Seruan Keprihatinan KontraS Papua
Jln Raya Sentani No.67 B Padang Bulan Sosial-Depan Ojek Pad.Bulan Abepura Papua Tlpn/Fax (0967) 588160
Antara Dollar dan Anak Manusia
FREEPORT BERTANGGUNGJAWAB !!!
Siaran Pers : 01/KontraS-P/II/06
Tidak seorangpun boleh disiksa dan diperlakukan atau dihukum secara keji tidak manusiawi atau merendahkan martabat, (Pasal 5 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia).
Kapan semua ini (perilaku kekerasan) akan dihentikan? Pertanyaan ini dapat dijawab oleh semua anak Manusia yang mempunyai hati nurani, selayaknya untuk memberi perhatian terhadap seruan perdamaian di seluruh dunia. Di era Globalisasi dan Modernisasi saat ini, kita juga bertanya: Sejauh mana perusahaan-perusahaan asing dan Pemerintah mengimplementasikan prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan yang memberikan perlindungan dalam menempatkan masyarakat asli Papua yang adalah pemilik hak ulayat dalam menunjang kesejahteraan hidup mereka.
Proses hukum terhadap kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat di Waghete yang menewaskan 1 (satu) orang warga sipil atas nama Moses Douw (laki-laki) dan melukai 3 (tiga ) orang lainnya atas nama Yunike Kotouky (Perempuan), Petrus Pekey (laki-laki) dan Melianus Douw (laki-laki), dikuatirkan bukan menyelesaikan masalah, justru akan muncul potensi konflik dan kekerasan berikutnya karena pelaku hanya dituntut 5 bulan penjara padahal ia menghilangkan nyawa orang lain . Saat ini kita dikagetkan lagi dengan aksi brytalisme aparat di daerah konsesi PT. Freeport pada tanggal 22 Pebruari lalu.
Sejak tahun 1967 PT Freeport Indonesia telah menambang di Tembagapura lewat Kontrak Karya I, sudah 40 tahun lebih proses perampasan hak-hak dasar rakyat Papua terjadi diatas tanahnya sendiri yang secara filosofi diakui sebagai “ibu”. Pemerintah Indonesia pernah memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, sejak tahun 1978 – 5 Oktober 1998,
Kasus Freeport membuka mata dunia dan Pemerintah Indonesia bahwa apa yang dibuat dan dilaksanakan selama ini masih belum menempatkan masyarakat asli Papua dalam menunjang kesejateraan bahkan buntutnya mereka harus lagi menjadi korban di atas hak ulayatnya sendiri.
Pencaplokan tanah adat, pelanggaran HAM, penghancuran tatanan adat, penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil, perusakan dan penghancuran ibu bumi, perusakan lingkungan hidup, penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi orang Amungme, adalah fakta yang dirasakan penduduk pegunungan tengah Papua, di mana operasi tambang Freeport berlangsung. Tidak heran jika frekuensi protes terus dilakukan rakyat Papua untuk menentang ketidakadilan yang rakyat Papua rasakan. Bahkan patut diduga, salah satu kontributor menguatnya tuntutan merdeka rakyat Papua dari Republik Indonesia adalah akumulasi kemarahan rakyat Papua terhadap kehadiran Freeport serta sokongan yang diberikan pemerintah dan militer terhadap perusahaan itu.
Selain kepentingan langsung rakyat Papua, Kontrak Karya penambangan PT Freeport baik tahun 1967 maupun 1991 telah nyata-nyata cacat baik dari segi politik maupun hukum. Dengan demikian seluruh kegiatan penambangan PT Freeport dan pendapatan negara dari kegiatan itu, menjadi tidak absah, baik dari segi hukum, maupun kepentingan rakyat Papua. Dengan demikian perlu dilakukan suatu perubahan yang fundamental, yaitu melalui renegosiasi dan perubahan perijinan pertambangan.
Dengan demikian KontraS Papua menyatakan sikap:
Demikian pernyataan sikap dan seruan keprihatinan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS Papua).
Jayapura, 25 Pebruari 2006
Pieter Ell, SH
Koordinator