Refleksi akhir tahun 2005 dan Proyeksi tahun 2006

Siaran Pers
No :01/SP-KontraS/I/2006
Tentang
Refleksi akhir tahun 2005 dan Proyeksi tahun 2006
2005, TAHUN HUKUM HAM DISIA-SIAKAN
PENEGAKAN HAM TAHUN 2006: INDONESIA MENGAYUH BIDUK RETAK

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai penegakan HAM sepanjang tahun 2005 di Indonesia mengenaskan. Payung hukum yang sudah tersedia, disia-siakan percuma oleh negara. Kedaulatan hukum tidak tegak. Hilangnya keberanian, orientasi dan inspirasi negara membuat rakyat lebih menonjol dalam pengupayaan keadilan. Kesadaran dan keberanian rakyat yang menguat dan meluas, menghasilkan tekanan perlawanan keras masyarakat dalam melindungi dan membela dirinya.

Meski begitu, cara negara menghindar dari tuntutan masyarakat telah berkembang lebih halus, canggih dan semakin defensif . Berbekal politik citra dan stabilitas politik yang relatif solid, pemerintah bersama kepentingan elit kuasa terus menerus berkelit dari tanggungjawabnya atas berbagai persoalan HAM yang kian menumpuk. Negara berkali-kali ‘tertangkap basah’ saat berusaha memasung atau mempersempit kebebasan publik seperti terlihat pada RUU Intelijen Negara, RUU Rahasia Negara dan PP Penyiaran. Jurnalis, petani, dan nelayan masih jauh dari perlindungan negara.

Respon negara yang keluar biasanya ada dua tipe. Pertama yang bernuansa aman, netral dan sesungguhnya tak punya gigi †seperti saat menegaskan (baca: mengulangi) putusan pengadilan Munir. Padahal pencapaian konkret kasus lebih dari sekedar ucapan bela-simpati. Itu salah satu kekhasan negara di tahun ini: enak didengar tapi jauh dari harapan ideal. Kedua adalah tatkala terdesak, pemerintah bukan menyanggupi, tapi malah bereaksi berlebihan. Kenaikan BBM, kritik mahasiswi di India atau kritik Ketua PGRI adalah bukti sesungguhnya negara sedang panik, dan frustasi.

Penyelesaian konflik masih dipengaruhi resistensi terselubung pro- status quo dan birokrasi yang apologi. Aceh , kehendak negara mendorong perdamaian dan membangun Aceh sudah baik tapi masih menutup mata atas ketidakadilan HAM masa lalu. Di Papua , HAM belum tegak dan memperihatinkan, sementara pembentukan MRP tidak diiringi kepercayaan penuh (MRP disuruh berlari tapi kaki terikat). Poso , pendekatan keamanan masih jadi tumpuan utama, negara tidak berani mengoreksi aparat keamanan dan menegakkan hukum sehingga hilang arah.

Di tahun 2005, institusi negara yang berwenang langsung menegakkan HAM masih lumpuh seperti tahun 2004. ‘Kerja’ justru terlihat pada Menteri Luar Negeri seperti kasus pembebasan sandera WNI di Filipina, ratifikasi dua Kovenan Induk PBB dan diplomasi internasional HAM, dimana Indonesia menjadi Ketua Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa.

Refleksi dan proyeksi ini adalah pokok renungan dari pergulatan KontraS bersama sejumlah komunitas korban. Sebagian catatan kerja ini telah tertuang dalam berbagai aktivitas termasuk pada setiap siaran pers yang dirilis sepanjang 2005. Kompilasi akhir tahun ini penting untuk mengukur kapasitas gerakan organisasi KontraS, konstituen dan jaringan pendukung dalam melangkah ditahun 2006, sekaligus menentukan strategi perjuangan bersama menuju penegakan HAM. Berikut uraian lengkap hasil refleksi dan proyeksi ke depan KontraS:

REFLEKSI PERTAMA: Negara Tidak Berani Tegakkan Hukum HAM.

