Keputusan Bamus Dikecam

JAKARTA(SINDO) – Sejumlah pihak mengecam keras keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang menolak pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Trisakti, Semanggi I,dan Semanggi II (TSS).

Kecaman datang karena keputusan Bamus itu menandai tertutupnya peluang keluarga korban untuk memperoleh keadilan substansial atas tragedi berdarah yang merenggut nyawa tak sedikit itu. ’’Karena di dalam negeri sudah mentok, korban dan keluarga korban dapat membawa kasus ini ke forum internasional,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Zoemrotin K Soesila di Jakarta,kemarin. Seperti diketahui,Bamus pada Selasa (13/3) memutuskan Pengadilan HAM ad hoc tak layak digelar karena sejumlah alasan remeh-temeh, seperti soal prosedur dan soal ketiadaan aturan.

Alasan paling pamungkas adalah rekomendasi Pansus TSS DPR periode lalu yang menyatakan tak ada pelanggaran HAM berat dalam tragedi TSS tersebut.Artinya,DPR sekarang setali tiga uang dengan DPR periode lalu, yakni menegaskan tak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus TSS. Zoemrotin mengatakan, jika korban dan keluarga korban memutuskan membawa kasus TSS ke forum internasional,hasil penyelidikan Komnas HAM bisa dijadikan bahan bukti.

Menurut dia, hanya sebatas itu yang bisa dilakukan Komnas HAM karena sesuai ketentuan, hanya korban dan keluarga korban yang bisa membawa kasus itu ke forum internasional.’’Kewenangan kami terbatas pada penyelidikan dan itu sudah kami lakukan,” katanya. Dia sendiri mengaku tak habis pikir DPR memutuskan kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat. Pasalnya, DPR tak mempunyai kewenangan menyelidik tetapi menyimpulkan tidak ada pelanggaran HAM berat. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga mengecam keputusan Bamus.

Kontras menyerukan dilakukannya kocok ulang pimpinan DPR yang dinilai menghambat pengungkapan kasus-kasus HAM. ’’Saya melihat,di balik keputusan Bamus itu ada deal politik yang sangat kuat di kalangan politisi. Nuansa-nuansa politik seperti itu yang sebenarnya menghambat kinerja DPR atas kasus tersebut,” jelas Kordinator Kontras Usman Hamid di Jakarta,kemarin. Usman mengatakan, deal politik kalangan politisi Senayan itu berhubungan dengan kepentingan politik militer.

Sebab, kata dia, militer adalah salah satu institusi yang menolak kasus-kasus pelanggaran HAM dibawa ke pengadilan HAM. Kepala Divisi Pemantauan Impunitas dan Reformasi Institusi Kontras Haris Azhar mengatakan, sejak awal DPR memang tidak berniat mendorong kasus TSS diadili secara layak dan akuntabel melalui mekanisme pengadilan HAM. Sementara itu, setelah ditolaknya usulan pembentukan pengadilan HAM ad hoc oleh Bamus, Komisi III menyerahkan masalah itu ke pimpinan DPR untuk menjadwalkannya dalam rapat paripurna DPR pada 20 Maret 2007.

Pada Selasa (13/3), seusai memimpin rapat Bamus,Ketua DPR Agung Laksono mengatakan, lebih tepat bila Jaksa Agung men-take over kasus TSS tersebut dengan menggunakan peraturan hukum lain. Namun, saat ditanya wartawan, kemarin, Jaksa Agung menyatakan bahwa lembaganya tidak berwenang menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM atas kasus TSS tanpa dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. (kholil/amril/chamad/suwarno)