran HAM. Kegagalan negara untuk hal ini menjadi act of ommission (tindak pembiaran).

Karena itu, dalam perspektif HAM, bangunan definisi terorisme di Poso tak lantas menghapus tanggung jawab negara menegakkan HAM dengan menjamin rasa aman warga. Sebab, kata Koufa, "All terrorist acts result in violation of human rights, whether committed by States themselves or sub-State actors" (semua aksi teroris berakibat pelanggaran HAM, baik itu dilakukan negara atau aktor subnegara).

Dalam kasus Poso, negara atau pejabat negara tidak pernah menyatakan telah gagal atau setidaknya mengakui ada kegagalan aparatnya menjamin rasa aman di Poso. Yang terlihat setiap kali ada kekerasan, aparat keamanan diturunkan ke lokasi plus para petingginya. Lalu berjanji mengusut para pelaku kekerasan dan menghukumnya.

Tidak berapa lama, pengusutan banyak kasus tak jelas muara akhirnya. Ada yang dibawa ke pengadilan, tetapi hanya sedikit dari banyak persoalan mulai dari penembakan, peledakan bom, hingga pemenggalan kepala pelajar perempuan di bawah umur.

Kita menyayangkan sikap pemerintah yang tidak tegas mengatasi keadaan, bahkan mengecilkan persoalan. Apa pun alasannya, sikap ini harus diubah. Sikap seperti ini berpotensi membuat jaringan pelaku leluasa menggunakan modus, lokasi, dan target berbeda dalam setiap aksinya.

Kita berharap agar masalah Poso tidak dilihat sebagai persoalan kecil, tetapi perlu ditangani sungguh-sungguh. Pemerintah harus mampu menegakkan hukum yang mampu menunjuk hidung siapa aktor dan motif di balik frekuensi kekerasan di Poso. Ini memerlukan pengusutan hukum yang profesional dan obyektif. Tidak bisa dengan cara biasa.
   

Usman Hamid
Koordinator KontraS