Demi Perdamaian Penegakan Hukum Adalah Prioritas Utama

Demi Perdamaian
Penegakan Hukum Adalah Prioritas Utama

Setelah rentetan kekerasan dan kriminalitas di penghujung tahun 2006 yang lalu belum terlupakan dari memori kolektif kita, memasuki tahun 2007 sampai detik ini, kekerasan dan meningkatnya kriminalitas seakan-akan tidak terbendung. Kritik yang disampaikan beberapa LSM dan aktifis bahwa telah terjadi indikasi kegagalan reintegrasi di Aceh telah ditampik oleh AMM pada saat itu. Namun yang terjadi hari ini adalah kekhawatiran pada saat itu.

Reintegrasi di Aceh masih membutuhkan iktikad baik dan komitmen semua pihak dan ketegasan aparat hukum dalam hal ini kepolisian dan masyarakat peradilan untuk secara konsisten dan konsekwen tetap menjalankan proses penegakan hukum yang fair dan tidak diskriminatif. Suasana perdamaian yang telah berjalan merupakan sebuah peluang dan kesempatan yang baik bagi jajaran pemerintahan dan instansi peradilan untuk membuktikan bahwa hukum bisa ditegakkan sebagai penyangga perdamaian. Reintegrasi akan menemukan semangat dan kedigdayaan tatkala penegakan hukum mampu dijalankan.

Mulai dari insiden penganiayaan terhadap tiga aparat TNI di Trumon Timur, Aceh Selatan (16/1/2007), kemudian penyanderaan delapan anggota Jamaah Tabligh karena diduga menyebarkan aliran sesat di desa Lhok Meureubo, Kec. Sawang Kab. Aceh Utara (12/3/2007). Selanjutnya penganiayaan sekelompok masyarakat terhadap empat anggota TNI di desa Alue Dua, Nisam yang dibalas dengan pengiriman pasukan TNI ke desa tersebut dan terjadinya pemukulan terhadap masyarakat dengan alasan untuk mencari pelaku (24/3/2007). Tidak berselang lama, dini hari (26/3/2007) sekelompok orang dengan menggunakan senjata tajam dan potongan kayu melakukan aksi pembacokan terhadap warga di tiga lokasi terpisah di kecamatan Juli, Bireun. Tidak lama berselang (26/3/2007) penghitungan ulang hasi Pilkada di Aceh Tenggara yang sedang di gelar berakhir rusuh dan mengakibatkan jatuhnya korban.

Rentetan insiden kekerasan ini telah memakan korban, hal ini tentu saja menjadi preseden negatif  untuk capaian reintegrasi dan perdamaian ke depan. Masa transisi yang sedang dilewati rakyat Aceh tentu saja akan menghadapi banyak tantangan dan kendala, namun lemahnya penegakan hukum akan semakin mendorong aksi balas dendam dari para pihak. Apapun alasannya pengiriman pasukan ke desa Alue Dua adalah tindakan yang tidak benar, arogansi dan brutalisme yang dilakukan pihak TNI di desa Alue Dua akan menjadi kontraproduktif bagi proses reintegrasi.

Demikian halnya dengan penganiayaan sekelompok warga terhadap anggota TNI tersebut, juga suatu hal yang salah kaprah, main hakim sendiri mengartikulasikannya dengan kekerasan adalah sebuah tindakan yang akan menghancurkan rasa kepercayaan antar para pihak. Keberadaan pasukan TNI di SD Alue Dua patut dipertanyakan, apabila menyangkut fungsi pengamanan seperti yang disampaikan Dandim Aceh Utara, Letkol Inf Yogi Gunawan (Rakyat Aceh, 23/3). Maka hal tersebut bertentangan dengan UU TNI No. 34/2004 pasal 5, 6 dan 7 tentang peran, fungsi dan tugas TNI. Tindakan ini juga bertentangan dengan poin MoU Helsinki pasal 4.11 yang menyebutkan Tentara akan bertanggungjawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga mempertegas pada pasal 202  ayat 1 yang menyebutkan Tentara Nasional Indonesia bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apalagi kondisi Aceh sudah damai, menjadi tugas kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, dan TNI hanya terlibat jika diminta bantuannya. Juga di tengah proses damai yang sedang berlangsung dan kondisi masyarakat Aceh yang masih mengalami trauma masa lalu, maka keterlibatan TNI diluar fungsi utamanya sebisa mungkin harus direduksi.

Namun demikian, tindakan kekerasan terhadap siapapun dan oleh siapapun tetap tidak bisa ditolerir. KPA, masyarakat dan pihak-pihak lainnya harus bisa menahan diri. Bila didapati indikasi yang tidak baik terhadap suatu keadaan, segera lakukan koordinasi dengan pihak polisi atau pihak-pihak lain yang berwenang. Upaya hukum untuk menyelesaikan kasus tindak kekerasan secara transparan, objektif dan tidak pandang bulu tetap harus dilakukan dan lagi-lagi ini merupakan wilayah kewenangan dari kepolisian. Dan aksi kekerasan yang diduga kuat dilakukan oleh TNI “aksi balas dendam” pada tanggal 24 Maret 2007 merupakan tindakan pelanggaran hukum yang berpotensi semakin memperkeruh suasanan dan berdampak pada semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi TNI juga terhadap proses penegakan hukum.

