hak asasi manusia: Komnas HAM Membutuhkan Pejuang

B Josie Susilo Hardianto

Deret kepedihan menjadi litani harian. Tangis kehilangan kerabat dan anak menjadi untaian mazmur ratapan, dan itu seolah masih belum cukup. Setiap hari rasa tak aman makin menggerus sehingga menghilangkan harapan….

Lewat sebuah layanan pesan pendek, seorang teman menuliskan kegelisahannya tentang beberapa peristiwa kecelakaan transportasi di Tanah Air. Dalam kesempatan lain, ia mempertanyakan melonjaknya harga beras dan penggusuran yang menurutnya semena-mena atas pedagang sebuah pasar di Padang, Sumatera Barat, juga penghuni gubuk liar di kolong jembatan Kali Jodoh, Jakarta.

Dan kepedihan itu tampaknya masih belum cukup ketika setiap hari berita menyuguhkan warga yang mengantre beras serta mengerang kesakitan karena demam berdarah dan flu burung. Kematian seolah menjadi biasa dan setiap saat tanpa disadari makin mengerdilkan hati.

Sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Hotman Siahaan, melihat persoalan itu sebagai wujud lemahnya karakter kepemimpinan di Indonesia. Elite negara, baik itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sibuk dengan persoalan masing-masing.

Ironi

Dalam era yang dinilai makin demokratis, rakyat justru makin terpuruk dalam kemelaratan. Ada fakta busung lapar, kelaparan, serta sulit memperoleh pendidikan dan pekerjaan. Buruh dan petani diatur melalui berbagai undang-undang demi melayani investor asing. Ketergantungan pada modal asing semakin membuat ekonomi rakyat terpuruk.

Jaminan pekerjaan menjadi makin terbatas karena logika kapital tentang penumpukan modal dan pemangkasan biaya membuat pekerja dianggap tidak lebih dari sebuah komponen produksi, bagian dari mesin berjalan yang diupah menurut banyak atau sedikitnya barang yang dihasilkan. Ada proses dehumanisasi pekerja.

Lihat saja wajah mereka ketika sore hari meninggalkan pabrik. Wajah yang lelah, wajah yang pada esok hari tidak menemukan sesuatu yang baru dari rutinitas kerja yang menafikan karsa mereka. Bagi dosen pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Cornelis Lay, lemahnya pemerintahan menunjukkan ada persoalan serius dalam etika standar pengelolaan negara. Ia melihat ada persoalan teknis pertanggungjawaban yang tidak berjalan.

Kecelakaan terus terjadi, jemaah haji telantar, dan tidak ada satu pun yang bertanggung jawab atas persoalan itu. "Semua menjadi kabur dan tidak pernah tuntas," kata Cornelis.

Hal itu menyebabkan persoalan serupa akan terus terjadi dan tidak akan pernah ada penyelesaian substantif. Tidak ada pergerakan yang mampu mengoordinasikan energi nasional untuk mengelola potensi dan menyelesaikan persoalan yang juga substantif.

Perhatian justru diberikan kepada persoalan, seperti silang pendapat antara Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Seolah tidak ada masalah lain yang lebih penting daripada itu. Kondisi ini menjadikan kinerja pemerintah tak produktif dan menyebabkan masyarakat terbelah dalam kutub- kutub serta melahirkan kebijakan yang tidak menyentuh kebutuhan publik," kata Cornelis.

Berbagai kecelakaan membuat rakyat kehilangan jaminan rasa aman. Kapitalisasi yang masif menyebabkan banyak orang kehilangan jaminan kerja, bahkan kemanusiaan mereka. Kemiskinan membuat rakyat kehilangan jaminan kehidupan dan kesulitan terhadap akses pangan.

Seleksi Komnas HAM

Dalam latar sosial, ekonomi, dan politik seperti itulah, seleksi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan nilai strategisnya. Akankah Komnas HAM baru akan mampu menjadi lembaga yang membela hak-hak asasi rakyat?

Lepas dari kepentingan politik Presiden Soeharto kala itu, keputusannya membentuk Komnas HAM patut dihargai. Keputusan itu setidaknya membuka peluang bagi para korban kekerasan politik kala itu mencari jawaban atas kasus yang mereka alami. Waktu terus berjalan dan tantangan yang dihadapi Komnas HAM makin beragam. Kekerasan tidak lagi hanya ada dalam bentuk penyiksaan, penghilangan paksa, pembunuhan, dan penyerangan.

Kekerasan telah mewujud juga dalam bentuk kelaparan, kemelaratan, ketiadaan harapan akan masa depan, bahkan saat ini kekerasan ternyata juga mewujud dalam produk hukum yang cenderung eksklusif serta sikap politisi yang enggan memikirkan perjuangan hak asasi manusia. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin mencontohkan ada peraturan daerah yang melarang seseorang dari suatu daerah bekerja di daerah tertentu.

Tentu saja kondisi itu tidak sejalan dengan kewajiban Indonesia yang telah mengaksesi dua Kovenan Internasional, yaitu Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966) yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 serta Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966) yang diratifikasi melalui UU No 11/2005.

