Kontras Laporkan Penculikan Aktivis ke Dewan HAM PBB

[JAKARTA] Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama korban dan keluarga korban penghilangan aktivis 1997-1998, Tragedi Mei 1998, Trisakti Semanggi I dan II, akan melaporkan perkembangan penyelesaian kasus-kasus tersebut oleh pemerintah Indonesia kepada sidang Dewan HAM PBB yang akan berlangsung di Jenewa, Swiss pada 12 Maret-5 April 2007.

"Kami terpaksa melakukan ini, karena kami menilai pemerintah tidak ada kemauan untuk mengusut kasus-kasus ini," kata Kepala Operasional Kontras, Indria Fernida dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (8/3).

Menurut Indria, mereka juga akan memantau sikap pemerintah lewat pidato politik pemerintah Indonesia dalam high level statement di Jenewa pada 13 Maret 2007, khususnya sejauh mana sikap pemerintah dalam penyelesaian kasus masa lalu. "Komitmen ini akan menjadi indikator bagi pelaksanaan janji pemerintah Indonesia, sehingga dapat dianggap layak dipilih lagi menjadi anggota Dewan HAM PBB pada Mei 2007," kata dia.

Indria mengatakan pihaknya sangat kecewa terhadap sikap DPR yang kembali mempolitisasi upaya penyelesaian kasus penculikan dan penghilangan paksa para aktivis 1997-1998 dan kasus Trisakti Semanggi I dan II. Pembentukan Pansus pada kasus penghilangan paksa dan penolakan Badan Musyawarah mengagendakan kasus Trisakti Semanggi I dan II pada sidang Paripurna 13 Maret 2007 merupakan bentuk politik hitam yang diperankan oleh DPR dalam memberikan impunitas.

Ia menambahkan, pada posisi ini DPR kembali menunjukkan keberpihakan kepada para pelaku, dibanding upaya memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban serta keluarganya. Keputusan DPR ini merupakan sikap politik yang setali tiga uang dengan sikap pemerintah, dalam hal ini Jaksa Agung, yang selama ini menolak mela-kukan penyidikan. "Sulit mengharapkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu," kata dia.

Kepentingan Kekuasaan

Senada dengannya, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kontras, Edwin Partogi mengatakan sikap DPR seperti ini memang bukanlah suatu yang aneh bila melihat konfigurasi fraksi yang menolak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu merupakan partai-partai pendukung pemerintah. "Jadi, fakta ini sesungguhnya menunjukkan politik HAM parpol dan DPR sangat ditentukan oleh kepentingan untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan, bukan konstituen," kata Edwin.

Menurut Edwin, mereka memandang situasi seperti itu merupakan labirin impunitas, sebuah ketidakjelasan atas ketiadaan proses penghukuman dari berbagai institusi negara yang semestinya berwenang. Ketidakjelasan ini menunjukkan negara, bahkan melalui institusi perwakilan rakyat, telah unwilling and unable dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. "Sungguh ironis karena sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia harus membuktikan tercapainya penegakan dan pemenuhan HAM, khususnya menyelesaikan problem-problem pelanggaran HAM di masa lalu," katanya.

Edwin menambahkan kebuntuan di tingkat nasional ini tidak pernah akan menghentikan upaya korban dan keluarga untuk menuntut penuntasan dan keadilan atas segala tragedi kemanusiaan tersebut. Sikap politik nasional ini malah akan menjadi amunisi baru bagi korban dan keluarga korban meminta kepada institusi internasional untuk menekan pemerintah menyelesaikan atau mengambil alih kasus ini sebagai agenda HAM internasional. [E-8]