Kerusuhan Mei 1998: Kejahatan Negara Tanpa Pertanggungjawaban

Oleh Vincentia Hanni S
Delapan tahun lewat, Jakarta terbakar. Banyak orang mati terpanggang hidup-hidup, sejumlah perempuan diperkosa. Tim Gabungan Pencari Fakta mencatat, 288 korban meninggal, 101 korban luka, 92 perempuan menjadi korban perkosaan, dan ribuan rumah rusak terbakar. Kerugian fisik diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun.

Tapi, kini, delapan tahun reformasi telah lewat, seolah semua itu hendak dilupakan negara. Sengaja hendak dilupakan semua penderitaan korban dan keluarganya. Padahal, dalam memori kolektif korban atau keluarga korban, tragedi itu tak akan pernah bisa lepas dan tetap menjadi mimpi buruk mereka.

Ruyati (59), warga Penggilingan, Jakarta Timur, adalah salah satu yang tak pernah bisa menghapus mimpi buruk itu. 14 Mei 1998, Ruyati benar-benar galau.

Ia dan suaminya, Darmin (64), tak henti-henti menangis saat mendengar putra sulung mereka, Eten Karyana (32), menjadi korban terbakar hidup-hidup di Yogya Department Store. Ia semakin yakin saat melihat sebuah stasiun televisi menayangkan sebuah kartu tanda penduduk milik Eten yang masih utuh, tak terbakar.

Leman Sulaeman, menantunya, pun bergegas pergi ke RSCM. Tepat 15 Mei 1998 pukul 16.00, Leman kembali ke rumah. Leman berdiri di depan pintu rumah, membawa sebuah kardus mi instan. Leman tak berkata apa- apa, tetapi airmata deras mengalir di pipinya. Leman pun berjalan maju dan menyerahkan kardus itu kepada Darmin. Kardus pun dibuka. Isinya, abu dari jasad Eten Karyana.

Ruyati menjerit histeris, "Ya Allah, astagfirullah, kenapa bisa begini…." Ruyati pun pingsan, tak bisa menahan kesedihan yang teramat sangat.

Pasangan Ruyati-Darmin tak pernah menyangka, putra sulung yang menjadi tulang punggung keluarga itu kembali dalam bentuk abu. "Ternyata perkiraan kami salah. Saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana kesakitan yang ia alami," ujar Ruyati.

Jakarta, pada tahun 1998, memang mencekam. Di awal tahun, penculikan aktivis terjadi. Mei 1998, Jakarta semakin bertambah mencekam setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak seusai menggelar aksi damai di halaman kampus. Tanggal 13 Mei, aksi pembakaran mulai terjadi. Namun, baru 14 Mei, Jakarta benar-benar lumpuh. Hari itu merupakan puncak dari huru-hara di Jakarta, dan beberapa kota.

Sulistyo, warga Pondok Gede, punya cerita sejenis. Kala itu, Sulistyo berada di dekat Kampus UI Salemba. Semula ia ingin ke rumah saudaranya di kawasan Matraman, namun melihat keramaian di halaman Kampus UI Salemba, Sulis pun mampir ingin melihat.

Tak berapa lama, di luar pagar Kampus UI, segerombolan pemuda, beberapa di antaranya berambut cepak dan juga mengenakan pakaian salah satu ormas, berteriak mengajak mahasiswa UI keluar dan berdemonstrasi bersama. Jumlahnya belasan orang. Mahasiswa UI tak terpancing, namun "massa" itu mulai marah. Mereka melemparkan batu dan membakari ban mobil.

Mahasiswa UI ditarik ke dalam gedung Fakultas Kedokteran UI. Sementara di luar, "massa" yang jumlahnya belasan orang itu mulai memprovokasi masyarakat yang menyaksikan dari pinggir jalan. Sekelompok "massa" lain yang jumlahnya juga hanya belasan orang duduk-duduk di Jalan Dr Cipto Mangunkusumo. Mereka berorasi dan memancing rakyat sekitar.

Tidak sampai 30 menit, kedua kelompok ini bergabung dan mulai memprovokasi warga yang semula menyaksikan mereka. "Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba banyak orang yang bergabung dengan mereka. Dan, yang lebih menakjubkan, mereka membakari mobil yang ada di showroom Timor hanya dalam waktu sekitar 5 menit," cerita Sulis.

Kelompok siluman
Dilansir, enam bulan setelah peristiwa itu berlalu, penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan hal senada. TGPF menyebut dengan jelas keterlibatan provokator berpakaian preman, berambut cepak, di antaranya gondrong. Di sejumlah lokasi, mereka berkeliaran memakai seragam SMA tanpa badge OSIS, dengan wajah yang terlalu tua untuk usia siswa SMA.

Kelompok siluman itu memiliki keahlian, seperti: melempar molotov dan jago menyulut kemarahan massa. Mereka datang bergerombol, diterjunkan ke lokasi dengan mobil pikap, truk,atau sepeda motor, dan menghilang begitu kerusuhan meletup.

Kecurigaan masyarakat ke arah keterlibatan pihak lain yang bermain belum tuntas terjawab. Tapi, tidak berarti tanpa titik terang. Satu demi satu fakta mulai muncul, bahkan dari kalangan militer. Seiring dengan berjalannya waktu, kalangan militer mulai berbicara. Fakta itu mereka ungkapkan melalui buku biografi mereka. Fakta menonjol yang ditampilkan adalah: ke mana gerangan aparat keamanan, kok tiba-tiba Jakarta kosong melompong?