Tantangan itu makin menunjukkan persoalan hak asasi manusia tidak lagi hanya ada pada tingkat nasional, tetapi juga meluas hingga ke tingkat lokal. Bentuknya pun berubah, bukan lagi hanya mempertemukan rakyat dengan kekerasan bersenjata, tetapi rakyat dengan kebijakan publik yang tidak memihak.

Kenyataan itu melahirkan tuntutan yang makin besar pada kerja pembelaan dan perjuangan hak asasi manusia. Pada tingkat kelembagaan, harapan itu diletakkan pada pundak Komnas HAM yang memang dirancang untuk itu.

Namun, harapan itu belum sepenuhnya dapat terpenuhi. Ada banyak kasus yang telah rampung, tetapi belum tuntas, seperti kasus Wasior-Wamena. Direktur Eksekutif Demos Asmara Nababan hampir satu tahun lalu pernah mengingatkan agar berbagai kasus pelanggaran HAM dan kekerasan di Indonesia segera diverifikasi. Verifikasi penting untuk memberi rasa keadilan bagi korban, mencegah agar kekerasan itu tidak terulang, dan menegaskan pertanggungjawaban hukum bagi yang terlibat.

Tidak mengherankan, menjelang masa akhir kepengurusannya, komisioner Komnas HAM periode 2002-2007 justru mendulang kecaman. Komnas HAM tidak lagi populer, bahkan kinerja komisi itu dipertanyakan, dan tingkat kepercayaan masyarakat terus menurun.

Cornelis Lay mengatakan, pamor komisi itu kalah dibandingkan dengan pamor lembaga lain, seperti Kontras, YLBHI, dan Imparsial. Cornelis yang pernah menulis buku tentang komisi itu mengaku enggan menulis buku berikutnya tentang komisi tersebut.

Ia menyebutkan, ketokohan yang ada ternyata tidak mampu mentransformasikan diri dalam lembaga itu dan mendorongnya bekerja optimal. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat I Gusti Agung Putri Astrid Kartika mengatakan, Komnas HAM tampaknya terjebak dalam arus birokrasi.

Militan

Tidak mengherankan, ketika tim seleksi komisioner Komnas HAM 2007-2012 dibentuk, banyak harapan diletakkan di pundak mereka. Korban dan keluarga korban kasus Semanggi, kerusuhan Mei 1998, serta korban politik 1965, misalnya, meminta agar tim seleksi dapat memilih calon komisioner yang lebih berempati dengan korban. Pada kesempatan lain, staf yang bekerja di Komnas HAM mengharapkan agar tim seleksi memerhatikan kemampuan komunikasi dan kesediaan bekerja sama dari bakal calon, selain kondisi ideal yang mengedepankan penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

Bagi Ketua Tim Seleksi Soetandyo Wignyosoebroto, memenuhi harapan mereka bukanlah pekerjaan mudah. Di satu sisi kemampuan intelektual sangat dibutuhkan karena kompleksitas pelanggaran hak asasi manusia yang makin beragam. Di sisi lain, kepedulian dan kesungguhan kerja dari komisioner juga menjadi tuntutan yang tidak ringan.

Lebih dari itu adalah kemampuan memadukan keduanya. "Yang diperlukan adalah orang yang mampu memadukan kemampuan kognitif dengan keunggulan afektif mereka. Mencari yang seperti itu tidak mudah," tuturnya.

Tim seleksi memang telah memiliki kriteria yang bermuara pada keunggulan integritas, totalitas bekerja, dan misi perjuangan pembelaan hak asasi manusia. Pendeknya, yang dicari adalah pejuang, bukan pencari kerja.

Setelah melalui beberapa tahapan awal, terjaring 70 bakal calon yang akan maju dalam uji publik. Kebanyakan dari mereka adalah generasi muda yang sejauh ini tidak diragukan kemampuan dan integritasnya. Mereka berdampingan dengan nama lama yang memiliki pengalaman.

Namun, bagi Agung Putri, meskipun muda, pejuang hak asasi manusia itu memiliki rekam jejak pembelaan hak asasi manusia yang tidak perlu diragukan. Bahkan, mereka pun memiliki jaringan internasional yang memadai dan mampu mendukung perjuangan mereka.

Menilik kemunduran Komnas HAM saat ini, kemampuan dan keunggulan harus didukung juga dengan kemampuan membangun komunikasi politik dengan lembaga lain dalam pemerintahan. "Pemerintah memiliki kecenderungan memperlemah, tetapi pemerintah tidak tunggal. Dalam kondisi seperti itu, komisioner harus cermat melihat dan membangun komunikasi dengan lembaga yang ada untuk memperoleh dukungan," tuturnya.

Di sisi lain, mereka pun diharapkan mampu berkreasi dan menerobos batas kungkungan peraturan yang membuat kinerja Komnas HAM saat ini tidak leluasa. "Dibutuhkan orang yang berani," katanya menambahkan.