Kontras Sesalkan Lambatnya Penerbitan Perpres Pelaksanaan UU TNI

Jakarta-RoL–Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyesalkan lambatnya pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) pelaksanaan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, sehingga mempersulit penghapusan bisnis militer.

"Akibat keterlambatan itu, mempersulit upaya penghapusan bisnis militer sesuai target pada 2009," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras Usman Hamid dalam konferensi pers di kantor Kontras Jakarta, Jumat.

Usman menyatakan, dengan lambatnya Perpres tersebut selain menghambat reformasi TNI, juga dapat menghambat upaya penegakan HAM, karena semakin lama Pemerintah menerbitkan Perpres, maka semakin sulit untuk menarik militer dari bisnis dan keterlibatan kasus pelanggaran HAM.

Kontras menilai penelitian Human Rights Watch berhasil menggugurkan alasan pembenar bagi praktek bisnis militer di Indonesia bahwa anggaran resmi pemerintah hanya cukup untuk memenuhi sebagian kecil kebutuhan militer.

"Tidak benar bisnis militer menciptakan pendapatan yang sebagian besarnya untuk mengisi kesenjangan anggaran dan tidak benar juga bahwa keuntungan-keuntungan dari bisnis-bisnis militer sebagian besar digunakan untuk kesejahteraan pasukan-pasukan tentara," ujarnya.

Penelitian menunjukkan bahwa bisnis kalangan bersenjata justru mengakibatkan ongkos ekonomi-politik dan Hak Asasi Manusia yang sangat mahal dan berkontribusi terhadap lunturnya profesionalisme, meningkatnya kekerasan militer, dan sulitnya TNI tunduk pada otoritas politik sipil.

Selama ini Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI menggambarkan betapa seluruh pembiayaan yang dibutuhkan TNI tidak pernah dapat dipenuhi negara dengan maksimal. Angka yang dikemukakan selalu berkisar 25-30 persen dari total anggaran yang bisa dipenuhi negara, dan dari nilai tersebut sekitar 70 persen terserap untuk pembiayaan prajurit dan "overhead" kantor.

Kemudian, selebihnya habis untuk pembiayaan perawatan peralatan dan fasilitas militer, sehingga dengan demikian TNI berinisiatif memenuhinya dengan mencari sumber-sumber pemasukan lain melalui bisnis.

Faktanya, tambah Usman, dengan minimnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan TNI, dapat dicurigai bahwa statistik yang disampaikan bukanlah angka yang sebenarnya.

"Tidak pernah diungkap sumber-sumber pembiayaan pemerintah lainnya di luar anggaran pertahanan, misalnya dana-dana non-budgeter untuk keamanan (pemilu, even internasional, dll), dana-dana operasi militer dan dana-dana penanganan bencana alam," katanya.

Statistik yang disampaikan pejabat militer juga tidak menyebutkan sumber-sumber pembiayaan dari perusahaan-perusahaan yang mengunakan jasa keamanan TNI, bantuan-bantuan militer luar negeri, meskipun berupa bantuan, subsidi atau dukungan peralatan yang juga patut dianggap sebagai sumber pembiayaan TNI diluar anggaran pertahanan atau pendapatan tambahan. antara/pur