Satu Tahun Bom di Tentena, Teror Bom Terus Berlanjut

Siaran Pers Bersama
KontraS †PBHI – LPS-HAM

Satu Tahun Bom di Tentena, Teror Bom Terus Berlanjut 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tidak Kekerasan (KontraS), Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mempertanyakan proses hukum atas peledakan bom di Tentena yang terjadi pada 28 Mei 2005. Ledakan High Explosive itu menewaskan 22 orang dan melukai 75 orang ternyata bukan merupakan ledakan yang terakhir. Pemboman, penemuan bom dan ancaman adanya bom terus terjadi di Sulawesi Tengah (data terlampir).

Tabulasi Pemboman, Penemuan dan Ancaman Bom di Sulawesi Tengah
Periode 28 Mei 2005 – 28 Mei 2006

NoKeterangan

Jumlah
Kasus

Korban
Laki2perempuanCampurAnak
MDLkMDLkLukaMDLuka
L/PLPL P
1Pemboman111441521211   
2Penemuan bom10         
3Ancaman bom2         
 Total 231441521211   

Diolah dari berbagai sumber, data KontraS

Paska pemboman Pasar Tentena, dalam rangka mengusut pelaku dan motif peledakan ini, jajaran mabes Polri, Polda Sulawesi Tengah dan Polres Poso menggelar operasi penangkapan terhadap sejumlah warga masyarakat yang diduga terlibat. Pada 1 Juni 2005 sejumlah aparat kepolisian menangkap 4 warga desa Pandajaya tanpa prosedur Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada saat mereka ditangkap dan diinterograsi, mereka mengalami berbagai macam bentuk penyiksaan yang melanggar UU nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, atau merendahkan martabat manusia.

Sebulan paska pemboman pasar Tentena, aparat keamanan kembali kecolongan dengan terjadinya pemboman dan penemuan bom di Poso. Pemboman, penemuan dan ancaman bom yang terbaru seringkali menutupi kasus-kasus pemboman yang sudah lama dan bahkan mengubur kasus-kasus tersebut tanpa ada pengungkapan dan proses hukum. Respon aparat keamanan yang seringkali tidak strategis malah menyebabkan timbulnya rasa tidak aman didalam masyarakat. Hal ini terbukti, setiap ada peristiwa kekerasan, akan dijawab dengan adanya penambahan jumlah aparat keamanan di Poso. Contohnya kasus
pemboman pasar Maesa di akhir tahun 2005 dijawab dengan pembuatan Komando Operasi Keamanan (Koopskam) yang langsung dibawahi Menkopolhukam Widodo AS. Pembentukan Koopskam ini, tidak dibarengi dengan evaluasi terhadap kinerja aparat keamanan yang tergabung dalam operasi atau satuan tugas lainnya, sehingga kehadiran Koopskam tidak juga membawa manfaat bagi kedamaian di Poso.

Bahkan untuk menyikapi berbagai kekerasan yang terjadi di Poso, pemerintah menjadikan Poso sebagai Polres Khusus. Dengan Polres Khusus ini, jumlah antara aparat keamanan dengan jumlah penduduk dalam komposisi yang ideal. Poso merupakan satu-satunya wilayah yang mendapatkan kekhususan dimana tiap desa memiliki minimal satu polisi desa. Namun pola seperti ini tidak menjamin apakah masyarakat merasa nyaman, karena hingga hari ini tidak ada evaluasi atas keberadaan polisi desa. 
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, KontraS, LPS-HAM dan PBHI, menuntut dan mendesak:

  1. Adanya pengusutan semua kasus kekerasan secara transparan dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sehingga masyarakat mengetahui dengan jelas adanya  penegakan hukum
  2. Segera dilakukan evaluasi terhadap (kinerja) aparat keamanan yang bertugas di Sulawesi Tengah, yakni kinerja Koopskam, Satgas Poso, Detasemen 88 Anti Teror Mabes Polri, dan seluruh aparat yang terkait agar terciptanya perdamaian di Poso.
  3. Harus segera dibentuk tim audit Independen terhadap peredaran dan penggunaan bahan peledak.
  4. Agar para tokoh agama dan tokoh masyarakat di Poso menghimbau kepada masyarakat Poso agar tidak terpancing terhadap tindakan-tindakan provokatif/kekerasan.

 

Jakarta, 29 Mei 2006
 

Usman Hamid, KontraS

Huismant Brant, LPS-HAM  

Syamsul Alam Agus, PBHI