SARASEHAN DAN BUKA PUASA BERSAMA KORBAN KEKERASAN DAN PELANGGARAN HAM

Selasa, 3 oktober 2006, KontraS mengadakan Sarasehan dan Buka Puasa Bersama Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM. Rangakaian acara diisi dengan diskusi “Membedah Fakta Sejarah Korban” yang dikuti oleh Korban dan Keluarga Korban Kasus Tanjungpriok, Kasus Talangsari, Kasus Penculikan Aktivis 1996-1997, Kasus Mei 1998, Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dan Kasus 65. Hadir juga para mahasiswa dan jaringan LSM.  Bertindak sebagai  pembicara adalah Asvi Warwan Adam (Sejarawan), Zoemrotin K Soesilo (Wakil Ketua Komnas HAM), Fadjroel Rahman (Calon anggota KKR; korban Penculikan).

Sarasehan ini menyikapi terbitnya buku-buku kontroversial seputar sejarah masa lalu, seperti buku Detik-detik yang Menentukan, Politik Huru Hara Mei 1998, Bersaksi di Tengah Badai dan buku lain yang ditulis oleh para aparat keamanan atau pihak yang berkuasa. Sementara berbagai cerita yang terserak dan menjadi fakta peristiwa versi korban tidak punya tempat yang cukup dalam wacana sejarah negeri ini.

Asvi Warman, menyampaikan seputar polemik fakta baru dalam sejarah peralihan kekuasaan di Indonesia pada tahun 1998, antara Habibie, Prabowo dan Wiranto. menyusul pengakuan Habibie dalam bukunya “Detik-Detik Terahir”. Terkait usaha Prabowo untuk melakukan kudeta. Asvi menyatakan, di sisi lain  para korban kekerasan negara tetap menuliskan sejarahnya sendiri, dan anehnya, tidak satupun dari polemik yang dipertentangkan menyuarakan tentang peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM seperti Tragedi Trisakti dan Tragedi Mei yang nyata- menunjukan adanya para korban. Dan diluar itupun,  pelaku terus bergiat menerbitkan buku-buku yang berisi penyucian diri.

Zomroetin, selaku Wakil Ketua Komnas HAM menyatakan, bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, tidak melulu bergantung pada kemauan dan kerja Komnas semata. DPR dan Kejaksaan Agung adalah dua institusi yang juga amat penting perannya dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Namun yang terjadi seringkali kerja-kerja Komnas HAM ditolak dan dimentahkan oleh Kejaksaan Agung dan DPR untuk ditindaklanjuti pada makanisme berikutnya. Menurut Zomroetin, kebuntuan tersebut hanya bisa dijawab dengan goodwill Pemerintah.  dalam  hal ini adalah Presiden. Sebagi contoh, goodwill tersebut sempat terlihat pada masa Gus Dur menjabat sebagai Presiden, sehingga beberapa kasus bisa ditindaklanjuti. Hal lain yang bisa berpengaruh adalah posisi para korban di lembaga negara. Seperti keberadaan AM fatwa di DPR berpengaruh besar pada proses penuntasan kasus TanjungPriok ke Pengadilan HAM Ad Hoc.

Fadjroel Rahman, menyatakan rasa keecewaya terhadap manipulasi sejarah yang terjadi antara Habibie, Prabowo dan Wiranto. Sementara itu, suara korban terus diabaikan. KKR sebagai slah satu mekanisme –pun diakui Fadjroel belum tentu akan dapat menyerap rasa keadilan yang diinginkan para korban, mengingat kondisi politik dan hukum yang tidak kondusif. Bahkan sampai kini-pun belum diketahui sampai kapan Presiden akan mengesahkan anggota KKR, meski sudah terlambat sekian bual lamanya.

Para Korban, dengan antusias ikut berpartisipasi menyampaikan kegelisahannya seputar hasil pengadilan HAM yang selalu mengecewakan, seputar fakta 65 dan rasa keadilan yang belum juga dirasakan para korban serta seputar penolakan mereka terhadap Keberadaan KKR.