Wiranto vs Prabowo
Wiranto dalam bukunya, Bersaksi di Tengah Badai, yang diterbitkan tahun 2003 di halaman 32 menyebutkan soal kepergiannya ke Malang.

"Sebagaimana sudah saya katakan berkali-kali bahwa informasi yang benar janganlah diputarbalikkan. Keberangkatan saya sebagai Panglima TNI ke Malang untuk timbang terima PPRC adalah atas permintaan Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo sendiri…. Bahkan, saya juga sangat menyayangkan kalaukemudian ada yang mengatakan bahwa Letjen Prabowo Subianto yang waktu itu menjadi Panglima Kostrad telah meminta saya membatalkan acara ini dengan cara menelepon saya berkali- kali. Menurut saya, pernyataan yang mengatakan bahwa saya ditelepon berkali-kali ini rasanya aneh, sebab setiap telepon yang masuk selalu tercatat di sekretaris pribadi atau ajudan. Kenyataannya, permintaan pembatalan ini tak ada dalam catatan sekretaris pribadi atau ajudan saya…."

Argumentasi Wiranto disanggah Fadli Zon yang dikenal dekat dengan Prabowo Subianto. Dalam buku Politik Huru Hara Mei 1998, Fadli Zon di halaman 117 menulis berdasarkan wawancaranya terhadap Prabowo tanggal 26 Desember 2003, sebagai berikut:
"Ada peristiwa aneh yang terjadi pada pagi hari 14 Mei 1998. Hari itu, di tengah kerusuhan yang melanda Jakarta dan sekitarnya, Panglima ABRI Jenderal Wiranto memboyong jenderal-jenderal penting ke Malang untuk menghadiri sebuah acara peralihan Komando Pengendalian Pasukan Pemukul Reaksi Cepat… Sehari sebelumnya, Prabowo berkali- kali menghubungi Wiranto untuk membatalkan acara tersebut karena keamanan Ibu Kota dalam bahaya. Kalaupun harus pergi, Prabowo minta izin agar ia tetap berjaga-jaga berada di Jakarta membantu Pangdam Jaya mengatasi kerusuhan. Setelah kurang lebih delapan kali menghubungi Wiranto, hasilnya sama saja, Prabowo harus ikut ke Malang bersama Wiranto…."

Soal tidak adanya catatan ajudan atau sekretaris pribadi Wiranto yang membuktikan ada tidaknya telepon Prabowo kepada Wiranto, Fadli mengungkap soal itu di halaman 119 berdasarkan wawancaranya dengan Letkol Fuad Basya, sekretaris pribadi Panglima Kostrad, sebagai berikut:
"Menurut sespri Pangkostrad, Letkol Fuad Basya, Prabowo menelepon beberapa kali hingga malam tanggal 13 Mei. Ia sangat yakin bahwa Prabowo berbicara dengan Wiranto untuk penundaan acara karena perkembangan situasi Jakarta. Fuad dengan tegas mengatakan bahwa ia yangmenghubungi langsung sekretaris pribadi Panglima ABRI Letkol Muktianto. Ditelepon, Fuad mendengar Prabowo mengatakan, sebaiknya jangan meninggalkan Jakarta…."

Pelaku melenggang
Problem utama dari tidak terungkapnya tragedi kerusuhan Mei 1998 ini bukan karena tak ada bukti ataupun saksi. Alat bukti masih mungkin diperoleh, mengingat waktu masih berlalu delapan tahun lalu. Bahkan, keterangan Prabowo maupun Wiranto dalam buku mereka dapat menjadi petunjuk peristiwa itu. Hal ini untuk menjawab pertanyaan besar, ada apa di balik tragedi Mei itu?

Koordinator Kontras Usman Hamid mengatakan, peluang penyelesaian tragedi Mei masih besar, terutama dengan adanya upaya dari Komnas HAM untuk menyelidiki kasus orang hilang. Pada saat tragedi Mei terjadi terdapat tiga orang yang masih hilang, yakni Yadin Muhidin (alumnus sekolah pelayaran), Ucok Munandar Siahaan (mahasiswa), dan Abdun Naser (kontraktor). Hal ini dipermudah dengan beberapa fakta yang muncul dan bisa menjadi petunjuk terungkapnya kasus tragedi 14-15 Mei 1998 ini. "Hilangnya tiga orang ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengusut tragedi Mei 1998. Bahkan, titik terang terlihat dalam kasus hilangnya Yadin yang berdasarkan kabar terakhir ia sempat berada di sebuah pos polisi di daerah Jakarta Utara. Itu kontak terakhir," kata Usman.

Usman mengatakan, problem sulitnya pengungkapan kasus tragedi Mei 1998 ini sepenuhnya terletak pada tidak adanya kemauan presiden untuk menyelesaikan tragedi ini. Bahkan, dari tahun ke tahun terkesan kental tragedi ini "sengaja" dilupakan.

Ketidakmauan mengungkap tragedi Mei telah menambah panjang daftar kegagalan Indonesia menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM masa lalu. Walau begitu, korban dan keluarga korban tidak boleh menyerah, meski reformasi sudah delapan tahun. Memori kolektif akan kesedihan mendalam-di saat harus kehilangan secara paksa orang yang dicintai- harus tetap dibiarkan menyala.