Jika pihak kepolisian dan dunia peradilan lainnya tidak pernah tegas dan berani untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran hukum ini, maka dapat dipastikan segala bentuk kekerasan akan semakin me-lembaga. Amuk massa, anarkisme, pembunuhan dan arogansi kekuasaan akan menjadi cerita keseharian rakyat. Gagasan dan impian untuk mewujudkan perdamaian demi tecapainya rakyat yang sejahtera secara ekonomi, adil secara sosial demokratis secara politik dan partisipatif secara budaya hanya menjadi impian dan ppesan kosong belaka. Demikian halnya dengan para elit, agar bersama-sama menigkatkan rasa percaya terhadap seluruh masyarakat bahwa perdamaian ini adalah pintu masuk untuk mewujudkan cita-cita sosial yang diidamkan.

Berdasarkan kondisi di atas, kami menyatakan:

1.
Meminta kepada kepala pemerintahan Aceh, kepolisian, unsur pimpinan KPA untuk segera melakukan rembuk guna mencari solusi yang tepat untuk mewujudkan normalisasi dampak dari rentetan kekerasan yang terjadi.
2.
Menuntut pihak Kepolisian untuk segera menjalankan fungsinya selaku aparat penegak hukum dan pengayom masyarakat untuk menyelesaikan insiden kekerasan dan tindakan kriminal.
3.
Mendesak TNI untuk tidak mengintervensi proses hukum kasus Alue Dua dengan memberi kewenangan sepenuhnya kepada polisi untuk mengusut kasus tersebut secara objektif.
4.
Mendesak lembaga-lembaga internasional yang sedang melakukan proses rehab dan rekons di Aceh untuk menghormati proses hukum dengan tidak melibatkan TNI sebagai penjaga keamanan
5.
Meminta semua pihak untuk mengormati MoU Helsinki, menjalankan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan menjaga perdamaian di Aceh.

Banda Aceh 28 Maret 2007

LBH Banda Aceh

Hospinovizal Sabri

 

 

Koalisi NGO HAM

Kurdinar

 

 

AJMI

Muliadi

 

 

KontraS Aceh

Asiah

Demi Perdamaian Penegakan Hukum Adalah Prioritas Utama

Demi Perdamaian
Penegakan Hukum Adalah Prioritas Utama

Setelah rentetan kekerasan dan kriminalitas di penghujung tahun 2006 yang lalu belum terlupakan dari memori kolektif kita, memasuki tahun 2007 sampai detik ini, kekerasan dan meningkatnya kriminalitas seakan-akan tidak terbendung. Kritik yang disampaikan beberapa LSM dan aktifis bahwa telah terjadi indikasi kegagalan reintegrasi di Aceh telah ditampik oleh AMM pada saat itu. Namun yang terjadi hari ini adalah kekhawatiran pada saat itu.

Reintegrasi di Aceh masih membutuhkan iktikad baik dan komitmen semua pihak dan ketegasan aparat hukum dalam hal ini kepolisian dan masyarakat peradilan untuk secara konsisten dan konsekwen tetap menjalankan proses penegakan hukum yang fair dan tidak diskriminatif. Suasana perdamaian yang telah berjalan merupakan sebuah peluang dan kesempatan yang baik bagi jajaran pemerintahan dan instansi peradilan untuk membuktikan bahwa hukum bisa ditegakkan sebagai penyangga perdamaian. Reintegrasi akan menemukan semangat dan kedigdayaan tatkala penegakan hukum mampu dijalankan.

Mulai dari insiden penganiayaan terhadap tiga aparat TNI di Trumon Timur, Aceh Selatan (16/1/2007), kemudian penyanderaan delapan anggota Jamaah Tabligh karena diduga menyebarkan aliran sesat di desa Lhok Meureubo, Kec. Sawang Kab. Aceh Utara (12/3/2007). Selanjutnya penganiayaan sekelompok masyarakat terhadap empat anggota TNI di desa Alue Dua, Nisam yang dibalas dengan pengiriman pasukan TNI ke desa tersebut dan terjadinya pemukulan terhadap masyarakat dengan alasan untuk mencari pelaku (24/3/2007). Tidak berselang lama, dini hari (26/3/2007) sekelompok orang dengan menggunakan senjata tajam dan potongan kayu melakukan aksi pembacokan terhadap warga di tiga lokasi terpisah di kecamatan Juli, Bireun. Tidak lama berselang (26/3/2007) penghitungan ulang hasi Pilkada di Aceh Tenggara yang sedang di gelar berakhir rusuh dan mengakibatkan jatuhnya korban.

