Mendesak Pansus DRP Hindari Pasal-Pasal Karet HAM di RUU PA

Pernyataan Sikap
No : 13/KontraS/II/2006
Tentang
MENDESAK PANSUS DPR HINDARI PASAL-PASAL KARET HAM DI RUU PA

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengapresiasi dua pihak GAM dan RI yang telah setapak demi setapak memnuhi komitmen MoU dengan sukses mulai dari pelucutan senjata, demiliterisasi dan re-integrasi yang berajalan sesuai harapan. Pembentukan UU Pemerintahan Aceh adalah tantangan yang berat, karena prospek keberhasilannya kini ditentukan oleh DPR RI.

KontraS khawatir keberhasilan awal MoU menjadi nihil kembali jika agenda pembuatan UU pemerintahan Aceh gagal memahami aspirasi rakyat Aceh atau malah menimbulkan persoalan baru. Indikasi awal ke arah ini terlihat jelas bagaimana Depdagri merombak rancangan yang disusun susah payah seluruh komponen Aceh; Pemda dan DPRD NAD, masyarakat sipil, dan GAM yang menghasilkan RUU PA.

Menurut KontraS, pasal-pasal HAM versi Depdagri berpotensi mengundang perbedaan penafsiran di tingkat pelaksanaan. Contoh, rumusan pasal tentang pengadilan HAM.

Versi DPRD Aceh pasal 183 ayat 3: Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini.

Versi Depdagri Pasal 178 ayat 3 : Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi untuk Aceh.

Pertama, teks pasal pengadilan HAM versi Depdagri bisa diartikan pemerintah membentuk pngadilan HAM untuk Aceh dengan kedudukan di Medan atau di Jakarta dengan alasan teknis. Disini terasa bahwa pemerintah menjauhkan akses korban terhadap keadilan (access to justice). Pasal ini bisa jadi cermin keinginan Jakarta untuk tetap mendominasi atau mengontrol pengadilan HAM.

Kedua, rumusan pasal pengadilan HAM versi Depdagri membuat pengadilan HAM bisa terus tertunda pembentukkan tanpa limit waktu yang jelas. Berbeda dengan rumusan versi DPRD Aceh yang memuat limit waktu maksimal 1 tahun. RUU versi DPRD ini bisa mencegah terulangnya preseden buruk Papua dimana pengadilan HAM versi UU Otsus Papua tak juga terbentuk salah satunya karena tanpa limit waktu.

Contoh untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Depdagri juga tidak memuat limit waktu pembentukannya. Pembentukan KKR Aceh ditentukan oleh KKR nasional dapat dipahami meski Presiden prosesnya lambat.

SElain pengadilan HAM dan KKT. RUU PA versi Depdagri mencoba menganulir dua klausul penting, yuaitu tentang reparasi dan pelaporan khusus PBB. Reparasi diatur pada Pasal 176 ayat 4 : "Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat membantu merehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur akibat konflik". Sedangkan pelaporan khusus PBB diatur pada Pasal 185: "Dalam hal tidak adanya jaminan proses investigasi yang adil dilakukan terhadap kasus-kasus kejahatan berat HAM Tertentu di wilayah, pemerintah memberi kesempatan kepada pelapor khusus dan atau pejabat lain PBB untuk masuk ke wilayah Aceh".

Penghapusan klausul ini terlalu berlebihan karena mekanisme kunjungan pelapor khusus dan atau pejabat lain PBB merupakan hal yang normal, apalagi Indonesia telah meratifikasi kovenan induk dan kovensi internasional. Indonesia sendiri pernah mengundang beberapa pelapor khusus ke Indonesia, antara lain pelaopr khusus untuk kekerasan terhadap perempuan, pelapor khusus untuk independensi peradilan, pelopor khusus untuk pendidikan, dan pelopor khusus untuk kebebasan pers.

Dari uraian diatas, KontraS meminta Pansus DPR memakai versi DPRD Aceh khususnya tentang Pengadilan HAM dan KKR sebagai bentuk penghormatan terhadap keikutsertaan rakyat Aceh dalam proses pemerintahan. pansus DPR perlu secara intensif mendengarkan/meminta masukan dari masyarakat korban pelanggaran HAM pada masa DOM dan paska DOM di Aceh.

KontraS meminta Pansus DPR RI untuk menerima seluruh substansi RUU Pemerintah Aceh versi DPRD Aceh, khususnya pasal-pasal HAM. Dari sudut legitimasi dan partisipasi publik, RUU PA versi DPRD Aceh lebih kuat ketimbang versi Depdagri.

Jakarta, 27 Februari 2006

 

Usman Hamid
Koordinator

Lampiran