PROSPEK HAM KAUM PEREMPUAN ACEH

PROSPEK HAM KAUM PEREMPUAN ACEH

Oleh Usman Hamid

"Kasihan Perempuan". Itulah judul tajuk harian Kompas menyoroti penangkapan sejumlah perempuan yang dituduh pelacur di Tangerang (4/3). Di Aceh, penangkapan seperti ini juga terjadi. Malah kini ada kekhawatiran, RUU Pemerintahan Aceh yang dibahas DPR dapat mengancam hak-hak kaum perempuan di Aceh.

Kita mengapresiasi komitmen pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah setapak demi setapak sukses melaksanakan nota damai. Pelucutan senjata, demiliterisasi, amnesti, dan reintegrasi adalah awal kesuksesan itu. Tantangan terberat saat ini ada pada pembahasan RUU Pemerintahan Aceh (PA). Jangan sampai awal kesuksesan itu hancur justru di saat rakyat dan kaum perempuan Aceh penuh optimisme akan perbaikan hidup.

Integrasikan demokrasi-HAM
Untuk itu, penggodokan RUU PA di DPR harus mampu mengintegrasikan kerangka demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang berperspektif jender, setidaknya pada tiga hal.

Pertama, memperkuat demokrasi berbasis representasi perempuan di semua tingkat pengambilan keputusan. Untuk ini, baik RUU PA usulan DPRD (Pasal 65, 128, 168, 180, dan 184) maupun usulan Depdagri (Pasal 121, 152, 163, 175, dan 179) memuat jaminan representasi perempuan dalam pembentukan partai politik lokal, kepengurusan partai politik, akses pendanaan bagi usaha ekonomi perempuan, pengelolaan pendapatan, pemberdayaan perempuan pada sektor pendidikan, kesehatan, hingga ditegaskannya kewajiban negara memajukan dan melindungi hak perempuan dan anak.

Kedua, membangun jaminan hak-hak universal perempuan. Ketentuan tentang HAM termuat dalam dua RUU PA yang dipersiapkan DPRD Aceh (Pasal181, 183, dan 184) maupun Depdagri (Pasal 176). Secara umum terdapat kesamaan pada jaminan hak dan kebebasan berbicara, kebebasan pers, berserikat, berkumpul, bergerak dari satu tempat ke tempat lain, berdemonstrasi secara damai, dan mendirikan serikat pekerja dan hak mogok. Termasuk jaminan untuk tidak ditangkap, ditahan, diadili secara melawan hukum, disiksa, dirampas kemerdekaan dan hidupnya, serta jaminan hak untuk mendapat pelayanan dan bantuan hukum, serta akses kepada peradilan.

Sayang RUU PA usulan DPRD Aceh dan Depdagri sama-sama kurang memuat jaminan hak-hak perempuan. Kurang di mana? Dari semua rumusan pasal khusus tentang HAM, hak perempuan tak disebutkan secara eksplisit. Bisa jadi ini disebabkan minimnya representasi perempuan saat perumusan RUU itu. Ini mengulangi proses perdamaian era Jeda Kemanusiaan 2000-2001 dan Kesepakatan Penghentian Permusuhan RI-GAM 2002-2003 yang kurang melibatkan perempuan sebagai penentu. Atau hitung saja berapa persen representasi perempuan di setiap tingkatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif Aceh, termasuk Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh (BRR), GAM, dan Aceh Monitoring Mission (AMM).

Memang, kita telah memiliki hukum nasional yang secara normatif melindungi hak-hak perempuan. Antara lain UU No 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (CEDAW) dan UU No23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Memang, undang-undang yang berlaku nasional juga berlaku bagi setiap orang di Aceh. Namun, jaminan itu akan lebih kokoh jika dituangkan juga secara khusus pada bakal undang-undang tersebut.

Ketiga, selain ketentuan normatif tentang hak-hak dan kebebasan perempuan, integrasi jender dalam kelembagaan hukum dan HAM juga penting. Seberapa jauh, misalnya, kaum perempuan Aceh dapat menjadi polisi, jaksa, atau hakim, baik di pengadilan umum atau khusus pengadilan HAM? Sejauh mana keterwakilan perempuan dalam kelembagaan komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang akan dibentuk di Aceh. Sebelum jauh, perlu kita tanyakan juga, adakah jaminan bagi penyelesaian seluruh kasus kejahatan berat terhadap perempuan? Sepertinya pemerintah pusat belum memberi jaminan penuh akan hal itu.

Kekhawatiran ini setidaknya berangkat dari teks pasal yang berbeda antara versi DPRD Aceh dan Depdagri. Pasal 178 Ayat 3 versi Depdagri menyebutkan, "Pemerintah membentuk Pengadilan HAM untuk Aceh."

Berbeda dengan Pasal 183 Ayat 3 versi DPRD, "Pemerintah membentuk Pengadilan HAM di Aceh paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini." Selain jelas di mana kedudukan pengadilan HAM, dimuatnya batas waktu bisa mencegah ketidakpastian di masa depan.

Begitu pula KKR. Dalam MOU Helsinki juga dalam Pasal 183 Ayat 6 versi DPRD Aceh disebutkan, "Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. dibentuk oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan memperhatikan pertimbangan DPRA." Teks pasal ini tidak termuat dalam versi Depdagri. Jika pun ada, bukan berarti kekhawatiran di atas hilang.

Belum merepresentasikan
Kita tahu, hasil seleksi anggota komisioner di Jakarta belum merepresentasikan perempuan. Dari 42 orang yang lolos seleksi, hanya enam perempuan yang lolos seleksi. Dari enam calon perempuan ini pun tidak banyak yang memiliki rekam jejak advokasi perempuan. Padahal, dalam konteks pelanggaran berat HAM di Aceh, perempuan menjadi korban paling menderita. Serangan seksual terhadap kaum perempuan menjadi senjata efektif paling lazim dalam konflik bersenjata di banyak negara.

Meski pertimbangan jender tidak diatur dalam UU Pengadilan HAM, UU KKR, ataupun RUU PA usulan DPRD dan Depdagri, kebijakan affirmative action dan pengarusutamaan jender penting diintegrasikan. Mengapa? Untuk menjamin rasa hormat kepada hak-hak dan kepentingan kaum perempuan. Ketimpangan representasi perempuan dalam tingkatan strategis telah berakibat perumusan kebijakan publik untuk Aceh tidak peka jender. Hasilnya selalu melahirkan perang yang kerap merampas harkat dan martabat perempuan yang menanggung beban konflik bersama
anak-anak.

Jika kita ingin membangun perdamaian pascakonflik, jangan sampai perempuan justru terpinggirkan. Perempuan mutlak harus terlibat menentukan segala kebijakan menuju perdamaian itu. Bukan semata karena perempuan menjadi korban dari konflik, apalagi disusul bencana alam tsunami. Namun, lebih karena perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan memberi kontribusi positif dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul di masa konflik.

 

Usman Hamid
Koordinator KontraS