18 Tahun Talangsari

HARI ini kasus Talangsari diperingati di Lapangan Sidoarjo, Lampung Timur. Selain tablig akbar, ada diskusi publik yang digelar untuk memaknai peristiwa berdarah pada tanggal 6–7 Februari 1989 itu. Ada pembicara dari Kontras (Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), anggota DPR, serta LBH, dan kesaksian korban.

Diskusi itu mengingatkan kita bahwa ada soal besar yang belum selesai di Talangsari. Sebuah tragedi kemanusiaan yang–sesuai dengan data Kontras dan LBH Bandar Lampung–telah menewaskan 47 warga, 5 diculik, 88 hilang, 36 disiksa, 23 diseret ke "pengadilan rekayasa", dan 173 ditangkap secara sewenang-wenang.

Momentum itu juga menyadarkan kita, betapa selama 18 tahun para pelanggar HAM di Talangsari baru sekadar "diadili" di forum-forum diskusi. Sementara proses pengadilan HAM itu sendiri masih jauh di awang-awang.

Dalam kasus Talangsari, kita dihadapkan pada dua hal, yakni soal hukum dan kemanusiaan. Tidak terbantahkan lagi bahwa masalah hukum harus diselesaikan lewat proses hukum. Sebab, semua orang sama di mata hukum. Itu sebabnya mengapa orang-orang Warsidi diadili karena tindakan mereka telah melanggar hukum positif kita.

Akan tetapi, kita juga sepaham kalau penyerbuan jemaah Warsidi di Umbul Cihideung, Way Jepara, melanggar HAM (hak asasi manusia) maka kasus itu dan para pelakunya diseret ke pengadilan HAM. Tentu saja tidak adil jika warga Talangsari dijebloskan ke penjara, sementara para pelanggar HAM dalam kasus itu tidak tersentuh.

Namun, kenyataan yang terjadi, membawa kasus Talangsari ke pengadilan HAM seperti berhadapan dengan tembok tebal berlapis-lapis. Semua jalan seolah buntu. Sudah tak terbilang upaya yang dilakukan, baik jalur hukum maupun pendekatan politik.

Komnas HAM, yang diharapkan mampu menerobos tembok itu, juga seolah tidak berdaya. Dari tahun 2001 sampai 2005, misalnya, komisi itu sampai tiga kali membentuk tim penyelidik, tapi hasilnya masih jauh dari harapan.

Di luar hukum, pada kasus ini kita juga melihat soal-soal kemanusiaan. Banyak anak yang kehilangan ayah, ibu, atau keduanya. Atau, istri yang kehilangan suami dan saudara. Belum lagi trauma masa lalu dan stigma anggota GPK (gerakan pengacau keamanan) yang membuat mereka terasing dari pergaulan masyarakat.

Pendekatan kemanusiaan pula yang mendorong korban Talangsari untuk islah atau berdamai pada tahun 2000. Bermaafan setelah berselisih memang sebuah sikap yang mulia dan diamanahkan semua agama. Maka itu, kedua belah pihak saling memaafkan dan setuju mengubur masa lalu. Sebagai kompensasinya, korban diimingi modal sehingga bisa hidup lebih layak.

Tapi rupanya jalan islah belum menyelesaikan persoalan. Masalahnya adalah tidak semua korban ikut berislah. Kelompok yang menolak islah ini tetap bersikukuh agar penyerbuan warga Talangsari diproses hukum, sehingga pelanggaran HAM dan skenario dibalik kasus Talangsari bisa diungkap secara tuntas.

Peristiwa Talangsari hanya satu dari sederet pelanggaran HAM di Indonesia. Kasus lain di antaranya pembunuhan pejuang HAM Munir, kasus Tanjungpriok, penculikan sejumlah aktivis tahun 1998, atau penembakan mahasiswa Trisakti.

Mengadili kasus Talangsari di pengadilan HAM bukan sesuatu yang mustahil. Kita memiliki perangkat hukum, aparatur, dan badan peradilan. Locus delicti-nya juga ada di sekitar kita, bukan di negeri mimpi yang berada di antah-berantah.

Tentu saja prosesnya harus sesuai dengan aturan dan lembaga resmi negara. Kita tentu akan menolak soal-soal hukum di Indonesia dicampuri pihak asing, dengan alasan apa pun. Maka persoalannya tinggal apakah pemerintah punya political will untuk membawa kasus Talangsari dan pelanggaran HAM lainnya ke pengadilan?