DEBAT KUSIR PENGADILAN HAM AD HOC

DEBAT KUSIR PENGADILAN HAM AD HOC

Komisi III DPR kembali membahas soal penghilangan orang. Arahnya,
Jaksa Agung diminta menyidik tanpa menunggu rekomendasi Pengadilan
HAM Ad Hoc.

Entah berapa kali lagi DPR, Jaksa Agung, Komnas HAM harus
berdebat seputar Pengadilan HAM Ad Hoc. Selain buang waktu, biaya,
dan tenaga, cara debat ini memicu ketidakpastian hukum. Bagi mereka
yang asal berdebat, makin banyak sidang makin baik. Tetapi bagi
korban yang menyaksikan, ini debat kusir, karena yang dibahas itu-itu
saja.

Posisi yang berdebat pun tak banyak berubah. Komnas HAM merasa
tugasnya telah selesai. Jaksa Agung menolak menyidik hasil Komnas HAM
sebelum DPR mengusulkan Pengadilan HAM Ad Hoc. Di depan Komnas HAM,
Komisi III meminta Jaksa Agung langsung menyidik. Di depan Jaksa
Agung, lain lagi.

Debat menjadi ngalor-ngidul, nyaris tanpa kemajuan. Ketemu lagi,
debat lagi. Dan tak terasa, tahun berganti, debat masih terus
berlangsung. Sampai kapan?

Pansus Trisaksi
Pemicu polemik ini adalah Pansus DPR untuk Trisakti, Semanggi I,
Semanggi II (TSS). Ketua Pansus Panda Nababan membacakan hasil
voting, "tidak ditemukan pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti,
Semanggi I dan II. Karena itu, pansus merekomendasikan penyelesaian
melalui peradilan umum/militer". Paripurna DPR setuju.
Kontroversial, lalu mengendap.

Satu tahun kemudian, 22 April 2002, Komnas HAM menyerahkan
laporan penyelidikan TSS ke Jaksa Agung. Sebulan kemudian, Kejagung
meminta Komnas HAM memperbaiki laporan. Alasannya, transkrip
wawancara harus dijadikan BAP, berkas kasus dipisahkan hingga meminta
penyelidik disumpah jabatan.

Kecuali sumpah jabatan, kekurangan itu diakui Sekjen Komnas HAM
Asmara Nababan. Fungsi penyelidikan tak mewajibkan pembuatan BAP.
Solusinya, lanjut Ketua penyelidik Albert Hasibuan, kekurangan itu
disempurnakan Jaksa Agung. Di sudut lain, aktivis HAM Munir menilai
pemisahan berkas terlalu politis, menghapus tanggung jawab komando.

Jaksa Agung ngotot. AkhirnyaKomnas HAM memperbaiki dan
menyerahkan lagi ke Jaksa Agung. Di luar dugaan, pada 13 Agustus
2002, berkas penyelidikan dikembalikan lagi. Kali ini Kejagung
memasalahkan sumpah penyelidik dan urgensi penyelidikan, sambil
menyatakan kasus Trisakti dibawa ke Mahkamah Militer. Kasus Semanggi
I-II masih dalam proses Polisi Militer.

Pengembalian kedua memicu kemarahan keluarga korban. Mereka
menduga ada upaya melupakan mahasiswa korban. Firman Djaya Daeli dari
Komisi II DPR menilai, penyempurnaan penyelidikan merupakan tugas
Kejagung bukan Komnas HAM. Firman mengingatkan Kejagung agar jangan
terjebak skenario pihak-pihak yang ingin memutihkan kasus TSS.

Khawatir dikembalikan lagi, rapat paripurna Komnas HAM, 3
September 2002, memutuskan menolak permintaan Jaksa Agung. Alasannya,
sumpah jabatan penyelidik tak dikenal undang-undang. Sesuai KUHAP,
penyelidikan wajib ditindaklanjuti Jaksa Agung selaku penyidik.

Seolah tak mau disalahkan, Kejagung menuding sikap Komnas HAM
hanya akan membuat kasus ini terkatung-katung. Kejagungmenilai sikap
itu melanggar Undang-Undang Pengadilan HAM. Komnas HAM pun
menyatakan, penyelesaian kasus ini bergantung pada kemauan politik
Presiden Megawati.

Kebuntuan sempat berakhir saat Kejagung berjanji menyempurnakan
penyelidikan melalui tim ad hoc pimpinan jaksa Pangaribuan,
melibatkan penyelidik. Di luar dugaan, 30 Oktober 2002, Kejagung
menolak lagi.

Jangan diam
Sampai di sini, diyakini banyak pembaca puyeng! Tetapi kita tak
boleh diam. Ini pekerjaan rumah Indonesia dengan masa lalunya. Jika
untuk ketiga peristiwa ini saja berputar-putar, kapan demokrasi kita
berkeadilan?

Polemik itu kini terjadi pada kasus penghilangan aktivis 1997-
1998. Bedanya, kini perdebatan di tengah nasib dan keberadaan mereka
terancam. Karena itu, sebaiknya dihentikan. Solusi harus ditemukan.
Kita telah berkomitmen terhadap keadilan, tak mungkin berputar-putar
apalagi mundur.