Sepanjang 2005, hampir semua lembaga negara menyia-nyiakan hukum HAM yang dibuatnya, termasuk ratifikasi ICCPR dan ICESPR. Pada kasus Trisakti 12 Mei ‘98, Presiden setelah didesak mahasiswa & keluarga korban mau memberikan tanda jasa kepada keempat korban mahasiswa. Jaksa Agung disorientasi, masih mendiamkan berkas penyelidikan kasus TSS, Mei, Wasior-Wamena. Komnas HAM tak lagi berwibawa. Rendahnya kredibilitas pengadilan , membuat korban tidak mendapat keadilan, padahal fakta kejahatan diakui pengadilan. Di tahun 2005 terdakwa kasus Priok, Abepura dan Timtim bebas.

Di tahun 2005, DPR mulai lebih sensitif HAM dibanding tahun 2004, bahkan lebih sensitif dari eksekutif. DPR bentuk Pansus Bojong, Pansus Tabrakan Tol Jagorawi, Tim Kasus Munir. Pada kasus Trisakti dan Semanggi, Komisi III memenuhi tuntutan korban. Tapi semua langkah ini masih perlu dikonkritkan lewat paripurna. Selain itu, para politisi lebih kritis dalam penolakan rencana pengaktifan koter, perluasan wewenang BIN.

Diluar proses hukum, sikap negara yang semula ingin memaksakan rekonsiliasi pada korban lewat KKR, menjadi tidak jelas arahnya. Rencana Presiden SBY merehabilitasi bekas tahanan politik Pulau Buru tidak terlaksana. Aksi teror dan kekerasan di Poso, Palu dan sekitarnya terus berlanjut tanpa jelas siapa yang bertanggungjawab. Akhir tahun justru ditutup dengan peledakan bom yang kembali menelan korban rakyat kecil.

REFLEKSI KEDUA: Kekerasan Negara Masih Tumbuh Subur.

Di tahun 2005, banyak aparat keamanan yang tidak menghormati hukum, martabat, dan hak asasi manusia para petani, nelayan, jurnalis dan warga sipil. Kepolisian tercatat sebagai pelaku kekerasan tertinggi (140 kasus), disusul militer (75 kasus). Wilayah kekerasan tertinggi terjadi di Sulawesi (88 kasus) dan Aceh (108 kasus). Lihat lampiran tabel.

Kekerasan terjadi akibat negara mengabaikan kewajibannya memenuhi kesejahteraan sosial dan ekonomi serta cara pandang lama. Negara yang pasif dalam melayani kesejahteraan publiknya berujung pada keresahan sosial masyarakat. Kemudian keresahan sosial masyaraktat tersebut disikapi pendekatan yang represif. Contohnya:

  • Di Runtu Kobar Kalimantan Tengah, unjuk rasa warga mempertahankan lahan dari upaya penyerobotan oleh PT MMS disikapi berlebihan, seorang warga tewas dan 44 luka-luka.
  • Di Tanah Awu, Lombok Barat, warga masyarakat ditembaki saat mempertahankan lahan pertaniannya untuk dijadikan lapangan terbang.
  • Di Tambusai Riau, warga masyarakat direpresi saat mempertahankan lahan dari perluasan perusahaan perkebunan sawit.
  • Di Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara sejumlah warga masyarakat dianiaya dan disiksa saat mempertahankan tanah adatnya.
  • Di Kabupaten Selayar seorang tokoh nelayan bernama Mudain tewas di tembus timah panas, akibat aparat merepresi nelayan yang menindak pelaku-pelaku pemboman dalam menangkap ikan. 39 nelayan lainnya ditangkap, ditahan dan di kriminalisasi oleh kepolisian Selayar (15/11).
  • Di Bengkalis, sekitar 13 orang nelayan Rawai sempat hilang (12/12/05), 1 orang tewas tertembak oleh polisi. Selama puluhan tahun nelayan terganggu sumber kehidupannya akibat penangkap ikan yang memakai Jaring Karau.
  • Di Bojong Kemang, TNI AU hendak mengambil alih tanah tiga desa tanpa memperhatikan kepemilikan yang sah dari masyarakat setempat atas tanah.
  • Di Pekalongan, pada kasus antara PTPN IX Jolotigo dengan petani dari Dukuh Keprok dan dari Desa Mesoyi. Polisi melakukan kriminalisasi terhadap 5 orang petani yang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk menekan kuasa hokum petani Handoko Wibowo juga ikut diperiksa oleh polisi (25/04/05).

