Culik, Warisan Politik

Oleh: Zaenuddin HM, (Pemred NonStop)

JANGAN heran mengapa kini masih sering terjadi aksi penculikan. Banyak bocah jadi korbannya. Ini warisan sejarah politik bangsa. Zaman Soeharto, sejumlah aktivis pro demokrasi diculik. Proklamasi RI sendiri tercetus, setelah Bung Karno dan Bung Hatta ’’diculik’’ sekelompok pemuda pejuang yang tak sabar ingin merdeka.

Penculikan terhadap bocah bernama Anton Adrian, pekan kemarin, bukan kali pertama terjadi. Mungkin tak terhitung jumlahnya. Korbannya kebanyakan memang anak-anak. Mereka yang masih lugu, lemah dan awam itu, begitu mudah jadi sasaran penculikan.

Modusnya bisa sama: korban dicomot tiba-tiba tanpa diketahui orangtuanya. Namun tujuannya bisa berlainan. Ada pelaku yang menculik bocah karena dendam pada orangtuanya. Misalnya, pembantu menculik anak majikan lantaran ia pernah disakiti atau belum dibayar gajinya. Si bocah sengaja diculiknya, demi melampiaskan kekesalan pada sang majikan.

Tapi lebih banyak aksi penculikan dengan maksud memeras orangtua korban. Untuk itu, para pelaku seringkali –seraya mengancam menyakiti korban– meminta tebusan uang dalam jumlah besar. Dari puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Dari banyak kasus penculikan bocah, jarang sekali korban yang sampai dianiaya atau dibunuh mati. Justru korban dilindungi, sebagai umpan agar orangtuanya mau menyerahkan uang tebusan. Memang uang itulah targetnya. Penculikan hanyalah cara saja. Uang tebusan didapat, anak yang diculik dikembalikan.

Dendam, pemerasan, atau apapun motifnya, penculikan jelas merupakan tindak kejahatan. Korban dan orangtuanya tetap merugi. Karena itu para orangtua dianjurkan tetap waspada dan mengawasi anak-anaknya, terutama saat berada di luar rumah misalnya di sekolah. Apalagi zaman sekarang, bisa saja bocah itu benar-benar diculik untuk dijual (trafficking) ke dunia bisnis prostitusi.

Penculikan di dunia politik lebih kejam lagi. Korbannya yang kebanyakan para aktivis bersuara vokal itu, justru disiksa fisiknya. Bahkan ada yang hilang entah kemana. Mungkin telah ditembak mati. Motif penculikan ini memang sengaja untuk membungkam atau menghabisi korban. Bukan untuk meminta uang tebusan.

Itulah yang terjadi di masa rezim Soeharto dulu. Banyak aktivis pro demokrasi tiba-tiba diculik. Misalnya yang dialami Desmon J Mahesa, Pius Lustrilanang, dan kawan-kawan. Mereka dicomot petugas yang tak dikenalnya, lalu dibawa ke suatu tempat yang juga tak diketahuinya. Berdasar testimony, mereka mengaku disiksa.

Aksi penculikan bermotif politik itu dianggap sebagai kejahatan HAM. Banyak pihak, terutama Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang dipimpin almarhum Munir, melakukan gugatan dan advokasi bagi para korban. Sayang, hingga era reformasi ini, kasus penculikan belum juga tertuntaskan. Masih banyak korban hilang, salah satunya Deddy Hamdun, suami aktris cantik Eva Arnaz.

Penculikan bermakna positif barangkali hanya terjadi di zaman Bung Karno. Dulu, 16 Agustus 1945, sekitar pukul 04.00 WIB saat sahur (waktu itu bulan puasa) para pemuda dipimpin Sukarni sengaja menculik Soekarno dan Hatta. Keduanya dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, didesak agar segera memproklamirkan bangsa Indonesia saat itu juga. Namun Bung Karno menolak.

Ketika kembali ke Jakarta malam harinya, keduanya langsung merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamada Maeda, Jalan Imam Bonjol. Naskah inilah yang akan dibacakan esok harinya. Semula proklamasi akan dibacakan di Lapangan Ikada (Monas). Tapi, demi menghindari bentrokan dengan tentara Jepang, akhirnya teks proklamasi itu dibacakan –sekitar pukul 09.00 pagi—di kediaman Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta Pusat. ***