SELAMAT DATANG KONVENSI ORANG HILANG!

SELAMAT DATANG KONVENSI ORANG HILANG!

Di tengah keengganan Jaksa Agung melanjutkan hasil penyelidikan
Komnas HAM atas kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1997-
1998, PBB membawa kabar gembira.

Setelah bertahun-tahun diperjuangkan, PBB mengesahkan perangkat
hukum internasional yang baru, Konvensi Perlindungan Semua Orang dari
Penghilangan Paksa, disingkat Konvensi Antipenghilangan Paksa atau
Konvensi Orang Hilang. Di Amerika Latin, orang hilang disebut
desaparecidos.

Cendekiawan, aktivis, dan keluarga orang-orang hilang menyambut
positif. Disahkan 20 Desember 2006, dinilai sebagai hari kemenangan
dari cinta kepada mereka yang hilang. Tetapi perjuangan belum selesai!

Penghilangan paksa

Praktik penghilangan paksa adalah fenomena dunia. Kejahatan ini
menjadi rutinitas politik rezim Hitler yang terpilih lewat pemilu
demokratis. Lawan-lawan politiknya dihilangkan secara paksa. Begitu
pula dengan rezim-rezim pemerintahan yang lahir dari kudeta.

Praktik ini lazim terjadi dalam negara-negara otoriter dan
totaliter. Bukan hanya sebagai alat kontrol bagi kaum oposisi atau
political dissenter, tetapi juga dalam perebutan akses sumber daya
alam, seperti pertambangan, perkebunan, dan basis konflik ekonomi
politik lain.

Atmosfernya bisa berupa konflik bersenjata, counter insurgency,
atau operasi rahasia intelijen. Pelakunya bisa angkatan bersenjata
suatu negara, bisa kekuatan nonnegara yang memberontak. Bukan hanya
di Amerika Latin seperti selama ini ramai dibicarakan, tetapi juga di
Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia. Inilah yang terjadi sepanjang
sejarah peradaban manusia.

Di Indonesia, praktik penghilangan paksa sudah lama terjadi,
bukan sejak penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998.
Merunut ke belakang, praktik ini terjadi sejak peristiwa 1965;
disusul peristiwa Tanjung Priok 1984; Talangsari, Lampung, 1989; atau
yang terjadi di Aceh; Irian Jaya; dan Timor Timur.

Apa arti penting konvensi ini? Asian Federation Against
Involuntary Disappearances (AFAD) yang berbasis di Manila
mengemukakan, ada tiga hal pokok mengapa konvensi ini amat diperlukan.

Melindungi manusia

Konvensi ini mengisi kekurangan sistem hukum internasional dalam
melindungi manusia-di mana pun-dari penghilangan paksa. Memang, ada
badan-badan internasional yang bisa dipakai, seperti United Nations
Working Group on Enforced or Involuntary Disappearance (UNWGEID),
International Criminal Court (ICC), dan Human Rights Committee (HRC),
pemantau Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Namun, mandat badan-badan
ini dinilai terbatas untuk kasus penghilangan paksa.

Pertama, UNWGEID hanya memiliki mandat kemanusiaan, yang hanya
bisa meminta negara anggota PBB mengambil langkah tertentu tanpa bisa
menyelidiki, apalagi menghukum negara, atau memerintahkannya untuk
memberi reparasi bagi korban.

Kedua, ICC adalah perjanjian hukum pidana yang menguasakan
tanggung jawab pidana individu bagi kejahatan kemanusiaan, genosida,
dan kejahatan perang. Badan ini hanya bisa mengintervensi pelaku
kejahatan internasional bila negaranya telah meratifikasi Statuta
Roma 1998. Banyak negara termasuk Indonesia belum meratifikasi. ICC
hanya bisa menggelar pengadilan dengan tiga syarat: atas permintaan
jaksa penuntut, atas permintaan negara yang telah meratifikasi: atau
atas permintaan Dewan Keamanan PBB.

Ketiga, HRC hanya Badan Pemantau Kovenan Hak-hak sipil dan
Politik. Kompetensinya dibatasi untuk negara-negara yang meratifikasi
kovenan berikut protokol tambahannya.

Selain melengkapi hukum internasional, kita bisa mengambil
manfaat dari keberadaan konvensi, misalnya memakai substansi konvensi
sebagai rujukan revisi KUHP yang hingga kini tak mengatur delik
penghilangan paksa. Ini perlu bagi pencegahan terulangnya
penghilangan paksa di masa depan. Siapapun yang berkuasa.

