Pentingnya Mengacu Pada Semangat Perdamaian dan Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam Pembahasan RUU Pe

Siaran Pers Aceh Working Group (AWG)

Pentingnya Mengacu Pada Semangat Perdamaian dan Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh (RUU PA)

Aceh Working Group (AWG), mengkhawatirkan proses pembahasan RUU PA di parlemen jauh dari substansi perdamaian dan keadilan bagi masyarakat Aceh. ini terlihat dari upaya beberapa anggota Parlemen dan pemerintah yang secara sistematis melakukan dekonstruksi nilai perdamaian Aceh dengan menaruh curiga yang begitu besar terhadap proses yang berlangsung dan menafikan beberapa materi MoU.

Proses ini dapat dilihat dari beberapa kondisi yang telah berlangsung.

Pertama, ada kecurigaan yang begitu besar di Jakarta terhadap Aceh bahwa proses perdamaian ini hanya akan jadi ‘jembatan’ bagi GaM untuk mempersiapkan kemerdekaan Aceh.

Kecurigaan ini tidak berdasar dalam kerangka negara Demokratis, dan bertentangan pula dengan kondisi faktual di lapangan, apalagi jika kita melihat proses Demobilisasi dan Decommisining yang telah berjalan dengan baik. Proses penyerahan senjata dan penarikan pasukan yang menjadi langkah kunci sudah cukup membuktikan bahwa trust building sudah mulai tercipta di Aceh.Kecurigaan ini pula kontra produktif terhadap proses damai itu sendiri, sebab perdamaian tanpa diawali oleh rasa saling percaya, hanya omong kosong belaka.

Kecurigaan in pula yang mewarnai draft RUU PA yang diajukan oleh Depdagri, semakin terasa jika kita melihat bagaimana pembagian kewenangan antara pusat Jakarta dan Aceh. Berbagai kewenangan yang seharusnya di miliki oleh daerah ‘Khusus’ dipangkas secara sistematis. Posisi Aceh dalam kerangka RUU PA Depdagri tak ubahnya sebagai daerah kepanjangan administrasi Jakarta saja.

Kedua, Tidak ada pembahasan serius tentang agenda keadilan bagi Aceh, yang ada adalah mempertahankan Status Quo. Posisi ini tercermin dari tidak jelasnya mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dan limit waktu (lihat pasal 178 RUU PA versi Depdagri) yang dijamin UU bahwa proses keadilan-apakah melalui pengadilan HAM maupun KKR-niscaya akan dilangsungkan di Aceh.

Konsekwensi dari kondisi ini adalah tidak dijaminnya korban Pelanggaran HAM untuk mendapat keadilan. Padahal salah satu semangat perdamaian adalah memberikan jaminan keadlian bagi korban pelanggaran HAM. Posisi ini jelas termaktub dalam MoU.

Dua kenyataan diatas, berkaitan dengan otonomi dan keadilan, seharusnya tetap mengacu pada semangat MoU yang benar-benar mendukung perdamaian di Aceh. Selain itu, kekhawatiran atas ide kemerdekaan sudah diselesaikan pada perdebatan penandatangan MoU, termasuk apakah semangat MoU bertentangan dengan konstitusi.

Berangkat dari kenyataan di atas, AWG menyatakan sikap sebagai berikut:

  • Meminta DPR khususnya Pansus RUU PA untuk mengedepankan substansi perdamaian dan keadilan bagi Aceh dan keadilan bagi ACeh dan harus dibuktikan dengan jelasnya pembagian kewenangan secara substansial (otonomi politik) bukan hanya kewenangan administrasi (otonomi administratif).
  • Mendesak Parlemen menjamin kejelasan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dan limit waktu mulainya mekanisme tersebut berjalan. Ini penting agar jangan sampai UU, justru menjadi kuburan bagi keadilan yang dituntut oleh masyarakat Aceh yang sudah lama menderita akibat konflik berkepanjangan.

Jakarta, 23 Februari 2005

 

Aceh Working Group:
Imparsial, KontraS, PBHI, Kalyanamitra, HRWG, LBH Apik, PIRD-YLBHI, Yappika, LSPP, AJI Indonesia, Elsam, VHR, SHMI, ICW, Walhi