DILEMA INDONESIA DI DEWAN HAM

DILEMA INDONESIA DI DEWAN HAM

Oleh Usman Hamid

Untuk pertama kalinya Dewan HAM PBB bersidang di Geneva, 19-31
Juni 2006. Banyak kalangan meyakini, pembentukan Dewan HAM adalah
tonggak penting dalam membangun prospek yang lebih baik bagi
penegakan HAM di dunia.

Itulah optimisme yang pernah mengemuka saat bangsa-bangsa di
dunia membentuk organisasi supranegara; Komisi HAM dan PBB. Namun,
sejarah menunjukkan kenyataan berbeda. Idealisme manusia setiap masa
diikuti kontradiksi tindakan pemenuhannya. Walhasil, piagam,
deklarasi, dan traktat PBB menjadi kesepakatan yang diabaikan,
seperti terlihat dalam penggalan sejarah dunia hingga pasca-Perang
Dunia II dan perang dingin.

Optimisme terakhir yang perlu dicatat, keadaan tahun 1990-an yang
dipandang sebagai the age of rights. Harapan dan optimisme masa itu
menguat dengan bertambahnya instrumen HAM, terbentuknya pengadilan
internasional Rwanda dan bekas Yugoslavia, ditangkapnya diktator
Cile, Augusto Pinochet, dengan jurisdiksi universal, dan berlakunya
International Criminal Court (ICC). Kini, zaman hak itu sedang
bertarung dengan perubahan politik baru pasca-11 September 2001.
Apakah perubahan baru dunia saat ini memungkinkan idealisme Dewan
HAM menjadi kenyataan? Bagaimana posisi Indonesia di Dewan HAM ke
depan?

Sebagai bagian reformasi PBB, Dewan HAM dibentuk menggantikan
Komisi HAM. Sebuah kelompok kerja membahas intensif bagaimana
memperkuat efektivitas Komisi HAM (1998-2000). Hasilnya, sebuah
laporan komprehensif tentang perbaikan Komisi HAM (2002). Perjalanan
reformasi PBB selanjutnya tertuang dalam laporan Sekjen PBB,
Strengthening the United Nations (2002), Eminent Persons Report on
Civil Society Relations (2004), High Level Panel Report Toward a More
Secure Future (2004), laporan Sekjen In Larger Freedom (Maret 2005),
Explanatory Notes (Mei 2005) dan 2005 World Summit Outcome (September
2005). Secara khusus, Komisi HAM dinilai mengalami dua masalah.
Pertama, defisit kredibilitas keanggotaan, politisasi, selektivitas,
dan standar ganda. Kedua, efisiensi dan efektivitas penegakan fungsi-
fungsi dan dalam merespons masalah HAM.

Tak mudah menjawab pertanyaan itu, apalagi mengingat reformasi
Dewan Keamanan PBB belum usai. Dalam seminar Partisipasi Aktif
Indonesia dalam Dewan HAM PBB yang diadakan Departemen Luar Negeri
RI, 14-15 Juni, saya kemukakan, Indonesia akan menghadapi dilema
dalam menegakkan integritas Dewan HAM termasuk integritas dirinya.
Dilema ini menyangkut sejauh mana Indonesia dan anggota Dewan HAM
mampu mengatasi aneka masalah pokok Komisi HAM.

Menegakkan integritas
Pertama, negara-negara anggota Dewan HAM harus mau menegakkan
prosedur HAM terhadap negara sekutu atau negaranya sendiri. Sekadar
contoh untuk Indonesia, dalam sidang ke-60 dan ke-61 Komisi HAM,
Indonesia tak mendukung resolusi menyikapi pelanggaran HAM di
Belarus, Kuba, dan Korea. Bahkan, Indonesia abstain saat resolusi
mengirim pelapor PBB hendak ditujukan kepada Amerika Serikat.
Indonesia kehilangan kesempatan untuk berani bersikap menyeimbangkan
kekuatan yang selama ini timpang. Sikap ini berbeda dengan wacana
publik domestik yang memprotes kebijakan luar negeri AS yang standar
ganda. Ini pula yang membuat aktivis HAM kerap bertentangan dengan
wakil pemerintah.

Sebagai negara terpilih dengan suara besar, Indonesia bisa
menjadi pemain kunci untuk memastikan semua prosedur HAM ditegakkan
tanpa pertimbangan politik. Ini bukan ilusi. Selain perkembangan
domestik HAM dan demokrasi, juga dalam relasi luar negeri. Contoh,
resolusi Komisi HAM terhadap Myanmar diikuti sikap konsisten
Indonesia saat Myanmar menolak membebaskan Aung San Suu Kyi. Menlu
Hassan Wirajuda menyatakan, "Sesungguhnya tak ada satu negara pun
bisa mengklaim pelanggaran HAM berat merupakan urusan domestik." Ke
depan, sikap Indonesia harus tegas, mendukung investigasi pelanggaran
HAM, dimana pun. Indonesia perlu mendukung usulan pelapor PBB menutup
kamp-kamp tahanan AS yang kian ramai diperbincangkan.

Mengakhiri politisasi

Dalam jangka panjang, Indonesia perlu mendorong Dewan HAM
meletakkan aneka masalah HAM yang amat serius (kasus Guantanamo) ke
ICC. Indonesia harus memperbaiki polarisasi negara yang terbelah ke
dalam blok-blok politik Timurdan Barat yang kini menjadi blok Utara,
seperti Eropa, Kanada, dan AS serta Selatan seperti Asia, Afrika, dan
Amerika Latin. Dinamika negara-negara akan menentukan keberhasilan
Dewan HAM.

Blok politik terlihat dalam komitmen terhadap ICC. ICC hanya
didukung dua dari 13 negara Asia, Jordania dan Korea Selatan. Amerika
Latin, tinggal dua negara yang belum mendukung ICC; Kuba dan
Guatemala. Perbedaan juga terlihat antara negara-negara Eropa yang
mendukung ICC dengan AS.

Mengakhiri blok politik mensyaratkan agar sidang diisi pembahasan
hak sipil dan politik yang kerap didukung blok barat/utara dengan hak
ekonomi, sosial dan budaya yang didukung negara-negara
sosialis/komunis. Ini diakui dan menjadi paramater keberhasilan
Indonesia di Dewan HAM. Untuk ini ada sejumlah resolusi yang dibuat
pada sidang ke-61 sebagai modal awal; resolusi HAM dan kemiskinan;
hak atas pendidikan; akses pengobatan penyakit pandemik dan lainnya.
Lepas dari capaian Komisi HAM, jadwal satu kali pertemuan Komisi
HAM setiap tahun (tiga pekan bersidang), tak cukup untuk membahas dan
merespons masalah HAM yang kompleks. Karena itu, Dewan HAM
dijadwalkan bertemu setidaknya tiga kali setahun dengan masa sidang
10 pekan. Ini harus diikuti penambahan waktu kerja anggota yang duduk
dalam Dewan HAM, dari yang paruh waktu menjadi penuh waktu. Mereka
yang berperan sebagai wakil pemerintah harus diganti dengan ahli HAM
yang independen.

Banyak hal yang harus dikemukakan, namun catatan ini diharap
mendorong Dewan HAM untuk tidak lagi didominasi pertimbangan politik
negara yang mengabaikan nasib korban pelanggaran HAM.

Usman Hamid
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)