PESAN KORBAN KONFLIK ACEH

PESAN KORBAN KONFLIK ACEH

Oleh Usman Hamid

Rakyat Aceh ingin suasana baru. Mereka telah memberikan suatu
"pelajaran" demokrasi yang berharga bagi partai-partai politik dan
kita semua.

Kita tahu, hasil sementara pemilihan kepala daerah (pilkada)
langsung menempatkan pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar
kemungkinan akan terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh.
Dari Istana Negara, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memberi suara positif; menerima hasil pemilihan Aceh sebagai
komitmennya atas perdamaian.

Dari sudut lain, di sebuah acara Partai Golkar, Wakil Presiden
Jusuf Kalla juga menyambut positif dan menggarisbawahi pentingnya
pemimpin baru Aceh melanjutkan pembangunan.

Respons positif kedua petinggi pemerintahan itu diperlukan.
Selain meredam suara-suara minor yang paranoid akan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), juga menyatakan kesiapan untuk bekerja sama dengan
pemimpin baru Aceh guna melanjutkan nota perdamaian, memperbaiki
nasib rakyat Aceh agar sejahtera.

Masyarakat korban
Kita berharap program kesejahteraan sosial ini diprioritaskan
untuk masyarakat korban konflik Aceh. Sebab, merekalah yang paling
dimiskinkan oleh kekerasan, pelanggaran HAM, dan konflik bersenjata
puluhan tahun. Apa yang mereka inginkan? Dan apa yang mungkin
diberikan?

Tanggal 29 November lalu, saya menghadiri pertemuan para korban
konflik Aceh. Seorang korban, Hasan, bercerita, pada tanggal 20
Oktober 2000, anaknya diculik, lalu tewas. Saat kejadian, tempatnya
berjualan juga digerebek. Kini iat ak punya modal untuk membiayai
hidup keluarga. Pasca-Nota Kesepahaman Damai RI-GAM, Hasan membuat
proposal dan mengirimnya ke Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Ia berusaha
mencari tahu apakah proposalnya disetujui dan dicairkan agar bisa
berjualan kembali. Akan tetapi, entah mengapa, hingga kini BRA tidak
meresponsnya.

Dari cerita itu, pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
masa lalu masih relevan. Apalagi Hasan tidak sendirian. Ia berkumpul
dengan para perwakilan korban dari Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh
Jaya, Aceh Barat, Aceh Besar, Lhok Seumawe, Aceh Barat Daya, Bener
Meriah, Aceh Tengah, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Gayoe Lues, dan
Pidie.

Hari itu, para kandidat yang semula berjanji hadir, ternyata tak
muncul. Gazali Abbas mencoba untuk berbicara lewat telepon, sementara
pasangan Irwandi dan Nazar mengirim utusan.

Enam butir kontrak
Meskipun demikian, korban bersepakat untuk bisa bertemu para
calon kepala pemerintahan Aceh. Ada enam butir kontrak politik yang
ingin diajukan.

Pertama, kepala pemerintahan Aceh memastikan terbentuknya lembaga-
lembaga negara yang menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap
HAM di Aceh, yaitu membentuk Pengadilan HAM di Aceh untuk mengadili
pelanggaran HAM masa lalu membentuk KKR dan memperkuat keberadaan
Komnas HAM Aceh dengan mandat setingkat Komisi Nasional HAM.

Kedua, melaksanakan program pemulihan (reparasi) terhadap
masyarakat korban pelanggaran HAM atas seluruh penderitaan yang
mereka alami, dengan melibatkan partisipasi korban di tingkat
pengambilan kebijakan maupun pelaksanaan di lapangan.

Ketiga, melakukan perubahan dan pembenahan BRA, di antaranya
mencakup aspek legalitas mandat yang kuat; program reparasi;
restrukturisasi Forum Bersama dan Badan Pelaksana BRA dengan
melibatkan pihak-pihak yang memiliki integritas HAM dan partisipasi
korban; serta menjamin akuntabilitas dan transparansi keuangan BRA.

Keempat, akan menolak semua kebijakan militeristik atau kebijakan
darurat apa pun yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM pada masa
mendatang.

Kelima, mendorong reformasi kepolisian, sebagai polisi sipil yang
profesional dan tanpa pandang bulu dalam menjalankan fungsinya.

Keenam, mendorong reformasi TNI yang berfungsi sebagai alat
pertahanan negara semata dan tunduk di bawah otoritas pemerintahan
sipil.

Untuk tuntutan pertama dan kedua, korban memberi batas waktu
selama dua tahun. Sementara untuk tuntutan ketiga, diberi batas waktu
selama dua tahun.

Barangkali semua tuntutan ini sulit dipenuhi. Diperlukan dukungan
semua pihak dan masyarakat dunia untuk mengawal realisasi agenda itu.

Perlu KKR
Kepala pemerintahan Aceh perlu mencari terobosan, khususnya untuk
mengusut kasus-kasus masa lalu. Misalnya, bila ingin menempuh
pengadilan HAM, ia harus mampu meyakinkan DPR untuk mengusulkan
pengadilan ad hoc. Sesuai UUPA, DPR tidak bisa menolak begitu saja,
tetapi diwajibkan UUPA berkonsultasi dengan legislatif Aceh.

Adapun bila ingin membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) Aceh pascaputusan Mahkamah Konstitusi, ia ditantang mampu
merumuskan formula yang tepat sesuai dengan perangkat hukum yang ada.
Mulai dari UUPA, regulasi Qanun, hingga Keputusan Presiden. Di
Nigeria, Chad, dan Chile, yang membentuk KKR adalah presiden, tidak
lewat undang-undang.

Cara lain, merujuk pengalaman Sierra Leone dan El Salvador yang
membentuk KKR sebagai hasil perundingan damai. Ini semua mensyaratkan
adanya kemauan kedua pihak, tanpa melupakan korban sebagai pihak
ketiga.

Mengapa harus dilandasi semangat korban? Dari tuntutan itu jelas,
korban telah menjadikan pengalaman masa lalu yang traumatik (memoria
passionis) sebagai guru yang berharga. Mereka tak ingin lagi ada
pelanggaran HAM.

Mereka ingin mengungkap tabir gelap pelanggaran HAM masa lalu
Aceh, supaya terang. Bukan saja agar itu tak dilupakan, tetapi agar
sejarah kelam itu tak diulangi oleh siapa pun yang berkuasa di Aceh.
Selamat datang demokrasi Aceh!

USMAN HAMID
Komite untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan