Kunjungan Menlu AS: Kebijakan AS Mengancam Proses Demokrasi Di Indonesia

Pernyataan Pers
Kunjungan Menlu AS:
KEBIJAKAN AS MENGANCAM PROSES DEMOKRASI DI INDONESIA

Kunjungan Menlu AS Condoloreza Rice ke Indonesia dapat membawa komplikasi politik keamanan dan HAM di dlaam negeri yang berpotensi mengancam proses demokrasi dan keadilan.

Pertama, kunjungan ini patut dicuigai merupakan kelanjutan dari kunjungan pada bulan Februari yang gagal, dengan agenda penandatangan BIAs yang saat itu diagendakan secara tertutup. Kunjungan ini adalah bagian dari usaha AS menekan Indonesia agar menyetujui Bilateral Immunity Agreements (BIAs) yang melindungi setiap warga negara AS baik tentara, diplomat ataupun pengusaha AS yang dindikasikan terlibat kejahatan berat HAM terbebas dari jerat hukum Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Dampak Penandatangan BIAs ini tidak hanya menjadikan Indonesia “Kaki tangan” Amerika untuk melakukan politik Impunitas internasional, namun juga menjadi ancaman gagalnya ratifikasi RI terhadap statuta Roma (ICC), salah satu pilar penting dalam proses transisi dari otoritarianisme (rezim militer) ke demokrasi.

Kedua, kunjungan ini juga memberikan sinyalemen campur tangan “tekanan” langsung pada penyelesaian kasus pertambangan di Indonesia dengan perusahaan Multinasional dari AS khususnya Freeport.

Berbagai kasus yang smapai saat ini masih terjadi di Papua, dan beberapa saat lalu menguat kembali bisa dipastikan tidak akan menemukan penyelesaian yang adil bagi rakyat Papua. Apalagi, dalam konteks Freeport secara terbuka AS menerapkan kebijakan double standard dalam proses reformasi militer. Bukti nyata dalam konteks ini adalah posisi pemerintah AS dalam bisnis keamanan TNI di Freeport. Padalah maslah bisnis militer ini menjadi point dalam pembukaan kembali hubungan Militer AS-RI.

Ketiga, kedatanan Menlu AS yagn juga mengusung masalah terrorisme memberikan peluang besar bagi penyimpangan prinsip-prinsip penyelenggaraan peradilan yang adil dalam menangani masalah terrorisme di Indonesia. AS memiliki kepentingan besar pada Indonesia dalam penanganan terrorisme.

Bisa juga kunjungan ini memberikan sinyalemen dukungan kepada aparat dan institusi yang berhubungan dengan penanganan terrorisme di Indonesia untuk mengambil “langkah yang jauh” tanpa menghiraukan prinsip demokrasi, HAM dan kebebasan sipil. Misal saja mendukung BIN melakukan penangkapan langsung seperti terjadi pada kasus Umar Al Farouq dan mendukung adanya produk legal yang melegitimasi aksi semacam itu.

Berangkat dari berbagai masalah diatas, kami berbagai NGO HAM di Jakarta menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. 1.Meninta kepada Pemerintah Indoensia untuk secara terbuka menginformasikan berbagai agenda pertemuan dengan Condoleezza Rice, sehingga tidak ada agenda tersembunyi yang merugikan kepentingan publik , demokrasi, HAM dan keadilan.
  2. 2.Mendesak Pemerintah Indonesia untuk menolak BIAs, melanjutkan agenda penegakkan HAM dengan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM dan konflik pertambangan.
  3. 3.Mendesak Condolorezza Rice untuk menghormati proses transisi demokrasi, penegakan HAM dan keadilan dengan tidak ikut campur (memberi tekanan) dalam penyelesaian masalah tambang khususnya Freeport, kontra terorisme dan pemaksaan BIAs.
  4. 4.Mendesak DPR menanyakan kepada Pemerintah tentang agenda bilateral yang disepakati saat kedatanan Menlu AS.

Jakarta, 15 Maret 2006

Human Rights Working Group (HRWG)-ELSAM-Imparsial-KontraS-PBHI-Walhi