PERINGATAN 22 TAHUN PERISTIWA TANJUNG PRIOK

PERINGATAN 22 TAHUN PERISTIWA TANJUNG PRIOK

Dua puluh dua tahun sudah peristiwa Tanjung Priok berlalu. Tim penyelidik dibentuk. Pengadilan sudah digelar. Tapi tanpa ada yang bertanggungjawab. Sementara korban tetap ada. Tetap menderita. Menanti keadilan yang tak kunjung tiba.

Hari ini, 12 September 2006, tepat 22 tahun terjadinya tragedi Tanjung Priok. Kami ingin mengajak seluruh komponen bangsa untuk mengingatnya, agar tidak menjadi bangsa yang pelupa. Kami juga ingin menegaskan, gagalnya pengadilan Priok disebabkan lemahnya kemauan politik ( good will ) pemerintah, tidak adanya perlindungan saksi dan korban.

Kesungguhan pemerintah dalam menuntut para pelaku peristiwa Priok dapat diukur dari keseriusan Jaksa Agung MA Rachman. Penyidikan berlangsung lambat, tertutup dan hasilnya tak maksimal. Tak satupun unsur masyarakat diikutsertakan. Padahal terbuka peluang bagi Jaksa Agung mengangkat anggota penyidik ad hoc dari unsur masyarakat sesuai UU No. 26/2000. KontraS bersama korban pernah mengusulkan anggota penyidik ad hoc dari unsur masyarakat, antara lain seperti Nursyahbani Katjasungkana (kini anggota DPR RI) dan MM Billah (kini anggota Komnas HAM). Namun usulan ini tak mendapat tanggapan serius dari Jaksa Agung MA Rachman. Jaksa Agung malah mengangkat seorang jaksa yang baru pensiun bernama Umar Bawazier (almarhum) sebagai penyidik ad hoc.

Di tingkat penuntutan, pembuktian Jaksa Penuntut Umum atas dakwaannya terlihat lemah. Ini terjadi akibat standar pembuktian yang digunakan jaksa. Standar internasional seharusnya menjadi aturan dan prosedur pembuktian sebuah pengadilan yang mengadili pelaku kejahatan internasional ( crimes against humanity ). Sayangnya, yang digunakan justru standar hukum acara pidana biasa, yaitu KUHAP.

Lemahnya kemauan pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa Priok juga terlihat dari lemahnya perlindungan saksi korban. Pemerintah memang membuat peraturan pemerintah perlindungan saksi dan korban pelanggaran HAM berat, tapi regulasi ini tak dapat dirasakan pelaksanaannya. Para saksi yang bersikeras agar negara menuntut pelakunya, mengalami teror dan intimidasi.

Jaksa dan Hakim tahu bahwa sebagian besar saksi korban mencabut kesaksian/BAP tidak benar. Tapi pencabutan kesaksian ini malah diterima sebagian besar hakim. Jaksa dan Hakim tahu, para saksi itu telah menerima uang, dan barang berupa motor buatan China. Pengadilan tidak jujur membedakan kesaksian yang benar dan yang palsu. Bahkan di sisi lain, seorang terdakwa malah menjadi saksi bagi terdakwa lainnya. Ini semua meringankan kepentingan terdakwa.

Kami juga kecewa dengan pemerintah yang tak mendukung para hakim. Sepanjang persidangan ada petunjuk jelas bahwa hakim tak mendapatkan dukungan administratif memadai. Pembayaran gaji tertunda, itupun dengan jumlah yang jauh dari standar ideal untuk mengadili perkara kejahatan melawan kemanusiaan. Para hakim juga tak mendapatkan fasilitas kerja yang memadai, baik berupa peralatan teknis administratif seperti komputer, disket, maupun referensi yang perlu untuk menghasilkan putusan ideal. Para hakim juga tak mendapat jaminan perlindungan yang memadai, padahal sejumlah hakim mengalami tekanan luar biasa akibat teror dan intimidasi.

Pada akhirnya, tidak ada satupun terdakwa yang diajukan jaksa penuntut umum bersalah atas kejahatan melawan kemanusiaan dalam peristiwa Tanjung Priok. Sementara pemerintah mengabaikan pemulihan moral dan material terhadap hak-hak korban yang dirugikan akibat peristiwa Tanjung Priok 1984. Walau ada putusan hakim tingkat pertama yang memberikan kompensasi, putusan itu dikalahkan oleh majelis hakim yang lebih tinggi. Di tengah absennya perlindungan saksi dan korban, kuatnya intervensi pelaku terhadap saksi melalui proses perdamaian, pemberian uang dan barang menjadi faktor yang paling mempengaruhi pembebasan pelaku, sehingga kebenaran dan keadilan gagal dihadirkan.

Meski semula memberi harapan, persidangan kasus Tanjung Priok pada akhirnya menuai kekecewaan para korban. Peradilan kita telah gagal membangun koreksi yang benar atas kesalahan rejim masa lalu melalui sistim peradilan, sekaligus juga gagal memperbaiki sistim peradilan itu sendiri. Bebasnya seluruh terdakwa yang diadili, membangun kembali sistim kekebalan lama yang dinikmati aparat militer. Sementara rakyat sipil yang menjadi korban kembali dikorbankan. Pengadilan kembali berfungsi seperti masa lalu, menemukan kembali pembenaran atas praktik anti kemanusiaan yang hidup dalam sistim bernegara ala Orde Baru. Sebuah sistem pengamanan kebijakan pemerintah yang berkuasa melalui represi, termasuk melalui monopoli atas ideologi negara yang dipaksakan kepada rakyatnya.

Jakarta, 12 September 2006

 

Ikatan Keluarga Tanjung Priok (IKAPRI), KONTRAS, IKOHI, FKKM, Paguyuban Mei 1998, PTDI, PRP, KOMPAK.