REFLEKSI KETIGA: Reformasi TNI, POLRI dan BIN Mulai Mundur

Kekerasan TNI masih merebak. TNI tetap merupakan warga negara kelas satu. Contoh terakhir adalah penyerangan pasukan Raider terhadap penduduk sipil dan pemukimannya di sepanjang jalan poros Dusun Karamaka, Dusun Ga’do dan dusun Ujung Moncongkarama, Jeneponto Sul-sel. Pasukan Raider yang berpakaian preman dan membawa parang panjang, kayu balok, dan pipa besi menyisir dengan membuat kelompok-kelompok, tiap kelompok berjumlah lima orang menyebar merusak properti masyarakat. 80 rumah rusak dan 16 orang warga luka-luka (28/11).

Peristiwa serupa juga terjadi di Asiki, Distrik Jair, Boven Digul, Papua, 29 November 2005. Libarius Oga (33) Karyawan PT. Korindo, tewas ditembak anggota pasukan Yonif 634/VWS Angkatan Darat, Praka Zulkarnain.

Kasus main hakim sendiri dan mudahnya meletuskan senjata menjadi cermin arogansi anggota TNI dan praktik diskriminasi hukum dalam penanganan kasus pidana oleh militer. Belum lagi promosi perwira-perwira yang tidak memperhatikan reputasi dalam kasus pelanggaran HAM.

Pada tahun 2005 watak militer, kepolisian, dan intelijen masih diwarnai perangai represif. Di lain sisi, isu anti terorisme dimanipulasi untuk memperkuat legitimasi posisi tawar politiknya. Militer ingin mengaktifkan institusi komando teritorial dan BIN ingin membajak kewenangan penegakkan hukum. Ini jelas bertentangan dengan upaya reformasi politik yang sudah berjalan untuk menegakkan supremasi sipil.

PROYEKSI 2006

Tahun 2006 dalam proyeksi KontraS, watak negara tidak berubah dan tidak ada keinginan kuat untuk merubah lembaga-lembaga negara yang semakin sarat dengan KKN. Bila ini benar-benar terjadi, daftar penyelewengan bertambah dan kepercayaan masyarakat kian berkurang. Tetap tingginya kesadaran masyarakat, membawa penegakan HAM di tahun 2006 seperti mengayuh biduk retak karena tugas gerakan HAM semakin pelik dan berat.

Harapan penegakan HAM justru lebih terlihat di tubuh masyarakat, bukan negara. Semakin banyak warga masyarakat berani melaporkan penyimpangan. Muncul perlawanan di mana-mana adalah bukti nyata masyarakat tidak lagi diam terhadap penyimpangan hukum dan HAM oleh negara.

Gerakan HAM terus tumbuh subur, meskipun sebagian diantaranya masih terlihat terburu-buru, tidak sabar, dan terkadang emosional dalam memperjuangkan HAM. Sebagai otokritik, KontraS melihat gerakan HAM masih kurang mampu mencengkeram hukum, meski negara kerap tersudut. Canggih, halus dan tetap kuatnya negara menghadapi tiap tuntutan masyarakat juga diperlihatkan lewat penggunaan hukum sebagai alat pemukul balik (bukan melindungi) siapapun ( whistle blower ) yang melibatkan diri dalam pemberantasan kejahatan.

Terakhir, di tahun 2006, tantangan penegakkan semakin bertambah berat. Kerawanan ekonomi akan menyumbang besar terjadinya kekerasan, terutama terhadap kelompok marginal seperti petani, nelayan, buruh, dan kaum miskin kota. Negara bisa kembali gagal melindungi warganya. Kesadaran masyarakat bertambah, sehingga prospek penegakan HAM tahun 2006 bukan tanpa harapan. Gerakan HAM perlu lebih berkonsolidasi dengan seluruh lapisan masyarakat. Sebab penegakan hukum dan HAM mustahil bila hanya berharap dari kebaikan hati para elit kuasa.

Jakarta, 4 Januari 2006
Badan Pekerja KontraS

 

Usman Hamid
Koordinator