REFLEKSI HAM

REFLEKSI HAM

Oleh Usman Hamid

Tahun ini menjadi tahun kelabu bagi korban. Tak ada satu pun yang
dihukum atas pembunuhan Munir dan atas pelanggaran HAM berat masa
lalu. Menyakitkan, kata korban.

Memang ada yang membaik. Setelah Dewan Hak Asasi Manusia (HAM),
kini Indonesia menduduki Dewan Keamanan PBB. Indonesia mendukung
Pengesahan Konvensi Antipenghilangan Paksa (Disapperance),
Disabilitas dan Indigenous People. Di ASEAN, Indonesia aktif
menyuarakan demokratisasi Myanmar dan mekanisme HAM regional.

Perdamaian Aceh bahkan berhasil menggelar pemilihan kepala daerah
langsung. Pelanggaran HAM menurun. Dengan pengawasan Misi Pemantau
Aceh (AMM), Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara RI dan GAM
berjalan baik. Namun, sampai kini, Indonesia dan AMM belum mampu
menangani pelanggaran HAM pasca-MoU.

Untuk keamanan dan penegakan hukum, Polri menertibkan senjata
api. Presiden bersikap atas merebaknya kekerasan di masyarakat
melalui pewacanaan nilai Pancasila. Hubungan antaragama membaik,
berkat prakarsa organisasi keagamaan dan kelompok perempuan yang
mempromosikan kebhinnekaan Indonesia. Rancangan Undang-Undang
Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) batal disahkan. Mahkamah
Konstitusi (MK) menghapuskan pasal karet soal penghinaan presiden.

Namun, ada banyak yang belum berubah, bahkan mundur. Refleksi
akhir tahun Kontras menyimpulkan, penegakan HAM masuk tahap genting.
HAM diserang dari segala penjuru. Bukan hanya nilai, norma, dan
aturan, tetapi juga institusi yang penopang HAM. Idealnya, HAM
menjadi etika dalam peradaban politik, ekonomi, dan hukum, tetapi
tahun ini HAM dipinggirkan oleh kepentingan elite.

Tahun impunitas
Tahun 2006 adalah tahun impunitas dan hilangnya wibawa hukum.
Negara gagal mengadili mantan Presiden Soeharto atas dugaan korupsi.
Keputusan Jaksa Agung mengeluarkan surat ketetapan penghentian
penuntutan perkara (SKP3) dan dalih kemanusiaan elite politik
pendukungnya menihilkan nilai moral dan politik dari reformasi
mahasiswa. Negara membuat kejahatan masa lalu tak memiliki arti,
hilang, dan tak terdefinisikan.

Penghentian kasus Soeharto menyempurnakan ketiadaan hukuman atas
kasus pelanggaran HAM masa lalu, dari peristiwa tahun 1965, Tanjung
Priok, Talangsari, penculikan, penembakan mahasiswa, hingga tragedi
Mei. Jaksa Agung konservatif, tidak memperjuangkan hak korban.
Yudikatif menutup akses korban dan resisten terhadap reformasi
peradilan. Legislatif hanya menabur janji-janji.

Kinerja Polri belum berubah. TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN)
menghantui lewat pewacanaan bahaya komunisme. Aparat TNI dan Polri
berkelahi, bahkan saat rakyat memerlukan perlindungannya. TNI
resisten terhadap penegakan HAM. Sejumlah mantan petinggi militer
yang terlindungi, kini ikut menunjuk hidung Pemerintah.

Politik Presiden belum menjadi politik HAM sejati. Proses
perdamaian Aceh cenderung menolak partisipasi korban konflik guna
mendapat keadilan. Bagi masyarakat Poso, tahun 2006 merupakan tahun
terberat setelah diteror 68 kali dengan aksi peledakan bom hingga
penembak misterius. Ketegangan dipicu lewat simbol atau hasutan SARA.

Penanganan Papua hanya berputar-putar. Polemik Freeport dalam
skandal pembayaran jasa keamanan ilegal, pencemaranlingkungan, hingga
penembakan warga sipil luput dari perhatian.

Rencana merevisi UU Otonomi Khusus malah mengundang kecurigaan
dihapusnya pasal-pasal krusial, dari pembentukan partai lokal yang
belum terwujud, pengadilan HAM hingga Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR). Presiden gamang terhadap RUU Rahasia Negara,
Intelijen Negara, dan Peradilan Militer. Legislatif gagal mengesahkan
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).

Digilas modal
HAM wong cilik digilas kepentingan modal. Penguasaan akses
ekonomi memicu militerisme aparat pemerintah daerah, menggusur pasar
tradisional, pemukim marjinal, hingga mengklaim tanah rakyat. Alih-
alih menjamin upah buruh, pedagang kaki lima/asongan, rumah murah,
malah memaksa mereka terjerembab kemiskinan. Bukan hanya melanggar
HAM, tetapi memustahilkan negara menyelesaikan kemiskinan. Ini harus
dihentikan, apalagi saat perut rakyat kosong.

HAM diserang pewacanaan bahaya komunisme. Banyak petinggi militer
dan intelijen melempar wacana bahaya komunisme dan kecurigaan atas
aktivitas korban, buruh, dan rakyat miskin sebagai kebangkitan PKI.
Ini menodai kebebasan, memicu prasangka bahkan pertikaian horizontal.
Bukan lagi melukai integritas personal warga, tetapi ingin merusak
fundamen kenegaraan-kewargaan.

HAM perlu dukungan institusi reformasi, tetapi wibawa dan
keberadaannya digerogoti. Komisi HAM didelegitimasi. Komisi Yudisial
dipangkas, padahal diperlukan guna membersihkan MA. KKR diaborsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa Pengadilan Tipikor. Komisi
Penyiaran Independen dibayangi Depkominfo. Komisi Ombudsman, Komisi
Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan diacuhkan. Komisi Pemilihan Umum
(KPU) terus menjadi sasaran tembak. Lalu Unit Kerja Presiden untuk
Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) "diendapkan".

HAM dibatasi sekadar wacana dan retorika. HAM gagal dijalankan
sebagai agenda politik kenegaraan. Politik negara dikorupsi kuasa
modal, dirusak oleh kultur militerisme dan fanatisisme ideologis-
sektarian. Problematika ini menjadi kerikil sepatu pemerintah, atau
menjadi gunung tinggi yang menghentikan langkah kekuasaannya. Karena
itu, harus berubah.

Usman Hamid

Komite untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan