Soeharto-Soekarno Direhabilitasi

Disiapkan Rancangan Keppres

JAKARTA – Meski belum ada keputusan resmi, tapi pemerintah mengisyaratkan dalam waktu dekat akan mengeluarkan surat penghentian penyelidikan perkara (SP3) mantan presiden Soeharto.

”Setelah itu kemungkinan besar presiden akan mengeluarkan rehabilitasi kepada Pak Harto,” kata Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, kemarin.

Bersamaan dengan itu pemerintah juga memberikan rehabilitasi kepada Soekarno karena jasanya yang sangat besar kepada Indonesia. ”Namun di sebagian masyarakat masih ada pertanyaan, apakah Bung Karno pernah melakukan kesalahan, padahal beliau bersama Bung Hatta sudah mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Proklamasi dari Pak Harto,” katanya.

Kendati demikian, pemberian rehabilitasi (pemulihan dan pengembalian harkat, martabat, dan nama baik) tersebut tidak dilakukan kepada kroni-kroni Soeharto. Kejaksaan dipersilakan melakukan pengusutan seperti dalam Tap MPR Nomor XI Tahun 1998. ”Silakan saja diusut sesuai dengan asas praduga tidak bersalah.”

Yusril yakin langkah-langkah yang diambil pemerintah tidak bertentangan dengan Tap MPR Nomor XI/1998. Sebab Tap tersebut sudah dilaksanakan, meskipun dalam perjalanan ketika kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, kejaksaan tidak dapat menghadirkan Soeharto karena yang bersangkutan dinyatakan sakit permanen.

Menerima Draf
”Selain itu berdasarkan KUHAP, jika sudah dilimpahkan dan tidak dapat menghadirkan terdakwa, jaksa dapat mengeluarkan surat penghentian tuntutan,” katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerima rancangan keputusan Presiden (Keppres) tentang rehabilitasi terhadap mantan presiden Soeharto dan Soekarno. "Drafnya sudah saya serahkan," kata Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, semalam.

Selain rancangan Keppres, Yusril juga menyerahkan berbagai dokumen yang diperlukan Presiden Yudhoyono untuk menentukan sikap pemerintah terhadap Pak Harto.

"Masih menunggu surat dari Jaksa Agung mengenai penghentian penuntutan. Mengenai pencabutan cekal sudah diserahkan," katanya.

Dokumen-dokumen yang diserahkan Yusril itu antara lain dokumen medis, keputusan Mahkaman Agung, dan VCD pengunduran diri Soeharto sebagai presiden pada 20 Mei 1998 lalu, yang di dalamnya berisi antara lain permintaan maaf Soeharto kepada rakyat Indonesia.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh usai bertemu dengan tim dokter Soeharto di Gedung Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, juga mengisyaratkan hal serupa. Menurut dia, kondisi mantan Presiden Soeharto terus dimakan usia. Karena itu dia sulit menangkap logika dan menjawab pertanyaan yang kompleks.

Dia mengatakan, pertemuan dengan tim dokter Soeharto yang diketuai Akmal Taher mengkaji hasil pemeriksaan terakhir pada tahun 2002.

"Kesimpulannya memang kalau menurut ilmu kedokteran, dengan bertambahnya umur, maka fungsi kemampuan menangkap logika, pertanyaan yang kompleks sulit diharapkan untuk pulih," kata pria yang akrab disapa Arman ini.

Meski demikian, menurut dia, tim dokter Kejagung akan berkonsultasi dengan tim dokter kepresidenan yang sedang menangani Soeharto. "Dari hasil pemeriksaan yang lalu, untuk mencerna dan menangkap pembicaraan yang terdiri dari empat kata, Pak Soeharto tidak sanggup dan tidak bisa," ujarnya.

Sementara itu, agar Soeharto memungkinkan berobat ke luar negeri, Jaksa Agung juga mengumumkan pencabutan status cekal yang diberikan kepadanya. Menurut Yusril, karena secara ilmu kedokteran kondisi Soeharto tidak mungkin pulih kembali, maka cukup alasan bagi pemerintah untuk mengeluarkan SP3 dan selanjutnya merehabilitasi Presiden RI kedua itu.

Kabar penghentian kasus Soeharto mendapat sambutan positif dari orang kuat Orde Baru tersebut. Dia menyampaikan terima kasih atas kebijakan yang diambil pemerintah. Respons itu disampaikan langsung Soeharto saat dijenguk Yusril Ihza Mahendra di RSPP Pertamina, Kamis (11/5) siang.
”Pak Harto mengatakan, sampaikan terima kasih kepada Pak SBY,” tutur pria yang pernah menjadi konseptor pidato Soeharto saat masih menjabat Presiden RI.

Yusril yang ditugasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke RSPP mengungkapkan, Soeharto yang baru selesai menjalani operasi masih terlihat lemah dan hanya bisa berbaring. ”Keadaan beliau memang sangat lemah dan hanya dapat bicara beberapa kata dengan napas yang memang susah untuk bernapas,” kata Yusril.

Keterangan serupa juga disampaikan Direktur RSPP Adji Suprajitno. Dia menjelaskan, kondisi kesehatan Soeharto berangsur pulih setelah menjalani operasi usus berberapa waktu lalu. ”Keadaan umum sadar membaik, suhu badan normal, masih batuk-batuk, fungsi saluran cerna dan ginjal juga membaik,” tandasnya.

Kendati demikian, pihaknya masih belum bisa memutuskan apakah Soeharto sudah bisa dirawat jalan oleh pihak keluarga. ”Semua masih menunggu karena masa kritisnya belum lewat lima hari sejak dilakukannya operasi usus.”

Meski Soeharto sudah menyambut positif, keluarga menanggapinya biasa-biasa saja. Mereka menyerahkan hal itu kepada pemerintah. Sikap keluarga Soeharto disampaikan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Adjie Massaid usai menjenguk penguasa Orba itu di RSPP.

"Saya sudah menanyakan masalah itu, tapi keluarga menyerahkan kepada pemerintah yang paling baik apa untuk Pak Harto," ungkap Adjie menirukan omongan dua putri Soeharto, Siti Hardiati Rukmana alias Mbak Tutut dan Mbak Titik.

Menurut kuasa hukum Soeharto, Juan Felix Tampubolon, pengampunan dari pemerintah itu wajar karena Soeharto sebenarnya tidak lagi berstatus tersangka. "Kini Soeharto bukan berstatus sebagai tersangka lagi. Soalnya berkas perkaranya sudah dipulangkan oleh pengadilan. Jadi setiap orang yang tidak ada berkas perkaranya di pengadilan bukan lagi sebagai tersangka," jelas dia.

Juan mengaku menghargai apa pun keputusan yang akan diambil oleh pemerintah terkait penyelesaian kasus Soeharto. "Tapi yang diputuskan harus sesuai dengan undang-undang dan jangan melenceng dasar hukumnya."

Terkait sikap dari keluarga Cendana, Juan menjelaskan, sejak pertama kali kasus Soeharto ingin diangkat ke pengadilan, mereka ingin sekali kasus ini cepat diputuskan. "Keluarga tidak ingin kasus ini berlarut. Biar ada kepastian bagi Pak Harto," ujar Juan.

Menurut dia, jika memang benar pemerintah tidak ingin meneruskan perkara hukum Soeharto, maka hal tersebut adalah keputusan yang tepat. Sebab saat ini kasusnya tidak bisa diteruskan dengan alasan kesehatan.

In Absentia
Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengemukakan, pengadilan in absentia untuk Soeharto tak dapat dilakukan karena tidak adanya upaya pembangkangan dengan menyembunyikan atau melarikan diri. ”Pengadilan itu (in absentia) tak dapat dilakukan karena Pak Harto bersedia untuk hadir dalam persidangan terkait kasus dakwaan korupsi,” ungkapnya Kamis kemarin usai melantik panitera di lingkungan MA, Jakarta.

Namun, karena saat ini mantan penguasa Orde Baru itu sakit, proses peradilan menjadi tertunda. ”Pak Harto kan ada di tempat dan sudah bersedia untuk hadir. Tapi beliau saat ini kan sakit,” ujarnya.

Menurut Bagir, tim medis menyatakan Soehato memiliki sakit yang permanen sehingga sulit untuk dihadirkan ke pengadilan. ”Yang dimaksud terdakwa adalah orang yang sehat sehingga dapat melakukan pembelaan dengan baik di pengadilan. Jika sakit, dikhawatirkan terdawa dapat memberikan keterangan yang justru memperberat dirinya,” tandasnya.

Pihak kejaksaan, lanjut dia, memiliki wewenang untuk menutup kasus Soeharto dengan adanya kesimpulan bahwa Soeharto masih dalam keadaan sakit. ”Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sehingga tak seorang pun dapat mempersoalkannya. Pemberian SP3, tidak mungkin dilakukan karena perkara itu sudah diajukan ke pengadilan.”

Anggota Komisi III DPR dari F-PDIP Yassona H Laoly mengungkapkan, jika Soeharto diampuni, maka seluruh aset yang dijarah penguasa Orde Baru itu harus dikembalikan pada negara.

"Setelah diamnesti atau abolisi, dibentuk tim pemburu harta kekayaan yang dikorupsi Soeharto. Ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh sampai aset dipegang kembali oleh negara," tegas dia.

Koordinator Kontras Usman Hamid di kantor Kontras, Jl Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat mengutarakan, bila pemerintah merehabilitasi Soeharto, maka hal yang sama juga pantas diberikan kepada korban kekerasan politik dan kekerasan kemanusiaan pada masa Orde Baru.

"Kalau saya menjadi presiden, saya juga akan mengeluarkan keputusan untuk merehabilitasi nama baik korban yang selama ini mendapatkan stigma politik, stigma penjahat, perusuh, ekstrem kiri, dan ekstrem kanan untuk direhabilitasi, karena mereka berhak." (A20,H27,ahm,dtc-46,48v)