Perlu Penelitian Dampak SUTET *Harus Melibatkan Banyak Kalangan

Jakarta, Kompas
Untuk menghindari polemik dan kesimpangsiuran mengenai dampak berdirinya jaringan saluran udara tegangan ekstra tinggi terhadap masyarakat yang berdiam di bawah jaringan tersebut, pemerintah dituntut segera membentuk tim peneliti dampak SUTET.

Usulan itu diungkapkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid dalam diskusi panel yang dilangsungkan berkaitan dengan aksi mogok makan dan jahit mulut korban SUTET di Posko Selamatkan Rakyat Indonesia (SRI), Jalan Diponegoro, Jakarta.

"Tim independen yang akan dibentuk, dan harus segera dibentuk, harus melibatkan orang-orang yang memang memiliki keahlian di bidangnya," ujar Usman.

Diskusi panel kemarin menyemarakkan suasana Posko SRI. Selain Usman, diskusi ini dihadiri lima pembicara lainnya, termasuk seorang warga dari Ikatan Keluarga Korban SUTET Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dan pakar kedokteran keluarga dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Dr dr Anies MKes PKK.

Aksi mogok makan dan jahit mulut yang dilakukan warga korban SUTET di posko ini sudah berlangsung hampir dua bulan, sejak digelar kali pertama mulai 27 Desember lalu.

Keseluruhan jumlah peserta aksi mogok makan dan jahit mulut, menurut juru bicara Posko SRI, Mustar Bona Ventura, sudah 17 orang. "Yang masih bertahan lima orang, tetapi dua di antaranya sedang dirawat di Rumah Sakit Cikini," ujar Mustar.

Jangka panjang
Senada dengan Usman, Anies menegaskan, penelitian itu nantinya tidak sekadar mengamati kondisi masyarakat dalam waktu sesaat, tetapi diharapkan didesain sebagai penelitian jangka panjang.

"Potensi gangguan kesehatan akibat radiasi elektromagnetik, menurut WHO, dapat meliputi gangguan sistem darah, sistem reproduksi terutama pada laki-laki, sistem saraf, sistem kardiovaskular, sistem endokrin, dan hipersensitivitas," kata Anies.

Dari penelitian terhadap penduduk di tiga kabupaten di Jawa Tengah, pada tahun 2004 Anies menemukan, warga yang berdiam di bawah jaringan SUTET 500 kilovolt memiliki risiko 5,8 kali lebih besar mengalami gejala hipersensitivitas daripada warga di luar jaringan SUTET.

Ia menambahkan, tim peneliti mendatang harus melibatkan banyak kalangan, dari peneliti universitas, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi profesi. "Penelitian dapat dilakukan secara multicenter, dan untuk penyakit tertentu, akan lebih baik kalau dilakukan case control," ujar Anies.

Lebih lanjut Usman menyatakan, negara tidak boleh lagi mengabaikan hak-hak warga yang selama ini dirampas dengan alasan demi pembangunan.

"Bukan hanya hak atas kesehatan, tetapi hak-hak sipil lainnya. Untuk itu, harus dilakukan penelitian ilmiah dan diadakan standar sehingga dapat diukur besar ganti rugi yang harus diberikan," ujar Usman.(COK)