Rentetan insiden kekerasan ini telah memakan korban, hal ini tentu saja menjadi preseden negatif untuk capaian reintegrasi dan perdamaian ke depan. Masa transisi yang sedang dilewati rakyat Aceh tentu saja akan menghadapi banyak tantangan dan kendala, namun lemahnya penegakan hukum akan semakin mendorong aksi balas dendam dari para pihak. Apapun alasannya pengiriman pasukan ke desa Alue Dua adalah tindakan yang tidak benar, arogansi dan brutalisme yang dilakukan pihak TNI di desa Alue Dua akan menjadi kontraproduktif bagi proses reintegrasi.

Demikian halnya dengan penganiayaan sekelompok warga terhadap anggota TNI tersebut, juga suatu hal yang salah kaprah, main hakim sendiri mengartikulasikannya dengan kekerasan adalah sebuah tindakan yang akan menghancurkan rasa kepercayaan antar para pihak. Keberadaan pasukan TNI di SD Alue Dua patut dipertanyakan, apabila menyangkut fungsi pengamanan seperti yang disampaikan Dandim Aceh Utara, Letkol Inf Yogi Gunawan (Rakyat Aceh, 23/3). Maka hal tersebut bertentangan dengan UU TNI No. 34/2004 pasal 5, 6 dan 7 tentang peran, fungsi dan tugas TNI. Tindakan ini juga bertentangan dengan poin MoU Helsinki pasal 4.11 yang menyebutkan Tentara akan bertanggungjawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga mempertegas pada pasal 202 ayat 1 yang menyebutkan Tentara Nasional Indonesia bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apalagi kondisi Aceh sudah damai, menjadi tugas kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, dan TNI hanya terlibat jika diminta bantuannya. Juga di tengah proses damai yang sedang berlangsung dan kondisi masyarakat Aceh yang masih mengalami trauma masa lalu, maka keterlibatan TNI diluar fungsi utamanya sebisa mungkin harus direduksi.

Namun demikian, tindakan kekerasan terhadap siapapun dan oleh siapapun tetap tidak bisa ditolerir. KPA, masyarakat dan pihak-pihak lainnya harus bisa menahan diri. Bila didapati indikasi yang tidak baik terhadap suatu keadaan, segera lakukan koordinasi dengan pihak polisi atau pihak-pihak lain yang berwenang. Upaya hukum untuk menyelesaikan kasus tindak kekerasan secara transparan, objektif dan tidak pandang bulu tetap harus dilakukan dan lagi-lagi ini merupakan wilayah kewenangan dari kepolisian. Dan aksi kekerasan yang diduga kuat dilakukan oleh TNI "aksi balas dendam" pada tanggal 24 Maret 2007 merupakan tindakan pelanggaran hukum yang berpotensi semakin memperkeruh suasanan dan berdampak pada semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi TNI juga terhadap proses penegakan hukum.

Jika pihak kepolisian dan dunia peradilan lainnya tidak pernah tegas dan berani untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran hukum ini, maka dapat dipastikan segala bentuk kekerasan akan semakin me-lembaga. Amuk massa, anarkisme, pembunuhan dan arogansi kekuasaan akan menjadi cerita keseharian rakyat. Gagasan dan impian untuk mewujudkan perdamaian demi tecapainya rakyat yang sejahtera secara ekonomi, adil secara sosial, demokratis secara politik dan partisipatif secara budaya hanya menjadi impian dan ppesan kosong belaka. Demikian halnya dengan para elit, agar bersama-sama menigkatkan rasa percaya terhadap seluruh masyarakat bahwa perdamaian ini adalah pintu masuk untuk mewujudkan cita-cita sosial yang diidamkan.

Berdasarkan kondisi di atas, kami menyatakan:

1.
Meminta kepada kepala pemerintahan Aceh, kepolisian, unsur pimpinan KPA untuk segera melakukan rembuk guna mencari solusi yang tepat untuk mewujudkan normalisasi dampak dari rentetan kekerasan yang terjadi.
2.
Menuntut pihak Kepolisian untuk segera menjalankan fungsinya selaku aparat penegak hukum dan pengayom masyarakat untuk menyelesaikan insiden kekerasan dan tindakan kriminal.
3.
Mendesak TNI untuk tidak mengintervensi proses hukum kasus Alue Dua dengan memberi kewenangan sepenuhnya kepada polisi untuk mengusut kasus tersebut secara objektif.
4.
Mendesak lembaga-lembaga internasional yang sedang melakukan proses rehab dan rekons di Aceh untuk menghormati proses hukum dengan tidak melibatkan TNI sebagai penjaga keamanan.
5.
Meminta semua pihak untuk menghormati MoU Helsinki, menjalankan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan menjaga perdamaian di Aceh.

Banda Aceh, 28 Maret 2007

LBH Banda Aceh

: Hospinovizal Sabri

Koalisi NGO HAM

: Kurdinar

AJMI

: Muliadi

KontraS Aceh

: Asiah