Konvensi ini adalah alat perjuangan baru melawan penghilangan
paksa. Paradoksnya, masa depan dan efektivitas konvensi ditentukan
oleh politik HAM dari negara anggota PBB. Selamat datang Konvensi
Orang Hilang !

Selamat Datang Konvensi Orang Hilang!

Usman Hamid*

Di tengah keengganan Jaksa Agung melanjutkan hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1997-1998, PBB membawa kabar gembira.

Setelah bertahun-tahun diperjuangkan, PBB mengesahkan perangkat hukum internasional yang baru, Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, disingkat Konvensi Antipenghilangan Paksa atau Konvensi Orang Hilang. Di Amerika Latin, orang hilang disebut desaparecidos.

Cendekiawan, aktivis, dan keluarga orang-orang hilang menyambut positif. Disahkan 20 Desember 2006, dinilai sebagai hari kemenangan dari cinta kepada mereka yang hilang. Tetapi perjuangan belum selesai!

Penghilangan paksa

Praktik penghilangan paksa adalah fenomena dunia. Kejahatan ini menjadi rutinitas politik rezim Hitler yang terpilih lewat pemilu demokratis. Lawan-lawan politiknya dihilangkan secara paksa. Begitu pula dengan rezim-rezim pemerintahan yang lahir dari kudeta.

Praktik ini lazim terjadi dalam negara-negara otoriter dan totaliter. Bukan hanya sebagai alat kontrol bagi kaum oposisi atau political dissenter, tetapi juga dalam perebutan akses sumber daya alam, seperti pertambangan, perkebunan, dan basis konflik ekonomi politik lain.

Atmosfernya bisa berupa konflik bersenjata, counter insurgency, atau operasi rahasia intelijen. Pelakunya bisa angkatan bersenjata suatu negara, bisa kekuatan nonnegara yang memberontak. Bukan hanya di Amerika Latin seperti selama ini ramai dibicarakan, tetapi juga di Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia. Inilah yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia.

Di Indonesia, praktik penghilangan paksa sudah lama terjadi, bukan sejak penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998. Merunut ke belakang, praktik ini terjadi sejak peristiwa 1965; disusul peristiwa Tanjung Priok 1984; Talangsari, Lampung, 1989; atau yang terjadi di Aceh; Irian Jaya; dan Timor Timur.

Apa arti penting konvensi ini? Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) yang berbasis di Manila mengemukakan, ada tiga hal pokok mengapa konvensi ini amat diperlukan.

Melindungi manusia

Konvensi ini mengisi kekurangan sistem hukum internasional dalam melindungi manusia—di mana pun—dari penghilangan paksa. Memang, ada badan-badan internasional yang bisa dipakai, seperti United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearance (UNWGEID), International Criminal Court (ICC), dan Human Rights Committee (HRC), pemantau Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Namun, mandat badan-badan ini dinilai terbatas untuk kasus penghilangan paksa.

Pertama, UNWGEID hanya memiliki mandat kemanusiaan, yang hanya bisa meminta negara anggota PBB mengambil langkah tertentu tanpa bisa menyelidiki, apalagi menghukum negara, atau memerintahkannya untuk memberi reparasi bagi korban.

Kedua, ICC adalah perjanjian hukum pidana yang menguasakan tanggung jawab pidana individu bagi kejahatan kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang. Badan ini hanya bisa mengintervensi pelaku kejahatan internasional bila negaranya telah meratifikasi Statuta Roma 1998. Banyak negara termasuk Indonesia belum meratifikasi. ICC hanya bisa menggelar pengadilan dengan tiga syarat: atas permintaan jaksa penuntut, atas permintaan negara yang telah meratifikasi: atau atas permintaan Dewan Keamanan PBB.

Ketiga, HRC hanya Badan Pemantau Kovenan Hak-hak sipil dan Politik. Kompetensinya dibatasi untuk negara-negara yang meratifikasi kovenan berikut protokol tambahannya.

Selain melengkapi hukum internasional, kita bisa mengambil manfaat dari keberadaan konvensi, misalnya memakai substansi konvensi sebagai rujukan revisi KUHP yang hingga kini tak mengatur delik penghilangan paksa. Ini perlu bagi pencegahan terulangnya penghilangan paksa di masa depan. Siapapun yang berkuasa.

Konvensi ini adalah alat perjuangan baru melawan penghilangan paksa. Paradoksnya, masa depan dan efektivitas konvensi ditentukan oleh politik HAM dari negara anggota PBB. Selamat datang Konvensi Orang Hilang !

*Usman Hamid Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)