Suaka, Siti Pandera dan Operasi Intelejen

Suaka, Siti Pandera dan Operasi Intelejen

Presiden SBY diminta untuk mengupayakan pemulangan Anike Wanggai (4 th) putri dari Siti Pandera yang kini ada di Australia bersama 42 orang penerima suaka politik. Tuntutan itu disampaikan oleh Nicolas E Wanggai, Marfin Wanggai, Jerry Wanggai dan Jack Muabuai yang semuanya mengaku sebagai keluarga Siti Pandera.

Ada hal yang menarik dari kasus ini. Pertama, hilangnya Siti Pandera. Siti Pandera dikabarkan hilang, 5 jam menjelang jadwal keberangkatan pesawat yang akan membawanya ke Jakarta pada 11 April lalu pukul 11 Wit. Sebelum hilang, Siti Pandera bersama Nicolas dan Jerry Wanggai menemui Pjs. Gubernur Papua Sodjuangon Situmorang pada 8 April 2006. Dalam pertemuan itu, Gubernur bersedia memfasilitasi keluarga Siti Pandera ke Jakarta untuk langsung menyampaikan persoalan ini kepada Presiden.

Tidak seperti orang yang hendak berpergian jauh, sekitar pukul 06.00 pada hari itu Siti Pandera menyempatkan diri menjual pinang terlebih dahulu, padahal ia harus berada di Bandara Sentani pada pukul 9 pagi. Perjalanan dari rumah Siti yang berada di wilayah Hamadi, Jayapura Selatan menuju Bandara Sentani memerlukan waktu lebih dari 1 jam. Entah kenapa, setelah kepergian pagi itu Siti Pandera menghilang seakan lenyap dimakan bumi.

Perjalanan Nicolas dkk berkunjung ke beberapa tempat di Jakarta mendapatkan liputan media massa yang besar. Liputan sudah dimulai sejak mereka berada di Bandara Sentani, Bandara Soekarno Hatta hingga ke Jakarta. Mulai dari kunjungan ke KontraS, Komnas HAM, hingga Mendagri dan Menkopolkam. Tampaknya, perjalanan ini telah disusun dengan baik. Saat melapor pada KontraS (17/4), Nicolas dkk menjelaskan telah mencari Siti namun tak satupun orang yang ditemui mengetahui keberadaannya. Mereka menduga hilangnya Siti tidak terlepas dari hasutan-hasutan yang mencegahnya ke Jakarta. Namun tak dijelaskan siapa yang dimaksud. Ketika ditanya tujuan ke Jakarta, Nicolas hanya mengatakan ingin menemui Presiden SBY dan Menteri Luar Negeri berkaitan dengan Anike Wanggai dan hilangnya Siti Pandera. Nicolas cs tak memberi jawaban jelas ketika ditanya siapa yang membawanya ke Jakarta.

Kedua, sebuah koran Australia memberitakan bahwa Siti saat ini berada di Papua Nugini. Menurut berita di koran itu, Siti menerangkan secara tertulis bahwa ia dipaksa orang yang diduga aparat intelejen militer untuk meminta anaknya dikembalikan dari Australia ke Indonesia. Karena itu Siti khawatir akan keselamatan dirinya bila kembali ke Papua. Saat dikonfirmasi, Jack Muabuai yang mengaku sebagai kakek dari Siti Pandera mengatakan, pihak keluarga menduga Siti berada di Papua dan diperkirakan berada di Arso, Kabupaten Keerom. Daerah ini sendiri tengah memanas paska penyerbuan pos keamanan Batalyon Infanteri 509 di Kampung Wembi 10 April lalu. Selain itu Jack membantah adanya rekayasa militer dalam upaya meminta Anike kembali ke Indonesia.

Terlepas dari kejanggalan diatas, sejauhmana sebenarnya peluang pemulangan Anike Wanggai ke Indonesia?

Kita tahu hingga saat ini, tuntutan pemerintah Indonesia agar Australia tidak memberikan status suaka politik kepada 43 warga Papua belum mendapat tanggapan positif. Kasus Siti Pandera bisa saja menjadi amunisi untuk kembali menekan Australia. Tapi kejanggalan diatas jelas muncul pertanyaan, apakah tuntutan pemulangan Anike Wanggai ke Indonesia murni dari Siti Pandera atau karena paksaan?

Jika benar karena paksaan maka kemudian persoalannya menjadi rumit. Sebab anggapan bahwa warga Papua mendapat tekanan atau intimidasi dari aparat kian kuat. Apalagi hingga saat ini keberadaan dan nasib Siti Pandera belum jelas. Permintaan Indonesia melalui jalur diplomatik menjadi kian sulit untuk dipenuhi. Pemerintah pasti diminta untuk menjelaskan tindakan aparat intelijen tersebut. Bukan mustahil muncul tuduhan adanya operasi intelijen dibalik keinginan keluarga agar Anike dipulangkan. Hal ini hanya akan menambah lemah posisi Indonesia di mata Internasional.

Jika dugaan ini tidak benar, maka permintaan pemulangan Anike tetap akan menemui hambatan. Hambatan itu antara lain, pertama, saat ini tidak diketahui keberadaan Siti Pandera untuk dapat mengkonfirmasi sejauhmana hubungan Siti dengan Anike Wanggai putrinya dan Junus Wanggai sebagai ayah dari Anike. Persila Yowei ibu dari Siti malah mengatakan bahwa Siti telah menikah lagi. Beberapa keterangan yang telah dilansir bahwa Siti telah berpisah dengan Anike dan Junus selama 2 tahun. Dan Anike Wanggai dibawah asuhan Junus Wanggai yang selama ini. Bila ini benar, maka secara de facto Junus telah menjalankan kewajibannya sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anaknya. Kewajiban dan tanggungjawab orang tua yang dijalankan oleh Junus telah sesuai dengan pasal 1 ayat (a) dari Undang Undang tentang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002.
 
Kedua, kerumitan polemik keluarga Wanggai bisa memakan waktu panjang. Apabila Junus dan Anike kelak mendapat suaka politik dan diterima sebagai warga negara Australia, sang anak memang berhak untuk memilih kewarganegaraan dan hak asuh mengikuti ibunya, apabila ia telah mencapai usia 18 tahun. Karena itu sebaiknya masalah keluarga ini diselesaikan. Pemerintah Indonesia dan Australia dapat memfasilitasi komunikasi dan mediasi bagi keluarga tersebut hingga ada jalan keluar terbaik. Tetapi masalahnya bukan sekedar itu. Permintaan agar Anike dipulangkan memerlukan perubahan kebijakan Australia yang masih bergantung pada kondisi-kondisi tertentu yang menjadi dasar pertimbangan Imigrasi Australia untuk mengambil putusan sebelumnya.

Terakhir, langkah terbaik perlu dilakukan pemerintah Indonesia. Bukan dengan menggunakan permintaan Nicolas dkk sebagai dasar untuk mempersoalkan pemberian visa sementara kepada 42 warga Papua oleh Imigrasi Australia. Melainkan dengan benar-benar memperbaiki keadaan tanah Papua. Pemerintah harus lebih peka dalam mengatasi masalah yang muncul di Papua dengan semaksimal mungkin mengusahakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Papua.

20 April 2006

Edwin Partogi
Ka Biro Litbang KontraS