Pembunuhan Munir: PT Garuda Dinilai Langgar PP

Jakarta, Kompas – PT Garuda Indonesia dinilai telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 dan konvensi internasional tentang penerbangan. Hal tersebut terlihat dari keberadaan Pollycarpus Budihari Priyanto dalam pesawat GA 974 Jakarta-Singapura yang juga ditumpangi Munir. Pollycarpus menumpang pesawat tersebut secara melawan hukum karena terbukti menggunakan surat palsu.

Selain itu, Suciwati melalui kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menilai tindakan tergugat lain, Brahmani Hartati selaku purser dan Subur M Taufik selaku pemimpin penerbangan, melanggar Basic Operation Manual (BOM). Mengacu pada BOM, Brahmani dan Subur M Taufik berwenang menghentikan atau menolak keberadaan Pollycarpus meski yang bersangkutan telah mengantongi izin pihak manajemen Garuda.

Hal tersebut diungkapkan kuasa hukum Suciwati dalam replik yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (11/1). Sidang dipimpin oleh Andriani Nurdin.

Dalam repliknya, kuasa hukum Suciwati menilai terdapat sejumlah fakta hukum yang mendasari gugatan perdata mereka. Di antaranya adalah PP No 3/2001, BOM, dan Konvensi Warsawa.

PP No 3/2001 menyatakan, sebuah penerbangan harus aman dan atau terbebas dari tindakan melawan hukum. Namun, faktanya di dalam penerbangan GA 974 yang dipimpin oleh Subur M Taufik (tergugat XI) terdapat Pollycarpus (tergugat V) selaku ekstra kru. Pollycarpus mengantongi surat tugas dari manajemen PT Garuda, tetapi Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya menyatakan bahwa surat tersebut diperoleh secara melawan hukum.

Munir meninggal dalam perjalanan Singapura-Belanda. Kematian Munir disebabkan racun arsenik. Suciwati dalam gugatannya menilai masuknya racun ke tubuh Munir merupakan kelalaian jika tidak dapat dibuktikan sebagai pembunuhan berencana. Garuda seharusnya mengawasi makanan dan minuman untuk penumpang.

Dalam sidang sebelumnya, PT Garuda Indonesia, Indra Setiawan, Pollycarpus Budihari Priyanto, Yetti Susmiati, dan Oedi Irianto mengajukan gugatan rekonvensi. Mereka merasa dirugikan karena nama baiknya dicemarkan. (ana)